Shouldn't Have

150 18 10
                                    

Ayunda

---

"Kenapa lo berdua gak langsung kawin aja sih, Yu?" Celetuk Dhiska begitu gue selesai cerita tentang kejadian di rumah Aga kemarin.

Gue mendesah berat sembari memasukkan barang ke dalam tas. Sedangkan Dhiska bersantai dengan duduk di sofa ruang guru, Mbak Yaya hanya tertawa geli mendengar Dhiska yang asal bicara.

"Lo pikir kalau kita nikah semua masalah selesai?" Jawab gue agak malas.

"Ya... Daripada lo nunggu DUA SETENGAH TAHUN. Mendingan nikah sekarang aja daripada--" Kalimat Dhiska terpotong dan dia terlihat berpikir untuk melanjutkannya.

"Daripada apa?" Tanya gue penasaran.

"Gak jadi deh." Dengan santainya dia menggantungkan gue dengan rasa penasaran.

Tapi, gak gue ambil pusing, karena itu Dhiska. Dia pasti hanya asal bicara. Meskipun terkadang omongannya mengandung amanah terselubung, tapi gue tahu kali ini dia hanya meledek.

"Lagian baru pacaran beberapa hari juga, gue gak buru-buru kok nuntut Aga ini-itu. Aga juga gak ada intensi ngomongin ke arah sana."

Tubuh Dhiska tiba-tiba menegak, "Serius Aga gak ada ngomongin masalah nikah setelah nanti lo nunggu dia balik?"

Gue mengangguk santai sambil menutup aplikasi-aplikasi di komputer lalu mematikannya. Sejujurnya, gue juga gak menuntut banyak dari Aga perihal kepergian dia. Gue gak mau membebankan terlalu banyak masalah hubungan kami. Melihatnya kelelahan setelah pulang dari kerja karena harus mempersiapkan pengabdiannya bulan depan, gue jadi gak tega.

"Tapi... Aga serius kan Yu sama hubungan kalian?" Tanya mbak Yaya sedikit ragu, takut menyinggung perasaan gue.

"Pacarannya? Serius kok."  Gue menyambar tas dan keluar dari meja.

"Yah... Kalau serius mah lo udah diajak ke KUA." Bisik Dhiska begitu kami hendak keluar dari ruangan, "Tapi, Yu, gue ingetin aja jangan sampe Aga macarin lo karena dia takut kesepian gak punya siapa-siapa selama dia di Papua. Jangan sampe lo cuma jadi penghilang bosan."

Mulut gue terkatup rapat ketika Dhiska mulai menyuarakan dugaannya. Sedari awal, gue gak pernah menduga hal seperti itu. Tapi, kenapa ucapan Dhiska terasa mengganjal di dada gue.

"Lagian aneh gak sih, mbak. Si Aga ngajak Ayu pacaran tetapi sebelum itu dia kayak ngedorong Ayu untuk ngejauh. Dan pas nembak malah ngasih syarat Ayu mau nunggu dia. Cowok kayak gitu egois." Lanjutnya merujuk pada Mbak Yaya.

"Yang tahu kan cuma Aga sama Ayu, Dhis. Meskipun aku setuju sama kamu sih. Tapi, selama Ayu santai ya gak masalah. Mereka pasti punya caranya masing-masing."

Mbak Yaya keluar terakhir dan mengunci pintu, karena semua pengajar sudah pulang semua menyisakan hanya kami bertiga. Kami sengaja pulang terakhir karena hari ini ada agenda kunjungan dari kantornya mas Aska mengunjungi Rumah Pohon. Beberapa staff yang berpartisipasi dalam acara ini nantinya akan menggantikan kami dalam mengajar.

Ini pertama kalinya ada donatur yang ingin mengadakan acara santunan dengan terjun mengajar secara langsung. Biasanya donatur yang mendukung program Rumah Pohon hanya mengirimkan material dan nantinya kami yang mengisi acara, mereka hanya butuh dokumentasi.

Kabar dari mbak Yaya, mas Aska sendiri yang mengidekan acara santunan langsung ini. Gue salut sih, mas Aska masih terpikirkan untuk berpartisipasi mengajar di Rumah Pohon.

"Yuk, orangnya udah nunggu di depan." Ajak mbak Yaya kepada kami.

Orangnya? Biasanya kalau kami bertiga pergi ke Rumah Pohon, pasti menggunakan mobil mbak Yaya dan dia yang menyetir. Apa mbak Yaya kali ini sudah punya supir?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

end gameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang