[12] Twins

1.6K 228 33
                                    

"Gue mohon, jangan pikirin ucapan dia lagi. Dia sampah, Jisoo." Theo menggenggam erat jemari Jisoo yang saat ini tak henti-hentinya menangis di hadapannya.

"The, sekeras apapun gue disuruh lupain semua kalimat yang terlontar dari mulut dia, gue nggak bisa. Gue nggak akan bisa, kalo aja yang dikatain itu gue mungkin gue nggak akan ambil hati, tapi ini Mamaa." Lirih Jisoo.

Theo hendak berbicara, namun kehadiran seseorang di belakang Jisoo membuat ia bungkam.

Itu Irene, dirinya mengisyaratkan pada Theo untuk pergi meninggalkan Jisoo, dan meyakinkan bahwa Irene tidak akan macam macam.

Theo mengangguk sekilas, ia kembali mengusap lembut surai Jisoo yang terbawa oleh angin dari balkon cafe yang saat ini mereka kunjungi.

"Gue dapet kabar kalo Jennie udah sadar. Gue jenguk dia dulu, ya?" Tak ada tanggapan dari Jisoo, Theo dengan perlahan melepaskan tautan antara tangannya dan juga tangan Jisoo. Dengan gerakan pelan, Theo mulai berdiri mengambil barang barangnya dan mencium kening Jisoo sekilas sebelum akhirnya pergi meninggalkan cafe itu.

'Jadi, sekarang Jennie lebih penting dari gue?'

Tak lama, suara langkah kaki yang kembali mendekat ke arahnya membuat Jisoo perlahan kian mendongak.

Jisoo merubah raut wajahnya menjadi sangat sangat datar saat tau siapa yang datang menemuinya.

"Kenapa lo kesini?" Pertanyaan dingin itu spontan keluar dari mulut Jisoo.

Irene mengambil posisi duduk di depan Jisoo, "Lo pasti sakit."

Jisoo menajamkan matanya, "Gausah sok tau."

Irene tersenyum tipis, "Jangan bohong. Gue tau lo sakit, karena--- gue juga ngerasain sakit yang sama."

Jisoo terdiam mendengar ucapan Irene, juga terdiam karena melihat setitik air mata yang turun dari sudut mata kiri Irene.

"Gue minta maaf kalo kata kata gue tadi udah nyakitin hati lo. Gue nggak bermaksud, gue nggak bermaksud buat ngatain--- MAMA." Pelan Irene.

Jisoo menggeleng, "Gue tau lo haus perhatian, Rene. Tapi cara lo nyari perhatian bisa nggak sih dengan nggak bawa bawa mama ataupun papa?!"

"Cara lo untuk dapetin perhatian itu selalu salah, Rene. SELALU SALAH." Sentak Jisoo.

"Bangga lo tadi udah berhasil bikin orang orang kagum sama lo sementara lo udah berhasil ngerendahin gue? Adik lo sendiri! KEMBARAN LO SENDIRI!" Bentak Jisoo.

Irene menggeleng, "Jis, pelanin."

"Lo paham dan lo tau persis kalo dalam aturan itu nggak boleh ada yang tau identitas kita, Rene. Jangan buat mereka jadi curiga dan jadi mikir yang enggak enggak tentang kita bisa nggak sih?!"

"Gue minta maaf banget. Gue nyesel. Gue terbawa suasana tadi sampe tanpa sadar gue jadi nyeret Mama." Lirih Irene sambil menyeka air matanya dengan kasar.

"Sekali lagi gue tekanin. Mama ataupun Papa nggak ada salah apapun, jadi tolong berhenti bawa bawa mereka!"

Irene mengangguk. Entah kenapa, sepulang sekolah tadi pikirannya tidak tenang, ia terjebak dalam omongannya sendiri. Ia menyesal, sangat menyesal.

"Orang yang lo tadi katain JALANG adalah orang yang setiap harinya selalu nanyain kabar lo lewat gue. Gimana keadaan lo, gimana lo di sekolah, lo sakit apa engga, gue tau Papa sama Mama saat ini cuma sebatas masa lalu aja, tapi lo jangan jadi toxic gara gara itu semua." Kata Jisoo pelan, melihat Irene yang terisak hebat membuat dadanya kian ikut merasakan sesak.

"Ji, keluarga kita nggak bisa ya kayak dulu lagi?" Lirih Irene.

Jisoo menoleh, "Buat kepercayaan Papa balik lagi ke Mama."

𝐆𝐨𝐨𝐝 𝐕𝐢𝐛𝐞𝐬 𝐯𝐬 𝐁𝐚𝐝 𝐕𝐢𝐛𝐞𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang