Warna Jingga Di Praha

355 69 3
                                    

Ayunda

—-

Ayunda Jingga Praha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ayunda Jingga Praha.

Iya. Itu beneran nama gue. Nama asli. Nama dari lahir yang diberikan oleh bunda kandung gue sendiri, seorang perempuan yang melahirkan gue dari perutnya.

Kebanyakan orang akan merasa biasa saja jika hanya mengenal nama depan gue, karena nama Ayunda memang cukup pasaran di Indonesia. Tetapi, nggak sedikit dari mereka yang bertanya-tanya apakah gue selalu bercanda dengan nama lengkap gue? Tidak.

Justru gue suka dengan nama ini.

Saat dulu SD, gue mendapat tugas untuk menceritakan tentang diri sendiri, gue bertanya pada bunda, apa arti dari nama gue dan penjelasannya apa? Kenapa harus Jingga? Kenapa harus Praha?

Jawabannya simpel, Ayunda Jingga Praha, berarti langit di Praha berwarna jingga yang cantik. Bahkan bunda gue sama sekali belum pernah pergi ke Praha sekalipun. Sudah hanya itu.

Saat itu bunda sedang melihat-lihat majalah mingguan yang menjadi langganannya dan terdapat satu artikel dari majalah tersebut yang menyebutkan tentang Praha. Bunda sangat terkesima dengan jepretan fotografer di artikel tersebut yang memotret bangunan The Wallenstein Palace, memancarkan ruang langit senja Praha yang sedang berwarna jingga.

Dan nama Ayunda keluar muncul begitu saja ketika bunda tahu bahwa dia melahirkan anak perempuan.

Meskipun gue juga belum pernah sama sekali pergi ke Praha, tapi siapa tahu, nanti suatu saat, gue bisa mengunjungi Praha dan berfoto di jembatan-jembatan yang tersebar di sepanjang sungat Vltava.

Dan akan menuliskan Ayunda Jingga Praha dengan langit jingga di Praha.

Haha. Mengkhayal dulu boleh kali ya? Selama masih gratis ini. Karena dengan gaji gue sebagai guru daycare yang hanya meleset lewat UMR sedikit, gue harus mengurungkan niat untuk menabung ke Praha.

Belum lagi harus memenuhi kebutuhan kost dan tetek bengeknya.

"Yu, kemarin walinya Kiran jemput jam berapa?" Dhiska yang sedang mengaduk tehnya duduk di sebelah gue yang baru saja istirahat untuk makan siang.

"Jam setengah limaan lah." Jawab gue santai sambil menggigit sate ayam.

"Heh?! Serius?!"

"Serius."

"Sinting juga—"

Buru-buru gue langsung menutup mulutnya yang selalu kelepasan bicara. Bagaimana nanti jika ada wali murid yang nggak sengaja dengar dan protes kalau guru-guru di sini berbicara dengan bahasa yang kurang sopan di lingkungan daycare. Bisa habis gue dan Dhiska. Masalahnya ini adalah satu-satunya sumber mata pencaharian gue.

"Tahan dulu ngomong kasarnya, nanti ketahuan mbak Yaya." Ujar gue setelah melepaskan tangan gue dari mulutnya.

Dhiska menghela nafasnya kasar, dia mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu lalu dia tunjukkan pada gue.

end gameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang