Habibi memarkir mobilnya di garasi rumahnya yang baru saja lampunya dimatikan oleh umi. Ia memijat leher belakangnya karena merasa lelah, baru bisa pulang ke rumah saat pagi tadi. Ia mengucapkan salam dan melihat umi dan abahnya sedang sarapan bubur langganan yang biasa lewat di depan rumah.
Gak lupa Habi menyalami tangan umi dan abah dan ikut duduk di meja makan.
"Mandi dulu atuh, A. Baru sarapan bareng." Suruh umi.
"Aduh... Aa laper banget, umi."
"Duit doang banyak, makan ditunda tunda terus." Omel uminya tetap menyajikan semangkuk bubur di depan Habi.
"Gak sempet..."
Habi menyendok buburnya dengan lahap, abahnya hanya menggelengkan kepala melihat anak laki-laki bungsunya yang seperti belum makan tiga hari.
"Makanya, cari jodoh kan abah bilang. Biar ada yang ngurusin selain umi lu. Lu udah masuk usia kawin, Habibi. Apa jangan-jangan lu gak suka cewek?"
Karena abahnya memang asli dari betawi, maka gak heran kenapa abahnya menggunakan kata gue-elu pada Habibi dan Juli, kakaknya. Mereka juga sudah terbiasa. Sangat berbeda dengan uminya yang berasal dari Sunda, cara bicaranya sangat lembut, bahkan kata Habi cara bicara umi lebih seperti suara suling sunda yang membuat Habi mengantuk.
"Astaghfirullah abah... Gini-gini Habibi masih demen sama cewek."
"Bawa dong cewek yang lu demen itu ke rumah, kenalin ke abah sama umi."
"Belum nemu, bah."
"Atau lu mau gue jodohin aja sama si Sekar?"
Habibi hampir tersedak mendengar ucapan abahnya, ia langsung menegak air putih tanpa jeda.
"Masa Aa dijodohin sama si Sekar? Dia kan temen Aa dari kecil."
"Lagian, gue ngeliat cewek yang deket sama lu si Sekar doang. Iya gak umi?"
Abahnya menanyakan pendapat uminya dan perempuan paruh baya itu mengangguk setuju sambil mengelap piring yang baru saja selesai dibilas.
"Udahlah... Udah selesai makan ini, Aa mau ke atas dulu." Habibi membereskan mangkuk bekasnya.
"Heh... Cuci piring dulu! Masa umi lu yang disuruh nyuci?"
"Iya, bah. Habi tau diri juga kali."
---
Baru saja Habi selesai mandi dan menggosok rambutnya yang basah dengan handuk, ia langsung mengecek ponselnya yang baru sempat ia charge sejak semalaman mati karena baterainya habis.
Semalam Habi tidak sempat pulang ke rumah, karena menemani temannya, salah satu selebgram terkenal, sehabis menghadiri acara peluncuran produk makeup lalu lanjut untuk shooting podcast hingga subuh tadi.
Ia terduduk di pinggiran kasur, menekan lama tombol kunci hingga layar hpnya hidup. Kelopak matanya terbuka lebar begitu mendapati lebih dari 30 panggilan tidak terjawab dari Sekar dan lima panggilan tidak terjawab dari umi. Matanya menyipit, berusaha mengecek apakah cewek itu meninggalkan pesan atau tidak.
Tidak ada pesan sama sekali. Memang sih kebiasaan Sekar, dia gak pernah menyampah pesan gak penting, pasti kalau ada sesuatu yang urgen, Sekar akan menelfon. Ia berbaring sebentar ketika memanggil nomer Sekar balik. Habibi kaget untuk kedua kalinya ketika menghirup aroma Sekar yang menempel di bantalnya.
Semalam Sekar mampir ke kamarnya?
Karena penasaran, Habi keluar dari kamar dan turun menemui umi yang sedang mengaduk adonan kue.
"Umi, semalem Sekar ke kamar Aa?" Tanya Habibi, masih dengan Handuk yang tersampir di lehernya.
"Astaghfirullah." Umi menepuk jidatnya, "Umi lupa kasih tau, Habi lupa ya hari ini si Sekar ulang tahun?"
KAMU SEDANG MEMBACA
end game
Fanfiction"So just lead the game, I'll follow the rules, then there's end game for us."