Lassitude-Bagian 12

920 63 4
                                    

Pada siang itu langit terlihat teduh. Cahaya matahari memang terlihat cerah, tapi panasnya tidak begitu menyengat. Bramasta terlihat berjalan mengenakan kaca mata hitamnya dengan diikuti Elina dari belakang.

Setelah berjalan beberapa langkah, akhirnya mereka sampai pada gedung setengah jadi itu. Terlihat Wijaya sudah berdiri di sana bersama orang-orangnya. Langkah Elina terlihat melambat saat jarak mereka dengan Wijaya sudah semakin mendekat.

"Hai Tuan Bramasta. Sudah lama tidak bertemu," ucap Wijaya sembari menjabat tangan Bramasta.

"Baik, Tuan Wijaya. Kabar Anda sendiri?"

Wijaya tertawa lalu mengusap pelan perutnya yang sedikit buncit. "Perjalanan ke beberapa kota membuatku sedikit tidak lebih fit dari biasanya."

"Tapi bagaimanapun aku harus sehat untuk mega proyek kita ini, bukan? Aku sudah banyak alpha di rapat kita yang sebelumnya. Aku takut jika terlalu sering tidak hadir, aku bisa dipecat dari proyek ini," ucap Wijaya seraya tertawa lebar. Bramasta ikut tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya karena merasa lucu. Mana mungkin Wijaya dipecat, proyek ini dikepalai olehnya.

Tapi tawa milik Wijaya itu perlahan memudar saat melihat Elina yang sedari tadi sudah berdiri kaku di belakang Bramasta. Wijaya memicingkan matanya, berusaha memastikan sosok yang di hadapannya. Bramasta yang menyadari itu lalu memandangi mereka bergantian.

"Perkenalkan, Tuan. Ini sekretaris saya yang bernama Elina."

Wijaya tak bergeming, begitu juga dengan Elina. Bramasta yang merasa heran hanya menatap laki-laki tua dan wanita itu bergantian.

"Dia... sekretarismu?" tanya Wijaya dengan wajah remeh dengan telunjuknya ke arah Elina.

Wanita itu lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Melihat itu, Wijaya terlihat berdecak lalu tertawa kecil. Lagi-lagi terlihat seperti sedang meremehkan.

Bramasta yang semakin tidak mengerti, hampir membuka mulutnya untuk bertanya. Tapi seseorang pemuda terlihat datang menghampiri Wijaya lalu berbisik kepadanya.

"Baiklah Tuan Bramasta. Kita tidak punya waktu yang banyak. Mari," ucap Wijaya lalu berjalan ke arah ruangan rapat mendahului Bramasta dan Elina.

Bramasta menatap Elina yang tertunduk dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Meski penasaran, Bramasta belum bisa mempertanyakannya. Karena di ambang pintu, Wijaya terlihat menoleh sambil mengibaskan tangannya, tanda perintah untuk segera masuk ruangan.

📎📎

Karina menatap gambar dirinya pada pantulan cermin. Balutan kebaya berwarna dusty pink dengan bawahan rok batik sarung membuat penampilannya terlihat elegan. Ia sengaja menggelung rambutnya agar terlihat lebih formal. Tak lupa ia menyematkan anting bulat bertahtakan batu berlian itu pada kedua cuping telinganya.

Mata Karina melirik jam yang tertera pada layar ponselnya. Bramasta berjanji pulang lebih cepat agar mereka bisa sampai tepat waktu di kediaman Reyhan dan Jane itu.

Karina mendengus kasar saat nama Jane kembali mengisi pikirannya. Ia masih tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang istri yang bahkan sedang hamil-sanggup mengirimkan pesan flirting kepada laki-laki lain-dan bahkan adalah suami orang lain?

Beberapa menit terdengar suara pintu kamar terbuka. Karina yang masih terduduk di depan meja riasnya lalu menoleh ke belakang.

"Aku belum terlambat, kan?" tanya Bramasta sambil meregangkan dasinya.

"Cepatlah mandi. Kita tidak boleh terlambat. Bagaimanapun kita ini masih kerabat, bukan undangan biasa," jawab Karina dengan nada datar lalu kembali menatap cerminnya.

Lassitude (FAST UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang