O2.

458 77 2
                                    

"Potonglah yang rapi!"

Anak laki-laki kurus itu hanya mengangguk. Ia kembali melayangkan kapaknya untuk memotong batang pohon besar. Begitu sang prajurit pergi, ia memberenggut. Matanya yang sipit terlihat semakin sipit karena sembab. Dari sudut matanya, meluncur setetes air, membuatnya cepat-cepat mengusap wajahnya dengan sarung tangan yang ia kenakan.

Heesung berhenti memerhatikan laki-laki kurus itu kemudian kembali melayangkan kapaknya. Keringat mengucur membasahi baju lusuhnya. Dalam hati ia kembali memaki. Padahal matahari di langit adalah matahari buatan, tapi panasnya sangat tidak manusiawi. Tidak bisakah para ilmuan membuat matahari yang suhunya bisa diatur seperti mesin penghangat ruangan?

Oiya, sebagian besar alam di dalam The Dimmension adalah buatan, termasuk matahari, laut, ataupun gunung. Semuanya dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Jangan tanyakan bagaimana cara para ilmuan membuat hal-hal seperti ini, karena Heesung pun tidak habis pikir.

Atensinya kembali tertarik pada si anak laki-laki kurus yang sekarang sedang dimarahi oleh salah satu prajurit -lagi-. Heesung melirik ke arah batang pohon besar yang ia kerjakan dari tadi. Sekarang ia paham kenapa para prajurit memarahi anak itu habis-habisan.

Jika dibandingkan dengan batang pohon yang Heesung kerjakan, batang pohon si anak laki-laki belum mencapai setengahnya. Mungkin karena tubuhnya terlalu kurus untuk pekerjaan ini. Heesung yakin tenaganya tidak seberapa.

Setelah lima menit marah-marah, sang prajurit beranjak dari tempatnya. Meninggalkan sang anak laki-laki yang mengisal matanya terus dan sekuat tenaga menahan tangis.

TAKKK!!!

Si anak laki-laki agak terkejut dengan kehadiran laki-laki jakung itu. Ia melayangkan kapaknya dengan sangat mudah, seperti sudah terbiasa dengan pekerjaan berat ini. Di balik kaos lusuh berwarna abu-abunya, otot tangannya menyembul sempurna. Berat kapaknya membuat urat-urat tangan bahkan urat lehernya terlihat jelas. Lelehan keringat memenuhi wajah dan badannya, membuat kaos lusuhnya menempel di tubuhnya.

"Bantu. Jangan diam saja," katanya dingin.

Si anak laki-laki mengangguk kemudian dengan kikuk, ikut memotong batang pohon. Kalau boleh diakui, ia sama sekali tidak membantu di sini.

"Lee Heesung," katanya. "Namaku Lee Heesung. Kau?"

Si anak laki-laki melirik sekilas. "Nishimura Riki,"

"Orang jepang?" tanya Heesung lagi, masih sambil melayangkan kapaknya.

"Benar," kata si anak laki-laki. Ia menyeka keringatnya dengan tangan. "Kau dari Dimensi D?"

"Mm," sahut Heesung singkat. Ia menegakkan badan untuk menarik nafas. "Panggilanmu apa?"

"Riki,"

"Aku akan memanggilmu Niki," sahut Heesung dengan cepat sambil kembali memotong batang pohon.

Niki memutar bola matanya. "Terserah."

Heesung meliriknya sekilas. Matanya menelisik wajah Niki yang tertekuk. Tangan kecilnya memaksa melayangkan kapak sekalipun sama sekali tidak membantu. "Biar aku saja. Kau sama sekali tidak bertenaga."

"Katakan aku harus apa?" Niki semakin cemberut.

Alis Heesung terangkat. "Tersenyumlah," jawabnya sambil kembali melayangkan kapak. "Setidaknya jangan membuat wajah kusam seperti itu."

Lucunya lagi, si anak laki-laki keturunan Jepang itu menuruti. Ia berdiri tegap sambil menarik kedua sudut bibirnya, memamerkan deretan giginya yang rapi hingga pipinya beradu dengan kelopak matanya. Walaupun terlihat agak dipaksakan, tapi berhasil membuat Heesung terkekeh. Dasar bocah.

THE DIMMENSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang