STRUGGLE ~ 35

5K 370 41
                                    

Baru saja Barla mendaratkan bokongnya diatas jok kemudinya, getaran ponsel didalam sakunya mampu membuat tangannya yang hendak menghidupkan mesin mobil, terhenti begitu saja.

Getaran ponsel itu hanya sebuah notifikasi chatt, bukan panggilan yang mengharuskan ia jawab pada saat itu juga. Biasanya, ia akan mengabaikan nya. Tapi tidak untuk kali ini, entah kenapa rasanya ia ingin melihat chatt masuk tersebut.

Diraihnya ponsel didalam saku jasnya, seraya meluruhkan punggungnya pada sandaran jok kemudi. Namun, baru saja layarnya menyala, tubuhnya seketika menegap dan ketegangan mulai merayapi pikirannya. Kala sepasang bola matanya membaca dua baris chatt yang tertera di pop-up ponselnya.

Ia segera mengklik pop-up tersebut, hingga menampilkan kolom chatt nya dengan Malla secara sempurna.

Nirmalla Alesha Pradipta

Kak,, apa sebaiknya kita,, berpisah?

Selamanya?

Barla mendengkus, nafasnya sedikit memburu, akibat percampuran rasa terkejut, takut, dan marah secara bersamaan. Tanpa pikir panjang, ia segera menelepon Malla. Meminta penjelasan sekaligus melakukan pencegahan, bagaimana pun caranya, berpisah bukanlah pilihan yang tepat.

Sepuluh detik sudah berlalu, namun panggilan telepon belum kunjung mendapat respons dari si penerima. Padahal waktu dari chatt masuk dengan panggilan telpon belum lama, hanya berselang beberapa detik saja. Tapi kenapa, butuh waktu lama untuk menjawab telepon nya?

Barla yakin, Malla pasti sengaja mengabaikan telepon darinya. Tidak mungkin wanita itu, lepas dari ponselnya begitu saja, setelah mengirim pesan.

Bunyi sambungan telepon masih berlanjut, sampai sambungan terakhir, panggilan nya tak kunjung mendapat jawaban.

"Argh!!" Geramnya. Sebelah tangannya yang tidak memegang ponsel, ia benturkan pada stir mobilnya. Memukul-mukul secara brutal dan frustasi.

Tidak menyerah. Ia kembali mengulangi hal yang sama. Menelpon kembali Malla, walaupun kemungkinan ditolak cukup besar, tapi ia tidak menyerah begitu saja.

Sekali lagi, panggilan nya di tolak mentah-mentah. Dan sekali lagi, ia memukul kembali stir mobilnya. Dan sekali lagi, ia menggeram kesal, kali ini rahangnya mengeras hingga menimbulkan urat-urat dilehernya.

Dimasukkan kembali ponselnya kedalam saku jasnya, lalu menyalakan mesin mobil nya. Jika Malla menolak panggilan nya, maka jalan satu-satunya menemui wanita itu.

Barla segera memacu gasnya, mobil yang dikendarainya sudah keluar dari parkiran gedung perusahaannya. Beruntung, jalanan Jakarta malam ini sedikit lancar. Membuat perjalanan nya ke rumah mertuanya hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam.

Ia segera memarkirkan mobilnya disamping mobil mertuanya, sedikit tergesa ia keluar dari mobilnya. Sesampainya didepan pintu rumah Pradipta, ia segera menekan Bell pintu. Tidak seperti beberapa bulan yang lalu, pada saat ia meminta izin untuk menikahi Malla, kali ini pria itu tidak mengabaikan kehadiran Bell yang menempel di dinding samping pintu.

Tak butuh waktu lama, Bi Tuti menampakkan wajahnya setelah bingkai pintu terbuka lebar. Barla tersenyum ramah, walau dalam hatinya dilanda resah.

"Malem Bi,," sapanya. Ia tidak perlu berbasa-basi apapun lagi, karena Bi Tuti akan mempersilahkan masuk. Bahwa sekarang, Barla adalah bagian dari keluarga ini.

"Eh,, Den Barla. Silahkan masuk, Den." Tuhkan. Sesuai dengan dugaan Barla tadi.

"Pasti mau ajak Non Malla pulang,, ya?" Tebak Bi Tuti, seraya berjalan mundur mempersilahkan Barla untuk masuk.

Wedding Solution✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang