12. Motor Tua dan Kuah Bakso

84 17 0
                                    


"Loh? Abang puasa?"

Ruis terhenyak ketika melihat seniornya tergeletak mengenaskan di sudut sekretariat. Momen langka ini mengusik nurani sebersih bayclin yang dia miliki, membuat nurani itu tanggal, dan membuatnya memilih melontar tatapan mengejek setelah langkah kaki terhenti di depan rubah Batak yang masih pada posisinya, duduk bersandar setengah berbaring.

Sarkasme yang dilontar Ruis tidak menimbulkan amarah. Sosok senior itu justru memajukan bibir bawah dengan kedipan pelan yang terlihat sendu.

"Patah hati?" tebak Ruis sekenanya.

"Abang sakit."

Ruis kontan membulatkan mata tidak percaya. Kali ini, sama sekali tidak terlihat menggemaskan meski ekspresi yang tidak pernah Ruis bayangkan itu tercetak jelas di wajah tirus yang membingkai mata rubah tersebut.

"Hah? Bang Ezra sakit?"

Gadis itu berjongkok di sebelah kaki Ezra yang menjulur sampai beberapa petak keramik. Lalu, memajukan badan untuk memastikan Ezra benar-benar sakit meski tidak ada yang bisa ia temukan hanya dengan warna kulit wajah ataupun kornea mata.

Ezra mengangguk beberapa kali sambil mengeratkan jaket Ruis yang entah sejak kapan melapisi tubuh pemuda itu. Untuk sebentar, dia mengesampingkan hawa dingin yang menyerang, mengulurkan tangan, lantas menarik pergelangan tangan Ruis untuk kemudian dituntun menyentuh dahinya. Ruis mendelik lantaran terkejut bukan main. Dia hanya mampu menahan napas meski sesaat. Mata bulat sukses membesar dan Ezra bisa melihat itu.

"Masih hangat, 'kan?" tanya Ezra dengan raut polos tanpa merasa bersalah sedikit pun. Ia belum membiarkan tangan Ruis bebas dari kuasanya. Lalu, Ezra menggeser pegangan tangan mendekati telapak tangan Ruis. Dia menitah tangan yang bukan miliknya itu untuk kembali meraba dahinya menggunakan bagian punggung. "Ya, 'kan?" tanyanya lagi, menanti validasi yang belum juga ia dapat.

Ruis menggeleng secara spontan. Ia bahkan tidak sempat menstimulus otaknya; entah hawa apa yang dia rasa setelah kulit tangan menyentuh dahi lelaki yang kata Rey belakangan ini membuat igauannya makin tak tentu arah.

"Enggak, ih!" Gadis itu menarik tangan yang masih dalam cengkeraman lemah Ezra. "Manja kali! Nggak sakit. Nggak demam!" omelnya, sebelum beranjak menuju sekretariat sebelah tanpa melepas ransel yang sudah ia pikul dari kelas, meninggalkan Ezra yang menatapnya kecewa.

Akan tetapi, Ezra yang kini sendirian di sekretariat satu, masih bisa mendengar celotehan Ruis diikuti suara laci berbahan seng yang dibuka tutup berkali-kali.

"Mana, sih?!"

Setelah lima menit, gadis itu kembali sambil menggerutu kesal. Dia membawa alat kecil sebesar tipe-x dan menyodorkan alat itu ke arah Ezra. "Nih, pake di ketek. Mau cek suhu. Beneran demam atau nggak."

Ezra yang tidak bisa berkata-kata, menerima uluran benda yang disebut orang sebagai termometer itu. Dia menatap Ruis yang menjulang di hadapannya sambil berpikir kesalahan apa yang sudah dia buat dari pagi hingga menjelang siang ini. Sebab, tadi pagi sebelum sampai kampus, dia sudah membuat janji dengan Ruis bahwa nanti malam akan pergi membeli tas untuk Arkan.

"Abang ngeceknya di depan Ruis?" tanya Ezra.

Ruis mendesah serta mengusap wajah kusamnya dengan frustrasi. "Aku keluar bentar, sekalian cari sesuatu di koperasi."

***

Entah apakah setiap orang selalu bisa mensyukuri rasa sakit yang menderanya. Atau, hanya Ezra yang begitu. Sebab, pening dan dingin yang menyerang membuat dirinya diperlakukan istimewa. Bukan hanya Ruis yang sempat memaksanya makan roti dan minum susu. Namun, Arkan menyusul dengan sebungkus nasi ayam sambal cabai hijau dari rumah makan khas Padang langganan mereka. Ziva yang baru pulang dari kantor berita tempatnya magang turut andil dengan membawa tiga kilogram jeruk manis berwujud mini yang biasa didapat dengan harga sepuluh ribu rupiah. Juga, Danila yang meski sudah sibuk sebagai pengajar di salah satu sekolah, menelepon seolah Ezra sedang sekarat.

Di Balik Meja Redaksi [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang