Delapan

3 0 0
                                    

Jika luka di biarkan begitu saja bukankah akan mengering? Atau justru membusuk. Lantas jika luka batin yang sakit akankah itu juga akan sembuh dengan sendirinya atau mungkin lebih parah sakitnya? Entahlah, Dino tidak tahu.

Hari semakin berjalan dan tidak mungkin Dino menetap diri di kamar. Semuanya pasti akan berjalan, merekam setiap peristiwa di setiap detiknya. Menjadikannya kenangan meski itu buruk sekalipun.

Satu minggu berlalu, sudah saatnya Dino bangkit. Memikirkan masalah tidak akan ada habisnya. Jika dibiarkan begitu saja ia akan melewati setiap detik yang berharga. Sudah cukup merenung diri tak bermanfaat di dalam kamar, sudah masanya ia bangkit dari kepurukan yang ada. Tidak ada yang spesial tapi setidaknya Dino punya teman yang bisa dijadikan penopang kebahagiaannya.

Melupakan panas di tubuhnya, Dino nekat untuk sekolah. Tentu saja Mia melarang, mengingat anak itu belum sembuh sepenuhnya. Namun bukan Dino namanya jika menurut begitu saja. Adu argumen berlangsung hampir setengah jam antara cowok itu dan Mia hingga akhirnya Mia menyerah. Cewek itu mengizinkan Dino sekolah dengan syarat harus di antar jemput selama masih sakit, juga diwajibkan membawa bekal dan obat. Sempat memprotes tapi Dino menurut, karena ia tahu bibinya seperti itu juga demi kebaikannya.

"Ingat, pulang nanti langsung telpon Bibi. Jangan nekat pulang sendiri, bibi tidak akan kerepotan!"

"Iya bi, Dino bakal ngelakuin itu. Ini udah ke lima kali loh bibi bilang itu."

"Kamu nakal soalnya kalau gak di gituin."

"Aku lagi sakit mana mungkin ngelawan."

"Terserah kamu, yaudah sana masuk ke kelas."

Dino mengangguk, mencium punggung tangan Mia lebih dulu sebagai rasa hormatnya, setelah itu keluar dari mobil yang sejak tadi berparkir di depan gerbang.

Diam-diam Dino tersenyum, bibinya sangat baik. Memperlakukan dirinya seperti anaknya sendiri. Meski fakta itu kembali mengiang di pikirannya.

Dino melangkah, memasuki area sekolahnya. Menaruh tasnya begitu sampai kelas. Menduduki dirinya di bangku tanpa peduli seseorang di depannya menatap kearahnya. Sekolah masih sangat sepi, tidak seperti biasanya Juna datang sebelum ia datang. Dino merasa canggung namun dengan cepat ia alihkan ke ponsel, seolah mengetik pesan pada seseorang padahal ia sama sekali tak mengirim pesan. Sampai suara Juna terdengar, membuat pergerakannya terhenti.

"Kamu udah sehat? Bibi bilang masih panas, kenapa malah masuk sekolah?" tanya Juna.

"Gue udah sehat."

Dino bangkit, ia ingin pergi ke atap. Tidak bisa jika berlama bersama Juna. Pikirannya kembali melayang ke fakta bahwa Juna bukanlah kakak kandungnya. Namun saat di depan pintu, matanya bertemu dengan Minnie. Hanya sebentar, sebelum Dino memutusnya dan pergi.

Minnie juga sedikit heran tapi itu hal bagus untuknya, Dino tak menggangunya sekarang, setidaknya paginya jadi lebih tenang dari hari biasanya. Meskipun beberapa hari Minnie juga merasa sedikit tenang karena ketidak hadirannya Dino.

***

Semakin siang semakin pula rasa lelah menghampirinya. Pikirannya tentang tenang hari ini musna, begitu sekerumpulan geng perundung datang mendekat kearahnya. Membuat langkahnya sedikit mundur akibat rasa takut yang dimilikinya. Sampai tubuhnya menubruk lantai.

Geng yang terkenal akibat ulah perundungan. Semua yang terlibat dengan mereka sudah pasti hidupnya tidak akan nyaman bagaikan neraka. Minnie tidak tahu persis maksud ucapan itu, namun berita itu sudah menyebar ke seluruh angkatan. Tatapan mereka menggambarkan jelas kalau mereka tidak menyukai dirinya. Sekarang kesalahan apa lagi yang ia lakukan sampai di hampiri mereka.

My DollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang