12.

280 54 2
                                    

"Jay."

Yang dipanggil sedikit tersentak kala suara berat itu terdengar menggelitik rungunya. Entah sejak kapan laki-laki itu berada di balik pintu. "Heeseung."

Heeseung mundur untuk memberi jarak. Tangannya ia jejalkan di saku jaket murah milik Sunghoon. "Aku perlu sesuatu."

"Katakanlah," jawab si pemuda Park setelah menutup pintu. Ia mengibas jaket kulitnya sebelum melanjutkan, "yang lainnya akan kemari 10 menit lagi."

"Mhm," sahut Heeseung tidak peduli dengan kalimat kedua, ia sedang sibuk menurunkan gengsinya. Oh ayolah, ia hanya perlu meminta satu hal, tapi rasanya lidahnya sangat kelu. "Aku butuh pemancar signal untuk megaktifkan pelacak kapsul. Aku tidak punya akses internet dan listrik. Kau bisa membantuku?"

Jay melangkah ke tengah ruangan. Di atas meja laboratorium, lembaran kertas berserakan dan sekotak emas yang sudah terbuka. "Untuk apa pelacak itu?"

Heeseung bediri di seberang Jay. Tangannya memutar sebuah kertas biru dengan gambaran kapsul di atasnya, kemudian memutar kertas lain dengan gambaran gedung. "Kau tidak mau kita tersesat di luar gerbang utama, 'kan?"

Maniknya menatap gambaran-gambaran rumit itu. Ia lulusan terbaik teknik mesin, tapi catatan Heeseung terlalu rumit untuk ia mengerti. Rasanya ia menjadi sangat kecil jika dibandingkan dengan pengetahuan Heeseung. Jarinya mengetuk gambaran gedung. "Bukankah tempat mesin sangat dekat dengan gerbang?"

"Bagaimana kalau kita terseret ombak dari luar gedung? Kau mau kita terombang-ambing di luar sana tanpa tahu arah jalan pulang, huh?!"

Benar juga. Jay membatin, lagi-lagi merutuki diri sendiri yang kalah saing dengan Heeseung.

"Aku hanya perlu kartu identitasmu. Chipmu yang akan menyalakan internet di kapsul."

"Kita pakai kartu identitas Sunghoon. Aksesnya sama saja, tapi jika ketahuan, mereka tidak akan berani menangkap Sunghoon."

"Kau baru saja menjadikan aku sebagai tameng?" Suara itu mengintrupsi. Laki-laki bertubuh jakung itu berjalan mendekat. Ia mengenakan setelan yang hampir sama dengan Heeseung, namun jaketnya terlihat lebih nyaman dengan bahan kulit yang mahal. Di belakangnya, Jake berjalan dengan semangkuk anggur di tangannya.

Jay mengibaskan tangan sambil terkekeh. "Oh, ayolah, kau putra mahkota."

Jake, sambil mengunyah anggur, menimpali, "tapi Jay ada benarnya. Kita jadi punya alasan kuat bahwa ini semua adalah keinginanmu."

Sunghoon bergeming. Maniknya melirik ke manik hitam legam milik Heeseung, yang juga sedang menatapnya tanpa ekspresi.

"Kita hanya perlu ke ruang mesin di luar gerbang utama untuk mencari masalahnya. Benarkan, Heeseung?"

Heeseung mengangguk.

Sunghoon merogoh saku jaketnya, sedetik kemudian, ia melempar lempengan emas ke atas meja. Kartu identitasnya. "Perjalanan ini di bawah tanggung jawabku. Sebaiknya kau tidak seenaknya, Lee Heeseung."

Pintu baja itu rumit sekali. Setidaknya itulah yang mereka tangkap dari pemandangan di balik kapsul. Heeseung dan Niki sedang berusaha membuka lapisan terakhir sebelum kapsul itu bisa meluncur ke lautan The Dimmension.

Jay yang duduk di kursi pilot mulai tidak sabar. Ia mengcengkram erat kemudi sampai buku-buku jarinya memutih. "Rasanya aku sesak di sini."

"Sabar. Bahkan bocah sepuluh tahun saja tidak protes!" Jake, yang berdiri di dekat pintu, geram. Ia bertugas menjaga pintu untuk tetap terbuka sampai Heeseung dan Niki berhasil masuk.

Jalan ini ternyata seperti sebuah terowongan dengan sekat pintu baja setiap 500 meter. Ada empat pintu yang harus mereka lalui. Setiap kali kapsul berhasil melewati sekat, pintu lain akan tertutup. Suasana gelap dan lembab membuat mereka merasa sesak di sana.

THE DIMMENSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang