Lassitude-Bagian 3

1.1K 66 2
                                    

Malam itu keluarga kecil Bramasta sedang duduk bersama di ruang keluarga. Felly terlihat sedang asik bermain dengan boneka-bonekanya. Di sisi lain, kegiatan Karina hanya mengganti-ganti saluran televisi karena tidak ada acara yang menarik. Karina yang terlihat bosan itu memilih untuk mematikan televisi.

"Kenapa? Kenapa dimatikan?" tanya Bramasta sedikit heran.

Karina tidak menjawab. Ia malah beringsut mendekati Bramasta yang dari tadi berkutat dengan laptopnya. "Proyek baru?"

Bramasta mengangguk-anggukkan kepalanya dengan semangat. Ia mengalihkan layarnya ke tab lain. Lalu mengetik sesuatu di kolom pencarian Google itu.

"Ini," Bramasta mendekatkan layar laptop itu pada Karina.

"Ini Museum Louvre. Kalau proyekku kali ini sukses besar, aku akan membawamu dan Felly ke sini. Kita akan berlibur ke Perancis," kata Bramasta dengan penuh semangat.

Karina menutup mulutnya takjub. Pergi ke negara Perancis memang sudah menjadi impiannya sejak lama. Dari dulu ia bermimpi akan terbang ke negeri menara Eiffel itu.

"Kau tidak bercanda, 'kan?" tanya Karina memastikan. Ia takut Bramasta hanya sedang mengerjainya saja.

Bramasta tertawa lebar melihat ekspresi Karina itu. Dengan perasaan gemas Bramasta mencubit pelan pipi mulus istrinya itu. Bramasta kemudian menarik Karina ke dalam pelukannya, lalu mengecup puncak kepala Karina itu. Bramasta menghirup dalam-dalam aroma shampo yang melekat pada rambut halus Karina itu. Aroma ini benar-benar membuat Bramasta merasa candu.

"Aku tidak bercanda. Proyek ini memang akan memberiku keuntungan besar jika berhasil. Dan di setiap keberhasilanku, kau dan Felly harus menikmati itu, sayang."

Karina memeluk Bramasta dengan erat. Suaminya itu selalu saja punya cara untuk membuat hatinya merasa berbunga-bunga. "Aku doakan semua pekerjaanmu bisa sukses besar, sayang!"

📎📎

Matahari bersinar begitu terik pada siang hari itu. Siapapun yang berjalan di bawah sinarnya pasti akan mengeluh kepanasan. Hal itu terlihat jelas dari ramainya pembeli yang mengelilingi penjual es cendol yang sedang berhenti di pinggir jalan itu.

Elina yang tadinya ingin melepaskan dahaga dengan minuman cendol kini mengurungkan niatnya. Kerumunan pembeli cendol itu membuatnya merasa semakin penat. "Ah! Kalau aku ikut mengantri, bisa-bisa tenggorokanku menjadi lebih kering."

Akhirnya ia memutuskan untuk memarkiran motornya di depan CafeLuna itu. Dengan langkah yang sedikit terburu-buru Elina masuk ke dalam CafeLuna itu. Ia langsung duduk di sembarang kursi lalu memanggil waiter. Tanpa banyak berpikir Elina langsung memilih minuman yang sepertinya ramah di tenggorokannya.

"Jangan lama-lama, ya. Aku terlalu haus," ucap dengan wajah meminta belas kasihan pada waiter.

Tidak lama kemudian minuman Elina sudah diantarkan ke mejanya. Elina langsung menyeruput minuman itu dengan cepat. Rasa dingin itu langsung menjalar di sepanjang tenggorokannya. Ia terus saja menyedot minuman itu hingga tandas, seolah benar-benar dendam dengan rasa hausnya.

Baru saja hendak berdiri, Elina tiba-tiba terpaku melihat sosok yang baru masuk ke dalam CafeLuna itu. Bramasta terlihat melangkah menuju ke salah satu kursi. Mata Elina terus mengekori kemana kaki Bramasta melangkah. Dan akhirnya laki-laki itu berhenti di kursi yang sudah di duduki seorang wanita.

"Jane?" gumam Elina pada dirinya sendiri.

Elina memutuskan untuk kembali duduk. Ia mengatur posisi duduknya agar tidak terlalu kentara sedang mengawasi Bramasta dan Jane. Elina juga tidak lupa untuk mengambil gambar kedua orang itu.

"Kenapa kau harus berduaan dengan Jane, Bram?!" dengus Elina kesal sambil memperhatikan hasil bidikan fotonya.

Tadinya Elina sudah membuka kolom chat-nya dengan Karina untuk mengirim foto itu. Tapi ia mengurungkannya. Ia tidak mau terburu-buru memberi berita. Elina takut kalau tindakannya ini mungkin bisa berdampak buruk bagi rumah tangga Karina dan Bramasta nanti.

📎📎

"Ah, Tante Hana. Apa kabar?" Karina mencium sepasang pipi Tante Hana itu.

Hari ini Tante Hana berkunjung ke rumah Karina dan berencana akan menginap selama dua malam. Tante Hana datang ke kota ini bukan tanpa alasan. Ia datang karena permintaan Jane.

"Kenapa cuma dua malam, Tante? Aku bisa menyediakan tempat bahkan satu tahun untuk Tante," gerutu Karina sambil menenteng tas Tante Hana ke dalam rumah.

"Kau 'kan tahu, bagaimanapun tantemu ini datang untuk membantu sepupu jauhmu Jane."

Jane adalah keponakan kandung mendiang Paman El, suami Tante Hana. Itulah alasan mengapa Karina bisa bertemu Tante Hana di acara pernikahan Reyhan dan Jane waktu itu. Dan dengan begitu, Karina dan Jane adalah sepupu jauh.

"Aku rasa yang butuh pertolongan itu adalah mereka yang sudah hamil besar dan melahirkan, Tan. Bukan di saat hamil muda begini," ucap Karina. Ia masih kurang suka pada Jane meski sekarang ia tahu bahwa Jane adalah saudaranya.

"Tapi Jane memang membutuhkanku, Kar. Kasihan dia setiap hari harus meneleponku. Jane pasti sangat merasa sulit," ucap Tante Hana dengan suara yang terdengar prihatin.

"Apalagi Jane sudah tidak punya Ibu. Dia pasti merasa sangat bingung dan kesulitan."

Karina menarik napasnya dalam-dalam. Padahal dia juga sudah tidak punya Ibu, tapi dia sanggup untuk melewati masa kehamilannya saat itu. Bahkan meski ia menghubungi Tante Hana, tantenya itu tetap tidak bisa menolongnya karena saat itu anak kandung Tante Hana juga sedang baru melahirkan. Ah, kenapa juga dia harus membandingkan dirinya dengan Jane?

"Mari Tante, aku antarkan ke kamar."

"Iya, ayo."

📎📎

Terdengar suara pintu kamar terbuka. Karina merasa sangat lelah, wajahnya terlihat begitu lesu. Bagaimanapun perasaannya pasti sedang tidak tenang. Felly sedang demam. Memang putrinya itu sudah diberi obat dan dikompres, tapi tetap saja Karina merasa kuatir.

"Bagaimana? Felly sudah bisa tidur?" tanya Bramasta yang baru saja keluar dari kamar mandi. Karina bisa menghirup aroma sabun yang melekat pada tubuh Bramasta itu. Entah mengapa hatinya sedikit lebih membaik setelah menghirup aroma itu.

"Felly sudah bisa tidur, demamnya juga sudah sedikit turun," jawab Karina.

Bramasta kemudian mendekat lalu memeluk tubuh istrinya itu. "Sudah tenang saja. Anak kita pasti akan segera sembuh."

Bibir Bramasta kemudian mulai mengecup pipi Karina. Perlahan-lahan mendekat ke arah bibir Karina, dan menciumnya cukup lama. Tangan Bramasta juga mulai mengusap-usap punggung Karina. Laki-laki itu mulai mendorong Karina agar terjatuh di atas kasur tempat tidur.

Karina yang mengerti maksud Bramasta segera melepas pautan bibir mereka. Bramasta terlihat kebingungan melihat sikap Karina tersebut. Mata redupnya kini dihiasi kerutan di dahi, seolah penuh tanda tanya.

"Aku lagi kepikiran Felly, sayang. Aku sedang tidak siap untuk ini. Aku minta maaf," suara Karina terdengar lirih.

Ia tahu bahwa sejatinya ia harus melayani suaminya itu. Tapi ia tidak bisa memungkiri perasaannya saat ini. Karina tidak mau melayani Bramasta dengan pikiran yang masih bergelayut dengan keadaan Felly.

"Apa kau marah?" tanya Karina kemudian karena Bramasta tidak berkata apapun.

"Baiklah, tidak apa-apa. Aku juga tidak mau memaksa istriku. Bagaimanapun kau pasti mengkuatirkan anak kita. Aku maklum akan hal itu," jawab Bramasta mencoba sabar. Walau sebenarnya ia cukup kesal karena ia tidak bisa melepaskan hasratnya malam ini.

"Aku mencintaimu," Karina mengecup singkat bibir Bramasta.

"Aku izin tidur di kamar Felly, ya. Aku ingin lebih memastikan keadaannya. Siapa tahu dengan begitu Felly bisa cepat sembuh."

Bramasta-yang meskipun tidak begitu setuju-hanya menganggukkan kepalanya. Ia yakin benar, sekalipun ia menahan Karina, wanita itu akan tetap pada keinginannya.

📎📎

TBC
Jangan lupa kasih bintang dan komennya ya! Supaya cerita ini terus berlanjut🧡



Lassitude (FAST UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang