Ayunda
—-
2 jam; Waktu yang sudah gue habiskan di kafe biasa tempat gue bersantai. Di kafe ini lah waktu itu gue pernah berseteru dengan pak Aga. Jika ditanya apakah gue kapok datang kesini? Oh tentu tidak. Karena gue lebih menghargai menu non kopi andalan mereka dibanding gue harus trauma karena teringat perseteruan dengan pak Aga.
Gue bahkan sudah menambah gelas ke-dua menu deep choco frappucino. Ditambah gue harus mengerjakan presentasi untuk menjadi narasumber webinar. Sebagai lulusan psikologi, gue gak ingin jurusan gue terbuang sia-sia begitu saja. Meskipun masih ada hubungannya dengan menjadi pengajar di daycare, tapi gue ingin ilmu gue masih mencakup luas. Terkadang mbak Yaya menugaskan gue untuk menskrining tentang stimulasi tumbuh kembang murid-murid. Mengadakan pertemuan orangtua murid dan menjabarkan tentang parenting yang baik menurut psikologis. Dan dari situ, banyak orangtua murid yang tentu berada dalam lingkup pekerjaan berbeda, terkadang mereka mengundang gue untuk menjadi pembicara di Webinar yang mereka adakan.
Dengan puji syukur hasil dari kerja di daycare milik ayah mbak Yaya itu juga, gue sempat dibayarkan untuk melanjuti pendidikan hingga Psikolog Profesi dan sekarang gue sudah dikukuhkan sebagai psikologi klinis oleh organisasi profesi gue. Itulah kenapa gue sangat loyal mengajar di daycare milik ayah mbak Yaya. Kalau kata bunda kesempatan ini membawa gue ke keadaan menyelam sambil minum air.
Gaji yang mereka tawarkan memang tidak terlalu besar, tapi gue selalu merasa sangat cukup. Cukup untuk membayar kost, cukup untuk membantu menambah biaya Adimas yang sebentar lagi kuliah, cukup untuk menambah sedikit biaya berobat penyakit jantung ayah, cukup untuk menyenangkan bunda, bahkan cukup untuk makan enak, dan menabung.
Untuk sarapan hingga makan siang saja, sudah disediakan di daycare, karena bekerja sama dengan catering milik mama mbak Yaya.
Itulah kenapa yayasan ayah mbak Yaya sangat sukses. Untuk daycare yang beliau buka saja, merupakan salah satu yang terfavorit di Jakarta.
Pokoknya semenjak gue memutuskan untuk menjadi guru daycare, alih-alih menjalani pekerjaan sebagai pegawai kantoran dengan dandanan necis, lanyard mahal, sepatu flat jutaan, yang dulu sangat gue idam-idamkan. Entah kenapa sekarang gue merasa hidup lebih... nyaman. Gue merasa berjalan dengan kecepatan yang tepat, berjalan santai dimana keadaan nggak bikin gue terengah-engah dan capek. Dan dengan perjalanan yang gue ambil ini, gue mengerti dari hidup nyaman yang gue cari selama ini. Meskipun terkadang gue sedikit direndahkan karena profesi gue sebagai guru daycare, karena menurut pandangan mereka menjadi guru apalagi guru daycare itu gajinya sangat rendah dan gak prestigious. Gue sih cukup tutup kuping ya, kan gue yang menjalani, mereka gak tau aja bagaimana enaknya jadi diri gue sekarang hahaha.
"Mbak, boleh duduk di sini?"
Kepala gue mendongak ketika mendengar suara berat familier. Dan benar saja pak Aga sudah menarik kursi di tangannya terdapat segelas americano.
"Gak boleh, pak." Jawab gue.
Tapi, tetap saja dia menarik kursinya dan duduk di hadapan gue. Dasar gak peka.
"Kamu maruk banget, kursi buat empat orang kamu pake sendiri."
"Saya emang janjian sama teman saya, tapi belum pada dateng katanya baru bangun."
Tadi, saat gue mengabari sedang duduk di cafe, mbak Yaya dan Dhiska memutuskan untuk menyusul dan mengetahui Maya sedang shift, mereka tambah semangat. Memang racikan resep menu kopi Maya itu terbaik! Meskipun gue gak pernah coba sih menu kopinya hehe.
"Duduk di samping sana, kemarin bapak udah ambil tempat saya, sekarang malah ambil tempat buat temen saya." Dagu gue menunjuk pada meja sebelah.
"Duduk di samping kamu maksudnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
end game
Fanfiction"So just lead the game, I'll follow the rules, then there's end game for us."