Lassitude-Bagian 5

1K 61 5
                                    

Wajah laki-laki itu terlihat seolah habis memenangkan sebuah kejuaraan hebat. Berbeda dengan Jane yang sudah memberengut di atas sofa ruang tamunya.

"Baiklah, Rey. Aku rasa pembahasan kita hari ini cukup. Nanti setelah sudah selesai kita akan bicarakan lagi," ucap Bramasta pada Reyhan yang saat ini sedang melakukan panggilan video dengan mereka.

"Oke. Aku percayakan proyek kita itu padamu, Bram."

Bramasta lalu menutup panggilan video itu. Ia langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku dan membereskan beberapa kertasnya yang berada di atas meja itu. Jane hanya memperhatikan Bramasta dalam diam dengan perasaan kesal.

"Menyebalkan sekali," ketus Jane.

Bramasta hanya melirik Jane sekilas lalu kembali sibuk dengan berkasnya.

"Apa kau tidak pernah menyukaiku sedikitpun?" tanya Jane.

Bramasta menghela napasnya. Ia sudah merasa semakin jengkel pada Jane.

"Kau gila? Seorang wanita yang sudah bersuami menanyakan pertanyaan seperti itu pada seorang laki-laki yang sudah beristri?" Bramasta menatap Jane sinis seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Lalu kenapa kau bersikap sangat manis waktu kita baru kenal?" tanya Jane sambil mendongakkan kepalanya melihat Bramasta yang sudah berdiri.

"Manis? Aku rasa tidak juga. Aku hanya bersikap baik padamu."

Jane terlihat sudah siap untuk membantah Bramasta. Tapi laki-laki itu langsunh melanjutkan kalimatnya.

"Aku bersikap baik, karna waktu itu aku berpikir bahwa kau wanita yang cerdas. Dan itu terbukti dari hasil kinerjamu yang sudah membantuku dan Reyhan menyukseskan proyek di Gemilang. Hanya itu saja."

"Tapi ternyata aku salah. Kau tidak secerdas itu, Jane. Kau tidak bisa membedakan mana laki-laki yang bersikap baik karna keuntungannya dan mana laki-laki yang bersikap baik karna memang menginginkanmu."

Tanpa menunggu balasan dari Jane, Bramasta langsung berjalan ke luar. Ia lalu menginjak pedal gas mobilnya meninggalkan kediaman Reyhan dan Jane itu.

Walaupun hatinya sempat kesal karena tingkah Jane itu, tapi ia cukup senang karena bisa mengatasi tingkah gila Jane yang mengusiknya akhir-akhir ini. Tangan Bramasta terlihat mengetuk-ngetuk setir mobilnya tanda saat ini ia sudah merasa tenang.

Di dalam perjalanan Bramasta membuka kaca jendela mobilnya agar ia bisa menghirup segarnya angin sore itu. Setelah seharian pikirannya diganggu oleh proyek itu, akhirnya ia mempunyai ide untuk menghasut Reyhan agar ia dan Jane cukup bertemu di kediaman mereka. Selain itu dia juga meminta agar Reyhan hadir lewat panggilan video, dan Reyhan menerima usul itu. Benar-benar ide yang cemerlang.

Suasana hati Bramasta menjadi sangat baik. Benar-benar baik sebelum ia menerima panggilan dari Karina.

📎📎

Bramasta berjalam cukup cepat menyusuri koridor rumah sakit itu. Matanya memperhatikan dengan teliti nama-nama ruangan di sekitarnya. Matanya terbuka lebih lebar saat ia menemukan ruangan yang ia cari.

Felly terlihat terbaring di sana dengan tangannya yang sudah terpasang selang infus. Sedangkan Karina sedang duduk di kursi yang berada di sisi ranjang.

"Felly DBD," lirih Karina saat menyadari Bramasta sudah ada di dalam ruangan. Matanya tidak lepas dari Felly. Ia terus saja menatap wajah lesu Felly yang sedang tertidur itu.

Bramasta membelai pipi mungil Felly lalu mengecupnya. "Bukannya kata dokter di komplek, Felly hanya demam biasa?"

"Iya, memang. Tapi tadi Felly mimisan, aku langsung panik luar biasa. Akhirnya aku membawanya ke sini. Dan ternyata Felly DBD," jelas Karina dengan suaranya yang terdengar penuh penyesalan.

Bramasta menarik tangan Karina lalu menggenggamnya. Meski tidak sekuatir Karina, ia juga merasakan rasa kuatir. Tapi ini bukan saatnya untuk itu. Bramasta harus menenangkan istrinya lebih dulu.

"Yang penting sekarang Felly sudah ditangani dengan tepat. Putri kita pasti akan segera sembuh," ucap Bramasta lembut.

Karina hanya menatap Bramasta dengan tersenyum samar. Ia lalu memandangi wajah putrinya lagi. Karina menghela napasnya, gusar. Bagaimanapun kata-kata semangat dari Bramasta tidak begitu mempengaruhi hatinya. Karina sadar, putrinya itu tidak sekuat anak-anak yang lain. Kelahirannya yang prematur membuat Felly lebih rentan terhadap penyakit. Anak perempuan itu memiliki masalah pada sistem kekebalan tubuhnya.

"Kau sudah makan?" tanya Bramasta kemudian.

Karina hanya menggeleng lemah.

"Baiklah, aku akan pergi beli makanan dulu. Nanti kita makan di sini saja. Aku juga belum makan, cacingku sudah mulai konser di dalam sini," canda Bramasta sambil menepuk perutnya yang sudah tidak rata itu. Karina terkekeh pelan melihatnya. Bramasta lalu menyunggingkan senyumnya, ia senang sudah bisa membuat Karina tertawa lagi.

📎📎

Beberapa buku terlihat berserak di atas lantai. Bukan buku-buku baru, bahkan terlihat usang. Ruangan itu terlihat penuh debu, bisa terlihat dari cahaya matahari yang menembus jendela kaca itu.

Elina terdiam sejenak melihat buku-buku yang ada di sekelilingnya. Secara impulsif dia mengeluarkan buku-buku itu dari lemari dengan niat ingin merapikannya. Tapi sekarang ia justru bingung harus mulai menyusun dari mana.

Elina mengetuk-ngetuk bibirnya dengan jari telunjuk kanannya. Ia mulai mengelompokkan buku-buku itu di dalam pikirannya, menyusun konsep agar buku-buku itu bisa tersusun dengan sangat rapi di lemari nanti. Ia mulai mengutipi buku itu, menyusunnya sesuai ukuran dan jenisnya. Buku-buku itu adalah kumpulan bukunya semasa sekolah dan kuliah.

Bibir Elina terlihat tersenyum saat ia menemukan sebuah buku diary pada masa SMA itu. Elina mengempaskan debu yang ada di permukaan buku itu, lalu mulai membaca segala hal yang pernah ia tulis.

"Ah, ternyata masih ada," gumam Elina sambil memegang foto semasa SMA-nya itu.

Ia meneliti satu persatu orang yang ada di dalam foto itu. Perasaan Elina mendadak campur aduk saat melihat gambar diri laki-laki itu. Ada rasa sedikit penyesalan di dalam hati Elina saat segala kejadian di masa lalu itu terlintas di ingatannya.

"Apakah masa depan akan berubah kalau waktu itu aku mengungkapkan perasaanku?" Elina tersenyum kecut memandangi foto itu.

"Apa dia akan menjadi suamiku? Dan dia akan punya putri cantik juga tapi itu dariku?" Elina tertawa geli mendengar ucapannya sendiri. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menutupi wajahnya malu. Ia asik dengan pikirannya sendiri.

"Ah..." desah Elina. "Memang seharusnya aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku menyesal. Menyebalkan."

Elina lalu menyandarkan badannya di dinding. Jempol kanannya mengusap wajah laki-laki dalam foto itu. Bahkan meski sudah berlalu 15 tahun lamanya, perasaan itu masih sama.

"Persahabatan yang menyakitkan," gumam Elina dengan perasaan sedih dan geli berembuk jadi satu.

Ia kemudian mengerjap sambil menggelengkan kepalanya. Elina menutup buku itu. Ia tahu, membaca lebih banyak lagi hanya akan membuat hatinya terasa semakin tidak menentu.

Wanita itu kemudian melanjutkan kegiatan beres-beresnya. Tapi mulai saat ini ia sadar, ternyata bukan hanya isi lemarinya yang harus dibereskan. Elina juga harus membereskan hatinya. Beberapa hal masih terlalu berantakan di dalam sana.

📎📎

TBC

Jangan lupa kasih bintang dan komen ya!🧡



Lassitude (FAST UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang