Sembilan

1 2 1
                                    

Menatap langit gelap, mata sayu yang tampak lelah. Suara jangkrik mendominasi menandakan hari semakin malam. Namun meski begitu jalan masih ramai. Kelopak matanya berembun, tidak ada seseorang yang menyadarinya. Rasa sesak kembali dalam rongga pernafasannya saat kejadian tadi terlintas.

Juna kembali kesakitan bertepatan saat kedua orang tuanya menjemput cowok itu. Sialnya saat itu sang bibi belum pulang sehingga Dino lah yang disalahkan atas perbuatan yang tidak dilakukan.

Dino sendiri tak tahu Juna sakit apa, hubungannya sudah cukup jauh sehingga cowok itu tidak mengetahui yang sedang terjadi pada kakaknya. Di saat Dino menghawatirkan kakaknya, kenyataan menyadarkan dirinya. Kenyataan yang membuat dadanya sesak.

"Hidup kamu cuma menyusahkan bagi Kami apalagi Juna, jadi jangan berharap lebih..."

"..saya dengar kamu sudah tahu fakta itu. Mungkin benar kamu anak kandung suami saya tapi tidak dengan saya, bahkan ayah kamu sendiri saja tidak menganggap anaknya apalagi saya.."

"Saya yakin jika Juna tahu fakta itu pun dia tidak akan ingin dekat denganmu lagi. Jadi sebelum itu terjadi lebih baik kau jauhi Juna."

Air bening itu tumpah pada akhirnya, berlomba-lomba menerobos keluar. Dino tak tahan, rasa sesaknya semakin menjadi. Ia tak peduli dikatakan anak cengeng, bahunya naik turun tak seirama. Nyatanya anak cowok juga bisa menangis. Ucapan mamanya benar, perlahan dirinya harus menjauh dari Juna. Siap tak siap Dino memang harus menerima garis takdirnya.

Biarkan Dino mengabiskan waktunya seorang diri di taman. Melupakan waktu yang sudah larut. Hingga di saatnya tenang, barulah Dino pergi, pulang ke rumah bibinya.

Di saat kejadian itu, bibinya tidak ada, kemungkinan bibinya akan bertanya setelah Dino sampai rumah nanti

Dino menatap jalan yang masih ramai. Padahal sudah memasuki pukul sepuluh tapi rasanya seakan masih siang, sangat ramai. Dino menikmati semilir angin yang menghempas wajahnya, membuat rambutnya terkibas kecil. Sampai matanya menangkap seseorang yang sangat ia kenal di depan toko kue. Tanpa berfikir panjang Dino menghampirinya, entah kenapa rasanya akan seru menggoda orang itu sekarang.

"Lagi nunggu siapa?"

Dino tersenyum kecil melihat reaksi Minnie kaget. Bagaimana mata itu membulat kala suaranya masuk ke pendengarannya. Biar Dino tebak, kemungkinan yang ada di pikiran cewek itu adalah dirinya bisa di sini. Sebenarnya salah Dino juga terlalu jauh menenangkan diri.

"K-kamu kenapa bisa ada disini?" tanya Minnie gugup.

"Bisalah gue punya kaki buat jalan."

"Aku tau, cuma kaget aja liat kamu di sini. Jarak dari sini ke rumah kamu jauh."

"Gue cowok jalan jauh malem juga gak bahaya. Lo sendiri kenapa bisa disini?" tanya Dino setelah melihat toko didepannya.

"Lagi nunggu orang," jawab Minnie.

"Siapa?" lagi-lagi Dino bertanya.

"I-itu..."

"Minnie, ayo ibu sudah selesai."

Atensi Dino teralih, wanita paruh baya baru saja keluar dari toko di degannya. Terlihat jelas kalau Minnie gugup, semoga Dino tidak berbuat macam-macam sehingga ibunya tahu kalau disekolah Minnie di bully.

"Loh, kamu siapa?" tanya ibu Minnie pada Dino.

"Saya teman sebangku Minnie bu."

Cewek itu tersentak, apa Minnie tidak salah dengar, kenapa tiba-tiba Dino memanggil namanya dengan panggilan itu. Seingatnya Dino selalu menggunakan nama Nia untuk memanggilnya atau, memang ia sendiri yang tidak ingat jika sebelumnya Dino pernah memanggil dirinya Minnie.

My DollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang