3. Harapan palsu

1.5K 133 7
                                    

Hai tirta di lautan. Jangan tertawa kan aku ketika aku tersenyum. Kamu tidak tau sekeras apa aku berjuang untuk mendapatkan senyum yang sesungguhnya.

—Nadia Prita Sari—

Happy reading...

*****

"Pak, titip sepeda ya."

Seorang bapak setengah baya mendongak. Beliau menutup koran paginya lalu membenarkan posisi duduk, "Taruh garasi, Nak."

Gadis berkacamata tebal itu menggeleng, "Di sini saja, Pak," katanya menyenderkan sepedanya di pagar rumah.

Menghela napas, bapak berpeci dan bersarung yang dipakai asal tersebut beranjak berdiri, berjalan lebih dekat menghampiri siswi SMA yang kini tertunduk mengusap sepedanya.

"Garasi Bapak masih luas. Kalau di sini sepedanya kepanasan. Nanti kalau terjadi apa-apa sama ban kamu, kamu kan jadi repot," ucap pria paruh baya itu.

"Enggak kok, Pak. Saya seminggu titip di sini sepeda tetap aman."

"Ya jelas aman. Orang Bapak masukin ke garasi."

Nadia tersenyum. Itu memang faktanya. Pagi hari dia menaruh sepeda di pinggir pagar, waktu pulang sekolah sepeda itu sudah ada di dalam garasi.

Bukannya apa-apa. Dia hanya merasa tidak enak dengan sang pemilik rumah. Parkir gratis tapi mendapatkan fasilitas baik? Tentu dia merasa malu.

"Saya pamit ke sekolah dulu, Pak," ucap Nadia.

Tangan pria itu melambai, "Nak-nak, sebentar."

Nadia kembali menoleh, mengurungkan niat untuk melenggang pergi.

"Sesekali coba kamu lapor sama guru. Anak-anak yang suka usil bukan cuman harus dihindari, tapi juga dikasih efek jera." Pria paruh baya itu melepas pecinya, "Bapak suka kasihan kalau kamu pulang sekolah selalu mampir ke bengkel sebelah mulu. Ban copot lah, keranjang penyok lah, dudukan sadel ilang lah."

Gadis itu tersenyum tipis, "Iya, Pak. Kapan-kapan saya lapor sama guru."

"Kapannya itu kapan?"

Nadia menyembunyikan bibirnya ke dalam, "Saya berangkat dulu ya, Pak."

Pria paruh baya itu menghela napas, "Ya sudah. Belajar yang bener, dan jangan lupa sama yang Bapak bilang tadi, lapor sama guru."

"Baik, Pak. Terima kasih sudah mau menampung sepeda saya," katanya yang dibalas anggukan oleh bapak tersebut.

Nadia mengeratkan pegangannya pada tali tas miliknya. Dia berjalan sedikit menunduk menghindari tatapan orang-orang berseragam sama seperti dirinya.

Selama seminggu terakhir gadis cupu itu memang suka memarkirkan sepedanya di rumah warga yang dekat dengan sekolahan. Sebenarnya di sekolahan juga ada parkiran, komplit malah. Ada parkiran khusus mobil, parkiran motor, dan parkiran sepeda. Kondisi sangat aman, tapi tidak untuk sepedanya.

Kendaraan murahannya itu sering sekali dibuat rusak. Hanya punya nya, sedangkan yang lain tidak. Sangat repot saat pulang sekolah harus mencari dan mengumpulkan kerangka-kerangka sepeda. Dia juga harus merogoh kantong lebih untuk memperbaikinya di bengkel.

Nadia berhenti di depan gerbang sekolah yang terbuka. Kepalanya mendongak menatap gapura yang berdiri kokoh.

Dia menelan ludah, pagi yang seharusnya cerah berubah menjadi seperti mendung dengan petir yang menyambar-nyambar kala dirinya menginjakkan kaki di sana.

Tiiiiin....!

Suara klakson berbunyi tepat di belakang Nadia, membuat gadis itu terperanjat kaget karenanya.

Kurang dari TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang