What Am I?

301 35 4
                                    

Ayunda

—-

Gue dan Aga sepakat untuk memberitahukan kepada keluarga tentang hubungan kami. Seharusnya kemarin lusa kami berangkat ke Tangerang, ke rumah orang tua Aga, untuk menyampaikan kejelasan hubungan kami.

Sialnya, kami sedang sama-sama sibuk beberapa hari ini. Aga pulang agak larut dari kampusnya dan gue yang sibuk dengan daycare juga Rumah Pohon yang sedang menampung tambahan donatur.

Bahkan dua hari ini kami juga belum bertemu, berakhir dengan Aga yang jadi mengirim makanan ke kost gue karena merasa bersalah. Padahal dia gak perlu segitunya.

Karena hari ini jadwal gue agak longgar dan gue sudah pulang dari daycare sejak jam empat sore tadi, Aga bilang akan menjemput gue di kost. Katanya takut gue menunggu terlalu lama kalau harus jemput di daycare.

"Udah oke kan, Dhis?" Gue bertanya tentang make up pada Dhiska yang memang sedang mampir ke kost gue dan dia sedang rebahan santai di atas kasur.

Dhiska hanya mengangguk singkat, "Oke. Tapi kalau bisa gincu nya lo ganti warna. Itu terlalu ngejreng Yu."

"Oke."

Kalau Dhiska sudah berpendapat itu pasti memang kejujuran dia apa adanya. Makanya kenapa gue suka minta pendapat pada Dhiska, karena dia gak segan bicara jujur dan tidak ada yang ditutupi.

"Gini?" Sekali lagi gue memastikan penampilan.

"Udah oke." Jawab Dhiska pasti, "Lo kenapa harus gugup gini deh Yu. Kan udah beberapa kali ketemu ortunya si Aga."

Gak tau kenapa gue kali ini agak grogi. Apa mungkin karena ini pertama kalinya muncul sebagai pacarnya Aga? Bukan hanya sekedar Ayunda.

"Takut gak direstuin? Kan kalian emang udah mau dijodohin."

Gue duduk di pinggir kasur, menghela nafas berat. Rasanya ada beban besar di dada gue.

"Gak tau kenapa, kayaknya emang sindrom ketemu ortu pacar tuh gini gak sih?"

Dhiska menertawakan gue yang sudah terlanjur terlihat bodoh. Sindrom yang gue maksud adalah sindrom dimana para perempuan ingin tampil sebaik mungkin dan takut akan penolakan ketika bertemu orang tua pacar mereka. Dan ini sedang terjadi pada gue.

"Relax... Kalau lo grogi kayak gitu malah keliatan kaku, jatohnya lo malah canggung dan kayak orang bego."

Iya sih... Karena sedaritadi gue udah kayak orang dongo. Kalau gue grogi begini, pasti tangan gue tremor untuk pakai makeup. Buktinya tadi saat gue memakai pensil alis, bentuknya sangat tidak sinkron seperti bentuk paruh burung. Gue berkali-kali harus menggambarnya ulang sampai sempurna seperti yang gue inginkan.

Nada dering ponsel gue berbunyi dan tanda pesan dari Aga.

Saya sudah di depan.

Kaku banget kayak abang ojol.

Gue langsung menyambar tas gue dan tidak lupa merapikan rambut terlebih dahulu sebelum pamit pada Dhiska.

"Gue titip kost, Dhis."

Dhiska mengacungkan jempolnya. Dengan langkah yang gue atur agar tidak membuat gue semakin panik, gue keluar dari kost dan sudah mendapati mobil Aga berhenti di depan. Gue langsung masuk ke dalam dan mendapati wajah Aga yang cukup kusut.

Tuh kan... Dia tuh pasti lelah. Jadi dosen kan kerjaannya bukan sekedar mengajar lalu balik ke rumah. Dosen juga perlu mengabdi, membuat penelitian, rapat ini-itu, mengurus kemahasiswaan. Mendengar dari Aga saja sudah membuat gue pusing gak karuan, padahal bukan gue yang menjalani.

end gameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang