Lasstitude-Bagian 9

801 51 4
                                    

Sembari mencari berkas yang Bramasta perintahkan tadi, Elina merapikan beberapa helai brosur yang sedikit berserak di atas meja Bramasta. Mata Elina kemudian terpaku pada sebuah brosur yang menampilkan gambar Museum Louvre itu.

Dengan sedikit ragu Elina mengambil brosur itu. Brosur yang berisi tentang beberapa tempat wisata di Paris. Hati Elina sedikit berdenyut. Andai Mama masih hidup dan Papa tidak berubah, pasti kami sudah berangkat ke sana.

"Seandainya Felly masih ada. Mungkin keluarga kecil kami sudah bersenang-senang di sana."

Suara Bramasta membuyarkan lamunan Elina. Laki-laki itu kemudian mendekati Elina lalu mengambil brosur yang sedang Elina pegang itu.

"Aku sudah janji pada Karina untuk membawanya ke sana jika proyekku dengan Reyhan berhasil. Akhirnya proyek itu berhasil. Tapi rencanaku yang tidak berhasil," suara Bramasta terdengar sedih dengan senyuman getir di wajahnya.

Elina hanya menatap Bramasta dengan tatapan yang ikut prihatin. "Ini pasti tidak mudah untukmu dan Karina. Apalagi bagi Karina. Aku harap ia cepat membaik."

Bramasta tertawa kecil saat mendengar Elina tidak memakai kata 'Bapak' seperti biasanya. "Tumben bukan 'Bapak'".

Elina yang menyadari itu langsung menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia kemudian tersenyum tipis dengan sedikit malu.

"Ya, aku harap juga begitu. Semoga Karina cepat membaik dan bangkit dari segala rasa sedihnya," ucap Bramasta sambil menatap brosur itu penuh arti.

"Gimana? Sudah ketemu yang aku suruh tadi?"

"Oh, iya. Ini, Pak."

Bramasta tertawa kecil lagi karena Elina kembali memanggilnya dengan sebutan 'Pak'. Tangannya kemudian terulur menerima berkas itu.

"Terimakasih, Lili. Kau boleh kembali ke tempatmu."

Elina yang mendengar itu cukup terkejut. Irisnya langsung melebar. Tapi dia buru-buru menetralkan perasaannya, ia tak mau terlalu menunjukkannya. Ia kemudian membungkukkan badan untuk mengundurkan diri lalu kembali ke meja kerjanya.

📎📎

"Karina!" pekik Tante Hana dengan wajahnya yang terlihat sangat gembira. Ini adalah pertemuan mereka yang pertama kali semenjak kepergian Felly.

"Turut berdukacita ya, sayang," ucap Tante Hana merasa sedih. "Tante merasa bersalah karna tidak bisa menemani kamu saat itu."

Karina hanya mengangguk mengerti sambil tersenyum tipis. Saat Felly meninggal, Tante Hana sudah kembali ke kotanya. Wanita itu memang selalu menelepon Karina untuk memberinya semangat setiap hari. Tapi bagaimanapun tidak akan ada yang bisa menggantikan mahalnya sebuah pertemuan.

"Apa kabar, Kar?" sapa Jane kemudian seraya memberi kecupan di sepasang pipi Karina. Perut wanita itu sudah sangat menonjol. Wajar memang, kandungannya sudah memasuki usia 7 bulan.

"Baik," jawab Karina singkat. Entah kenapa ia masih belum bisa bersikap santai pada Jane.

"Hai, Kar. Bram mana?" tanya Bramasta seusai menyalami Karina.

"Belum pulang. Mungkin terjebak macet," jawab Karina sekenanya. "Silakan duduk."

Karina mempersilakan mereka menikmati makanan ringan dan minuman yang telah ia sediakan. Mereka saling berbagi cerita dari hal yang biasa hingga tentang hal-hal yang cukup serius.

Hampir berlalu satu jam, akhirnya Bramasta sampai di rumah. Melihat ternyata rumah mereka kedatangan tamu, Bramasta segera menyalami ketiga orang itu.

"Sepertinya lagi banyak proyek, ya?" goda Reyhan pada Bramasta.

Lassitude (FAST UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang