"Banyak mahasiswa dengan argumentasi bagus, tapi tidak dengan eksekusi."
–Januari Kawigdada; Rapat Mingguan Periode 2016
"Arkan, gimana? Ada kendala layout-nya?"
Pukul 09.00 WIB, Ruis baru saja tiba di kampus dan langsung menuju sekretariat karena semester ini mendapat jatah kelas siang. Sembari menunggu waktu kelas, Ruis merasa lebih baik berada di secretariat, mengawasi Arkan yang sengaja tidak pulang ke kos untuk lembur me-layout majalah edisi 91.
"Nggak ada, Kak. Aku lagi ngerjain ilustrasi," sahut Arkan, menoleh sebentar ke arah Ruis, sebelum akhirnya fokus kembali pada komputer di hadapannya. Tampak lelaki itu sedang menggambar menggunakan bantuan tetikus di aplikasi Photoshop.
Ruis mengangguk beberapa kali setelah mendapat jawaban dari Arkan. Gadis itu meletakkan laptop di meja yang sama dengan Arkan, memilih bagian sebelah jendela lantaran di sana yang kosong. Ia menjatuhkan tubuh di atas kursi putar yang busanya mulai kempis, lantas membuka aplikasi layout untuk melanjutkan bagiannya.
Pada periode ini, Ruis diberi tanggung jawab sebagai redaktur grafis, yang artinya akan lebih banyak mengawasi dan me-manage anggota supaya mengerjakan jobdesc dengan baik. Selain itu, dari yang dipelajarinya lewat sikap Ezra yang periode lalu menjadi redaktur grafis, dia juga punya tugas untuk membuat mood anggota menjadi bagus. Tentu tidak akan sempurna, tetapi paling tidak dirinya tak membuat kekacauan yang membuat kinerja anggota menurun.
"Ih, ngeri kali, woi!" Gadis mungil dengan DSLR menggantung di leher, masuk ke sekretariat secara tergesa-gesa. Wajah yang terlihat agak panik dan napas terengah, membuat Ruis yang sedang khusyuk menghadap laptop mendadak menoleh.
"Kenapa, Kak?" tanya Ruis kepada gadis itu, Rima; salah satu pewarta foto Jejak Narasi. Rima mengaku, dia iseng jalan-jalan di sekitaran kampus untuk mendapatkan footage demi mengisi playlist yang merupakan program baru Jejak Narasi sejak masa kepemimpinan Ezra dimulai. Namun, bukan mendapat footage untuk pekan ini, Rima justru menemukan keributan yang terjadi di depan gedung birokrat.
***
Sumbu keributan terjadi kemarin sore saat beberapa mahasiswa Fakultas Saintek yang kebetulan memiliki data sebagai anggota Ikatan Pemuda Deli (IKPD)—salah satu organisasi kepemudaan yang dibentuk di Medan—dan beberapa tercatat sebagai anggota UKM Mapala, bermain futsal di di lapangan futsal dekat gedung UKM.
"Eh, kalian kalau mau main futsal sekarang nggak bisa sembarangan, ya," tukas seseorang bertubuh gempal yang memakai pakaian dinas yang sama dengan pegawai birokrat kampus.
"Loh, kenapa, Bang?" tanya salah satu mahasiswa sembari menghampiri orang dengan nametag Andi tersebut.
"Sekarang pakai lapangan futsal, bayar. Saya ketua pusat bisnisnya," jawab Andi dengan nada sedikit angkuh, membuat darah orang-orang di situ mendidih.
"Loh, kok, gitu, Bang? Bukannya dari dulu gratis? Ini fasilitas kampus, masuk di brosur pendaftaran maba. Kenapa pula tiba-tiba bayar? Ah, melucu kurasa biro ini," bantah si mahasiswa. Biasanya, mereka semua memang menggunakan bangunan yang dipakai sebagai lapangan futsal ini secara cuma-cuma. Tentulah mereka tidak terima sebagai mahasiswa yang masih aktif serta membayar iuran kuliah.
"Nggak usah ngeyel. Besok datang aja ke biro, kalo nggak percaya. Baca di papan pengumuma." Andi menegaskan suara dengan nada tinggi.
"Lucu kali kampus ini. Semua-semua bayar. Udah kayak pasar malam," seloroh mahasiswa tersebut. Ia merasa kebijakan kampus yang disahkan sejak tahun baru ini mengada-ada. Sebagai mahasiswa yang juga aktif di dalam organisasi, sensitivitasnya terganggu, apalagi ini berkaitan dengan hak sebagai mahasiswa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Meja Redaksi [SUDAH TERBIT]
Ficción GeneralSuara bising yang berasal dari dapur di lantai bawah, belum juga membuat Ruis yang sudah membuka mata tersadar penuh. Ia sedang punya keringanan sehingga bisa meninggalkan salat Subuh dan tertidur sampai matahari meninggi. Kesadaran kembali seratus...