"Minnie, gimana sekolah kamu hari ini, lancar? ada kan yang mau berteman?"
Gadis yang sejak tadinya sedang membaca, kini menghentikan kegiatannya. Perhatiannya teralih pada sosok paruh baya di depan pintu kamarnya. Minnie mempersilahkan wanita itu masuk lebih dulu sebelum ia menjawab pertanyaannya. Dalam hitungan detik Minnie antusias dengan pertanyaan wanita itu.
"Ada, orangnya baik banget, terus ramah dan pengertian, bahkan tadi Minnie di pinjami payung karena hujan," jelasnya.
"Tapi kamu gak di bully kan di tempat baru?" tanya Ria, ibu Minnie.
Minnie menggeleng sambil tersenyum, ia sangat tahu bagaimana perasaan ibunya, "enggak bu, mereka gak bully aku kok. Orang-orangnya pada baik-baik, walaupun gak semuanya baik."
"Kamu harus jauhi orang-orang yang sekiranya gak suka sama kamu. Jangan mendekatkan diri atau mau di dekatkan. Ibu gak mau mental mu down."
"Iya ibu, iya. Tenang aja, Minnie baik-baik aja. Kalau ada apa-apa pun Minnie langsung cerita pada ibu. Sekarang ibu istirahat ya, Minnie mau nyelesain buku sedikit lagi, habis itu mau istirahat."
"Hm, baiklah. Sehabis baca istirahat dan langsung tidur, jangan memainkan ponsel lagi."
Minnie mengangguk, sosok ibunya telah menghilang dari balik pintu. Helaan nafas terdengar darinya, gadis itu tak percaya diri atas ucapannya tadi. Maaf saja, sejak dulu kata bully seakan melekat pada dirinya, karena dimana pun ia sekolah semuanya akan membully dirinya.
Sejujurnya Minnie tidak ingin di bully, ia ingin merasakan rasanya sekolah normal, memiliki banyak teman dan sahabat, bermain dan tertawa bersama saat istirahat, namun sayangnya itu semua hanya khayalan yang mungkin sangat mustahil.
Orang tuanya baru-baru ini tahu kalau selama di sekolah Minnie selalu di bully, padahal sebelumnya kedua orang tuanya tak ada yang tahu. Entah bagaimana keduanya bisa tahu. Jujur, Minnie tidak suka orang tuanya khawatir karena ia di bully. Namun ia bisa apa, naluri dan rasa cemas selalu melekat pada kedua orang tuanya jika bersangkutan dengannya, mungkin karena Minnie memang seharusnya di jaga. Lagi pula orang tua mana yang tidak cemas saat tahu anaknya jadi bahan bullyan di sekolahnya.
"Sudahlah lebih baik aku tidur."
***
Keheningan melanda, seseorang berdiri di depan jendela yang terbuka. Membiarkan tubuhnya terhempas angin yang masuk kedalam. Dino, cowok itu menatap keluar kamarnya, membiarkan suhu dingin menghampiri tubuhnya. Satu jam lamanya Dino berdiri. Tatapan matanya kosong, binar matanya bahkan tak bercahaya sejak lama. Aura cowok itu sangat dingin. Padahal Dino tahu kalau suhu tubuhnya tidak bagus, namun tetap saja ia mengacuhkannya dan malah sengaja mengenakan diri di suhu yang dingin seperti ini.
Badan Dino panas dan ia tahu apa penyebabnya, tentu saja karena setelah pulang sekolah hujan-hujanan, alhasil sekarang Dino terserang demam. Mungkin itu juga alasan juna mengajaknya pulang bersama, cowok itu tahu kalau sebenarnya Dino tidak bisa terkena air hujan terlalu lama.
"Kenapa sedih sekali," gumam Dino.
"...saat perhatian harus pergi," gumaman terus terdengar dari mulut Dino. Sampai kegiatannya terhenti begitu seseorang masuk tanpa permisi.
"Apa yang kamu lakukan disana!! Udaranya sangat dingin, cepat tutup jendelanya!!"
Dino menurut, menutup jendelanya rapat-rapat. Lalu kakinya mendekat kepada seseorang yang baru saja masuk. Menduduki dirinya di tepi kasur sambil menatap orang di sebelahnya.
"Bi, kenapa rasanya sakit sekali?" tanya Dino pelan.
Tanpa berucap, seseorang itu menarik tubuh Dino dalam rengkuhannya. Mendekapnya erat seakan Dino anaknya. Kejadian beberapa tahun yang lalu membuat ponakannya yang ceria berubah menjadi pendiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Doll
Teen Fiction"Wah ada pacar baru nih!!" "Bukan pacar tapi boneka gue tepatnya."