Ayunda
---
Gue memijat pelipis gue karena kepala gue yang rasanya berputar akibat terlalu banyak pikiran. Akhir-akhir ini gue mendapat panggilan untuk menjadi narasumber di webinar nasional suatu kampus negeri di Jakarta untuk fakultas psikologi. Tentunya, itu adalah kesempatan besar untuk gue, karena ini pertama kalinya gue mengisi seminar di suatu kampus negeri. Biasanya gue hanya mengisi webinar di komunitas-komunitas kecil saja. Dan kali ini mereka meminta topik tentang parenting.
Oh... Dan beberapa hari lalu juga, gue juga mendapat panggilan dari dinas kesehatan untuk membahas tentang kesehatan mental.
Tentu gue senang dengan kepalang, karena ini adalah hal yang selama ini ingin gue lakukan. Berhari-hari gue mencari materi dan menyelusuri jurnal internasional di internet.
Ditambah, sekolah Rumah Pohon rencananya akan menambah pengajar dan pengurus, karena akhir-akhir ini mbak Yaya, Dhiska, dan gue juga tentunya, kami merasa sedikit kewalahan. Kami akan menambah tempat juga, gak hanya di dekat tempat pembuang sampah di Rawa Buaya, ada suatu komunitas yang meminta kami juga ikut membuka sekolah di salah satu tempat pembuangan di Jakarta Timur. Tentu, itu gak mudah bagi kami, karena satu sekolah saja kami sudah kelimpungan, itulah kenapa kami bertiga sedang mengadakan perencanaan.
Dan ada lagi yang memberatkan pikiran kepala gue kali ini, tentang kejadian dua hari lalu saat gue dan pak Aga ke puncak, dengan iming-iming dia akan membicarakan masalah kami berdua.
Ucapannya kemarin itu masih sangat menempel di ingatan gue, bagaimana dengan mudahnya pak Aga menyuarakan kata sayang. Dan itu membuat gue skeptis. Setelah gue melihatnya dengan perempuan lain dan penolakan di Dufan saat itu, gue gak bisa percaya begitu saja kalau dia mudah untuk mengucapkan kata yang rasanya ingin gue keluarkan dari kepala.
Kenapa dia gak bilang sejak awal? Kenapa harus mendorong gue sejatuh-jatuhnya terlebih dahulu? Kenapa mudah bagi dia untuk kembali menampakkan dirinya di depan gue?
Gue gak ingin bohong kalau gue gak mengarapkan pak Aga bisa suka balik pada gue. Tapi, gue takut kalau dia hanya menyukai gue dengan alasan. Gue sangat gak suka itu. Karena hanya akan membuat hue terlihat sangat menyedihkan.
Suara ponsel gue yang gue letakkan
di bawah bantal sana terdengar samar, gue beranjak sebentar, sedikit meregangkan otot pinggang gue yang seperti sudah remuk. Tangan gue meraba ke bawah bantal dan mengambil hp dari sana."Janu?"
Tumben banget Janu menghubungi gue, biasanya kami hanya bertukar pesan, jika dia sedang menggantikan pak Aga untuk menjemput Kiran.
"Halo? Kenapa Nu?"
"Mbak Ayu, ini hari Sabtu, mbak Ayu libur gak?" Seperti biasa, suara seperti anak remaja baru puber itu menyapa gue.
"Libur dong, Nu. Kenapa?"
"Mbak, maaafff banget gue ngerepotin, tapi, bisa tolong jagain Kiran di apartemen bang Aga gak?"
"Loh Aga emang kemana, Nu?"
"Bang Aga lagi sakit, ini Kiran gue yang jaga, tapi gue lupa jam tiga nanti harus nge-gig di club temen gue. Gak bisa banget absen gue."
Pak Aga sakit? Gue mengerjap sebentar dan duduk di pinggir kasur.
"Eum... Aku ke sana satu jam lagi, masih sempet kan?"
"Masih... Masih sempet kok. Gue tunggu ya, mbak. Makasih banyak."
Gue menutup telepon dari Janu. Dan segera bangun dari duduk, pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka gue. Tenang, gue sudah mandi kok, hanya saja tadi saat mengerjakan materi presentasi untuk webinar, gue memang mengantuk. Gue hanya mengusap air ke wajah sekadar untuk membuat gue bangun saja. Dan tanpa berganti baju lagi, gue mengambil cardigan rajut yang tergantung di lemari, membawa satu kantung besar karena mungkin gue akan mampir ke supermarket sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
end game
Fanfiction"So just lead the game, I'll follow the rules, then there's end game for us."