Ruis terduduk di lantai kontrakan, menghadap ke arah benda-benda yang barusan sampai setelah menempuh perjalanan jauh via udara dan darat. Dia menatap dengan takjub, memikirkan dan memperhatikan benda-benda tersebut dengan senyum tulus. Ada tas kertas berisi tas dari Jogja, jaket merah gelap dan tas jinjing berketerangan panitia, serta sebuah buku berwarna tosca.
"Untukmu Wahai Pejuang Ilmu," eja Ruis, membaca judul buku Arum Faiza itu.
Buku tersebut memiliki status yang sama dengan tas ataupun jaket di depan Ruis; sama-sama berian dari sosok pemuda yang baru pulang dari mengelilingi Pulau Jawa. Yang membedakan adalah alasan Ezra memberi itu. Tas dan jaket adalah barang yang sudah dipikirkan oleh Ezra, sedangkan buku itu adalah pesanan Ruis sendiri saat Ezra mengunjungi salah satu toko buku di Bandung.
Di tengah mengagumi benda-benda dari Ezra, Ruis tiba-tiba teringat akan Lila. Sosok itu seolah merusak bunga-bunga di taman Ruis yang asri dan indah, sama seperti Januari yang kapan hari mengirim pesan di saat Ruis sedang bahagia-bahagianya. Rekam ingatan tentang momen panggilan video waktu itu muncul. Senyum bahagia Ezra dan Lila saat berfoto juga terbayang jelas.
"Hah, kenapa pikiranku jadi berantakan gini, ya ampun!" gerutunya, frustrasi menyadari ketidakwarasan yang mulai mengungguli. Gadis itu seperti menyerah, tidak tahu ingin melakukan apa. Biasanya, dia akan mengganggu Ezra ketika mood sedang berantakan. Namun, untuk kali ini, tidak bisa. Lebih tepatnya, tidak ingin.
"Hadeh! Apa yang bisa kukerjain sekarang? Nonton? Tapi, nonton apa? Oh, ya ampun, aku udah lama nggak nonton drama! Baca? Enggak! Males! Oke, kayaknya lebih baik nge-fangirl! Iya. Kita liat, apa kepala Bae Jinyoung udah mulai gede? Atau gigi kelinci Daniel makin panjang? Atau Lai Guanlin makin tinggi? Astagfirullah, Ruis! Kau kenapa, sih!"
"Bising kali, ya, Ru! Mbak lagi ngafal lagu ini!"
Teriakan Rey dari kamar sebelah membungkam racauan Ruis. Gadis itu memilih tidak menjawab demi menghindari perdebatan atau bahkan kuliah panjang dari Rey yang belakangan sibuk ikut audisi dangdut.
Bodoh kali, naksir sama orang yang nggak boleh disukai! Apa nggak ada laki-laki lain? Ruis, sadar! Stok biasmu itu segudang. Kenapa bisa kacau gegara laki-laki dunia nyata!
"Oh, mikir untuk pencalonan aja!" serunya antusias secara tiba-tiba ketika tangan sudah meraih ponsel untuk mulai nge-fangirl. Namun, sedetik kemudian, akal sehatnya kembali menyadari sesuatu. "Eh, kalo sebentar lagi pencalonan, Bang Ezra bakal ...."
Pikiran yang rasanya keruh, bertambah keruh ketika memikirkan bahwa Ezra akan lengser dan tidak berada di Jejak Narasi lagi setelah musyawarah besar nanti. Tadinya, dia berpikir akan ribut memikirkan jabatan apa yang akan dipilihnya ketika pencalonan. Namun, sekarang, pikiran itu terdistraksi oleh pikiran lain.
Ruis segera menyalakan ponsel, lalu mencari kontak bernama Keenar.
Ruis
Nar. Ke Gramed yok. Temenin beli pulpen mahal.Keenar
Hah? Buat apa pulpen mahal?***
Hari-hari terus berjalan. Semua berlangsung hampir seperti biasa. Tidak ada yang berubah dari Ezra maupun Ruis, kecuali Ruis yang belakangan ini suka mengobrol dengan Zoya si senior Divisi Usaha bersama Sonya dan Amel si teman di Divisi Media dan Grafis. Istilahnya, mereka seolah satu frekuensi, cocok untuk saling bertukar cerita alias bergosip.
"Eh, nanti kau jadi beli pen tablet sama Bang Ezra?" tanya Sonya ketika mereka berdua sedang berjalan menuju sekretariat. Gadis itu tampak membawa seplastik bakso bakar yang dibelinya di depan gerbang kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Meja Redaksi [SUDAH TERBIT]
Ficción GeneralSuara bising yang berasal dari dapur di lantai bawah, belum juga membuat Ruis yang sudah membuka mata tersadar penuh. Ia sedang punya keringanan sehingga bisa meninggalkan salat Subuh dan tertidur sampai matahari meninggi. Kesadaran kembali seratus...