Lassitude-Bagian 17

3.1K 143 8
                                    

Elina akhirnya diizinkan pulang oleh dokter. Keadaannya sekarang sudah lebih baik dibanding tadi. Ia sadar bahwa tidak seharusnya ia menyiksa dirinya sendiri karena sikap Wijaya itu. Mungkin memang tidak ada lagi kesempatannya untuk menjadi putri kesayangan ayahnya itu. Keadaan sudah jauh berubah sejak surat sialan itu tiba di tangan Wijaya dulu. Kini Elina harus sadar bahwa sekarang dirinya benar-benar sendirian.

Bramasta terlihat fokus menyetir. Elina menatap Bramasta yang sedari tadi hanya menyetir dan tak bersuara. Laki-laki itu sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

"Ada masalah di kantor?" tanya Elina membuka percakapan. Bramasta meliriknya sekilas.

"Tidak ada. Kenapa?" Bramasta balik bertanya.

Elina menggeleng pelan. "Dari tadi kau diam. Aku pikir ada masalah."

Bramasta hanya berdeham lalu kembali fokus menyetir. Sementara Elina memilih untuk ikut diam juga. Suasana hening untuk beberapa saat.

"Makasih ya, Bram. Dari dulu kau selalu ada untuk menolongku. Kalau tidak ada kau pasti hidupku benar-benar sulit."

Bramasta tersenyum. "Ah, bukan apa-apa. Kau teman baikku, sudah sewajarnya aku membantu, kan?"

Elina ikut tersenyum lalu melayangkan pandangannya ke luar jendela mobil. Ia menghela napas pelan sambil menatap ke arah jalanan.

Andai saja perasaan ini bersambut

Mobil Bramasta kemudian berhenti tepat di depan kediaman Elina. Rumah kecil sederhana yang ditinggali wanita itu sendirian.

"Mau mampir dulu?" tanya Elina. Sebenarnya ia bertanya hanya sekadar untuk berbasa-basi. Karena ia tahu Bramasta pasti tidak mau.

"Boleh," jawab Bramasta lalu mengunci mobilnya dengan menekan remote.

Elina mengerjap heran. Biasanya laki-laki itu tidak pernah mau masuk ke dalam rumahnya jika tidak ada Karina. Tapi kali ini dia mau masuk?

Elina mempersilakan Bramasta untuk duduk pada kursi yang ada di dapur itu. "Mau minum apa?"

"Apa sajalah," jawab Bramasta sekenanya.

Elina memilih untuk membuatkan Bramasta segelas kopi susu, minuman favorit Bramasta semasa SMA dulu. Dulu tiap Elina membawa minuman itu ke sekolah, pasti akhirnya laki-laki itulah yang menandaskannya. Tapi justru itu yang membuat Elina senang. Ia menyukai itu.

"Ini, minumlah," ucap Elina sambil meletakkan minuman itu di hadapan Bramasta.

"Wow," Brasmasta menatap takjub pada gelas di depannya lalu menatap Elina dengan semringah. "Sudah lama sekali aku tidak minum ini."

Ah, dia masih ingat!

"Iya. Minuman kesukaanmu waktu SMA, kan?" balas Elina sambil tersenyum.

Bramasta hanya mengangguk sekilas lalu meneguk minumannya. Sementara Elina hanya menatap Bramasta dalam diam sambil bertopang dagu. Hanya dengan sekejap Bramasta menandaskan minumannya.

"Rasanya masih sama. Belum ada yang bisa menjual kopi susu seenak ini," puji Bramasta dengan senyuman lebar di wajahnya. Wajah yang menekuk di sepanjang perjalanan tadi menghilang.

"Ah, kau berlebihan," balas Elina sambil tertawa kecil.

Bramasta kemudian terlihat bangkit berdiri lalu mendekat ke arah Elina. Elina bisa merasakan bahwa jantungnya berdegup lebih cepat dibanding tadi. Ia kemudian memejamkan mata untuk mengusir perasaan yang semestinya tidak ia rasakan itu.

"Tadi Karina marah padaku karna aku lebih memilih untuk menjagamu saat ia minta ditemani sarapan," ucap Bramasta dengan nada merasa bersalah.

"Padahal kita ini sudah menjadi teman baik selama bertahun-tahun. Tapi baru kali ini Karina marah hal seperti ini."

Lassitude (FAST UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang