Lapang Dada

316 63 4
                                    

Sagara

—-

"Ga, nih ada titipan lagi." Bang Jin meletakkan satu batang coklat di atas meja gue.

Gue baru saja selesai mengajar, tiba-tiba sudah disuguhi bingkisan saja. Coklat itu gue ambil dan gue lihat siapa pengirimnya, tidak ada nama dan tulisan apapun. Jadi, gue langsung meletakkannya acuh ke dalam tas.

"Kalo ketahuan dosen lain udah disanksi lu, dapet gratifikasi terus setiap hari."

Gue hanya tertawa hambar pada lelucon bang Jin yang sedang memakan rujak buah langganannya.

Ini bukan kali pertama gue mendapatkan bingkisan misterius seperti ini, beberapa juga ada yang terang-terangan menuliskan nama dan pesan mereka. Bukannya ingin sombong atau apa, mungkin karena di sini status gue masih jomlo, jadi nggak sedikit mahasiswi dan beberapa dosen yang masih lajang mencari perhatian pada gue.

Gue dan bang Jin selalu menjadi korban, meskipun penggemar gue nggak sebanyak bang Jin.

"Kan gak ada nama pengirimnya ini." Jawab gue asal.

"Kemarin gue juga dapet, Ga. Diajakin nonton berdua."

"Terus?"

"Gue tolak."

"Kenapa?"

"Yang ngajakin cowok."

Ya begitulah, nggak sedikit yang tertarik pada kami itu lawan jenis, pahit-pahitnya pasti ada sesama kaum kami yang tertarik pada gue atau bang Jin. Bukannya gue menganggap mereka sebagai lelucon... Maaf-maaf saja, meskipun gue sudah sendiri bertahun-tahun, gue masih suka sama lawan jenis.

Yang lawan jenis aja kami tolak, apalagi yang sesama jenis begini haha.

"Mendingan gue ngajak nonton bu Tuti, daripada harus jalan nonton sama mahasiswa." Ujar bang Jin asal. Bu Tuti adalah penjual soto di kantin fakultas tempat kami mengajar.

"Emangnya bu Tuti ngerti lu ajak nonton bioskop?"

"Kagak nonton bioskop, sama bu Tuti mah nonton wayang kulit atau gak srimulat."

"Jadul banget omongan lu sampe ke srimulat segala. Tau gak? Itu acara zaman ibu papa gue masih orok."

"Gimana ya, Ga, seumuran kita tuh udah gak pantes lagi nikmatin hal yang terbaru, rasanya pengen balik ke zaman majapahit aja gue."

"Kalo gue sih masih pengen haha. Biar gak keliatan bego aja kalo dengerin Adi, Theo, sama Janu ngobrol."

"EH-- Si Adi, belum bayar hutang tempe mendoan gue, kurang ajar tuh bocah, kalo gak ditagih pura-pura gak tau."

Adi adalah asisten dosen dari pak Tri, dekan kami yang masih harus tetap punya jadwal mengajar.

"Tapi, ya Ga, temenan sama trio krucil itu bikin jiwa muda gue tetep ada. Seenggaknya gue paham lah tuh trend-trend di tiktok dari si Janu." Bang Jin memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Mungkin dia sudah selesai menghubungi Adi untuk menagih hutang tempe mendoan yang ia beli di kantin dan bilang pada penjual kalau yang bayar nanti bang Jin.

"Iya saking berjiwa mudanya lu gak mau nikah kan bang?"

"Ya mau lah. Dibilang belum ada aja yang cocok. Lu aja lah, Ga, duluan."

"Haha gampanglah. Nanti juga ketemu."

Dilemma di usia kuarter memang antara karir dan pernikahan. Mungkin bang Jin lebih berpengalaman dari gue. Karena dia sudah melewati masa 25 tahunnya dan sudah tidak peduli dengan yang namanya pertanyaan 'kapan menikah?' dan 'mana calonnya?' Dia sudah bosan dengan pertanyaan seperti itu, jika ada yang bertanya pada bang Jin tentang calonnya, pasti bang Jin nggak segan akan menjawab,

end gameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang