Paper friends 14

19 16 9
                                    

   Ruangan yang semula gelap, kembali terlihat terang selepas Stella menekan tombol lampu didalam kamarnya. Berjalan menuju meja belajar, meletakkan tas ransel diatasnya, lalu mulai mengeluarkan sebuah buku sketchbook yang sudah basah.

"Semuanya hancur," Sedih Stella meremas erat rok seragam yang ia kenakan, perasaan itu mengakibatkan tetes-tetesan air mengucur dari sana.

   Stella masih belum juga mengganti pakaiannya, keadaan tubuhnya yang basah kuyup akibat masuk kedalam danau tadi, membuat beberapa genangan air ditempat ia berdiri.

   Tangan Stella enggan untuk membuka buku sketchbook itu, takut kalau nanti akan membuat beberapa halamannya menjadi sobek, dan malah semakin memperburuk.

"Kalau bukan karna cowo brengsek itu, semua ini gak akan terjadi."

   Jari telunjuk Stella menekan tombol kipas angin kecil yang terletak diatas meja belajarnya, diarahkan kepada buku sketchbook miliknya. "Semoga, dengan ini bukunya bisa cepet kering, dan aku bisa segera gambar Cyan lagi," Ujarnya lalu lekas pergi untuk membersihkan badan.

********

"Kami semua sama, layaknya seperti manusia normal, dari ujung kepala sampai kaki aku dan mereka tidak ada bedanya.

Hanya saja perbedaannya, aku tidak bahagia."

~Stella.

   Dengan rambut yang basah selepas keramas, dan badan yang kembali terasa segar setelah mandi, kini Stella tengah duduk di atas kursi belajarnya, untuk mengecek apakah buku itu sudah kering atau belum.

"Masih cukup basah, tapi sudah lumayan kering. Beberapa halaman sudah bisa dipakai lagi," Ucap Stella sambil membolak-balikkan halaman buku sketchbook itu dengan hati-hati.

"Apa aku gambar sekarang aja yah?"

"Gak ada dia, sepi juga ternyata," Kedua sudut bibir Stella mengembang, selepas memikirkan kembali soal Cyan, karakter khayalannya yang terkenal jahil itu. Masih beberapa jam mereka berpisah, gadis itu sudah kembali merindukan akan kehadirannya.

   Stella mengambil sebuah pensil dari wadahnya, kembali membuat sebuah coretan membentuk karakter yang sudah tergambar didalam pikirannya.

   Ditemani dengan lampu kuning meja belajarnya, dan semilir angin berasal dari kipas angin kecilnya, tak lupa juga menyalakan musik untuk menghibur telinganya agar tidak terasa terlalu sunyi.

"Yosh selesai," Akhirnya Stella telah menyelesaikannya, kini sketsa Cyan sudah kembali ada didalam buku sketchbook tersebut.

"Selamat datang kembali Cyan," Ujarnya.

"Ah aku laper nih, pengen makan mie," Ujar Stella merasakan panas didalam perutnya, cacing-cacing itu sudah bergejolak meminta makan.

   Walau terlanjur malas karna sudah pw (posisi wenak), sungguh menyebalkan harus berdiri dan berjalan sendiri kedapur sebab perut yang lapar.

   Dengan langkah kaki yang berat, Stella berjalan menuju pintu kamar. Baru saja gadis itu membukanya, dan kedua bola mata yang mengintip kearah luar.

"A-ayah," Kejut Stella melihat sang ayah membuang sebuah piring berisikan nasi, bantingan itu menimbulkan suara yang begitu keras menggema keseluruh bagian rumah, pecah, dan berceceran dimana-mana.

"Kamu itu bisa masak apa enggak sih!, dasar istri gak becus. Makanan macam apa ini?, hambar gak ada rasanya sama sekali."

"Gimana aku mau masak, kamu aja jarang kasih aku uang belanja. Garam habis, gula habis, semuanya habis, gitu ngarep mau makan enak. Kalau kita ada uang, masak apapun aku pasti bisa mas!" Balas sang ibu.

"Yah kamu harusnya punya inisiatif dong!, pinjem sana uang ke tetangga."

"Astagfirullah, aku malu mas!. Setiap hari harus pinjem uang sama mereka, hutang keluarga kita itu sudah banyak. Yah kamu harusnya sebagai kepala keluarga itu cari kerja, biar bisa hasilin uang buat aku sama Stella."

"Jadi laki-laki harus punya tanggung jawab, cari kerja biar dapet uang. Bukan malah jadi pengangguran!" Pungkas sang ibu membuat emosi sang ayah memuncak, lengan kanannya terangkat hendak dipukulkan kearah wajah istrinya.

   Tetapi sebelum Stella menyaksikannya, ia langsung menutup pintu kamar dengan segera. Naik keatas kasur, menutup kedua telinganya rapat-rapat, meringkuk seperti orang ketakutan.

   Tubuh gadis itu bergemetar, bendungan air matanya kini telah pecah. "Hiks, Stella takut, Stella takut," Rintihnya.

"Kumohon siapapun, buat mereka berhenti, buat ayah sama ibu berhenti bertengkar. Stella gak mau dengar suara-suara itu lagi," Stella terus menangis, ia tidak tahu harus melakukan apapun lagi selain menangis.

"Kakek hiks, Stella takut kek." Hingga aura hangat mulai menyelimuti tubuh Stella, terasa seperti ada seseorang yang begitu nyaman disisinya, serasa ada jari jemari panjang memegang kedua tangannya.

"Stella jangan takut," Suara itu terdengar begitu lembut.

"Cy-Cyan," Stella merasa cukup terkejut, melihat karakter khayalannya kembali hidup, dan sedang berada dihadapannya saat ini.

"Jangan takut, Cyan ada disini," Ujar Cyan tersenyum simpul, mampu memberikan perasaan hangat didalam hati gadis itu.

"Hiks, mereka bertengkar lagi Cyan, aku takut!"

   Cyan menggeleng pelan, menempelkan keningnya dengan kening Stella. "Cyan ada disini Stella, kamu tidak perlu merasa takut. Stella tidak sendirian, Cyan ada disini untuk menemani Stella."

"Hiks, Cyan!" Stella langsung memeluk tubuh Cyan, akhirnya setelah sekian lamanya selepas meninggalnya sang kakek, ada seseorang yang bisa mengerti akan bagaimana kesedihan hatinya, bisa berada disisinya ketika ia merasa terpuruk.

"Aku mohon Cyan, jangan tinggalin Stella, tetap ada disini buat Stella," Pinta Stella dengan posisi masih memeluk tubuh lelaki tersebut.

"Berapa lama pun Stella, Cyan sanggup buat selalu ada untuk Stella. Karena aku memang diciptakan, untuk kamu," Balas Cyan mengelus lembut punggung Stella, membuat Stella kembali merasa tenang.

"Jangan nangis lagi yah, nanti cantiknya hilang," Ujar Cyan berusaha untuk menghibur, sambil melepas pelukan tersebut.

"Iyah," Angguk Stella menghapus sisa-sisa air mata di pipinya.

"Ah, Stella masih jelek."

"Mak-maksut kamu apa?" Tanya Stella mengerutkan keningnya. Baru juga selesai nangis, udah di celetuk kayak gitu.

"Cewenya Cyan masih belum cantik kalau gak senyum, manisnya masih kurang," Ujar Cyan lalu membuat Stella tertawa, entah mengapa hal itu terdengar sangat lucu untuknya.

Melihat ekspresi Stella kembali senang, membuat bibir Cyan ikut tersenyum. "Nah, kalau begini cantiknya sudah komplit."

"Kamu bisa aja sih, diajarin siapa sih?. Jago banget gombalannya," Ujar Stella mengusap matanya yang berair akibat tertawa.

"Ini bukan gombalan Stella, tapi ungkapan hati Cyan."

"Oh yah, Stella harus janji yah sama Cyan, jangan pernah kasih tawa bahagia kamu tadi itu ke siapa-siapa."

"Memangnya kenapa?" Tanya Stella.

"Karena itu terlalu indah Stella, Cyan cuman mau itu hanya buat aku aja," Jawab Cyan seketika membuat pipi Stella memerah.

"Besok kamu harus sekolah kan?, tidur gih, jangan sampai nanti bangunnya kesiangan lagi," Suruh Cyan dengan menepuk-nepuk pelan kepala Stella.

"I-iyah," Kikuk nya dengan tubuh yang membeku, untuk yang kedua kalinya Cyan mampu membuat Stella tidak bisa berkutik karna rasa malu.

"Selamat malam Stella, mimpi indah," Ujar Cyan mengucapkan kata selamat malam, sebagai kata perpisahan sebelum ia tertidur.

"Selamat malam juga Cyan," Balas Stella dengan perlahan menutup mata, samar-samar melihat Cyan tengah duduk disamping dirinya, dengan masih mengelus lembut kepalanya. Sampai dirinya, benar-benar terlelap dalam tidurnya.

PAPER FRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang