"Papa! I'm here!"
"Halo om!" Sapaku lalu membungkuk hormat.
"Halo juga Riki, kabar kamu gimana?" Tanya om Takashi sambil menghampiriku.
"Ya gini gini aja si om," ucapku dan om Takashi tertawa.
"Kamu tiduran aja di sana, ya" ucap om Takashi menunjuk brankar rumah sakit.
"Baik om."
Setelah aku berbaring, aku melirik ke arah Taki yang sedang duduk di kursi sebelah kiri brankar.
"Kamu ada makan atau makan sesuatu selama 10 jam terakhir?" Tanya om Takashi. Dia sedang berdiri di sebelah kanan brankar.
"Gak ada om."
"Okay, om mulai ya" ucap om Takashi dan aku mengangguk sambil menampilkan smile bread milikku.
Om Takashi membersihkan area kulit di lokasi pengambilan darah menggunakan larutan antiseptik. Lalu, dia mengikat sebuah tali yang entah apa namanya itu di bagian atas lokasi pengambilan darah, mungkin agar aliran darah terbendung di area tersebut? kemudian, dia menusukan jarum dan bisa kulihat darahku di sedot oleh jarum itu. Setelah itu, darahku di tampung di dalam tabung kecil.
"Darahmu akan om bawa ke laboratorium untuk di periksa," ucap om Takashi sambil menutup luka bekas tusukan jarum dengan perban.
"Silahkan tekuk sikumu agar lukanya tidak menimbulkan memar," ujar om Takashi lalu aku pun menurutinya.
"Hasil test darah ini akan selesai dalam waktu 7 hari, dan misal nanti ada terjadi sesuatu padamu atau ada gejala lain yang timbul segeralah datang ke rumah sakit. Om akan menjadi dokter pribadimu, mengerti?" Ucap om Takashi dan aku mengangguk lalu tersenyum.
Aku berasa bersyukur memiliki mereka.
***
"Gue pulang!" Pekikku langsung masuk kedalam rumah dan meletakkan pesanan kak Minzu di meja ruang tamu."Oh?! Udah pulang?" Tanya kak Minzu yang hanya mengintip dari dapur.
"Belum."
Kulirik kak Minzu, dia menatapku dengan ekspresi datarnya.
"Gue ke kamar."
"Langsung tidur ya Rik! Kalo lo mau brownis atau ice chocolate ambil aja di kulkas!"
"Oke!"
Aku memasuki kamar lalu merebahkan tubuhku di ranjang tempat tidurku. Aku menatap langit-langit kamar dengan cahaya remang dari lampu tidurku.
Jujur, aku tidak yakin penyakit ini bisa sembuh. Aku tahu penyakit Leukimia itu, dan rasanya memang tidak bisa sembuh.
Sudahlah, aku harus istirahat.
***
Aku mematikan kompor lalu melirik jam dinding. Ternyata sudah pukul 6 pagi. Waktunya membangunkan Riki.Aku menaiki tangga sampai akhirnya berada di depan kamar Riki. Belum saja aku mengetuk, pintu terbuka menampilkan Riki yang sudah siap berangkat.
"Tumben lo udah siap, biasanya belum mandi jam segini" ucapku lalu menatapnya dengan curiga.
"Lo pasti udah punya pacar ya? Makanya lo bangun pagi-pagi biar bisa ayang ayangan di sekolah" godaku.
"Gue gak punya pacar."
"Ciee Riki punya pacar nih."
"Gak punya."
"Terus lo ngapain pagi-pagi udah siap berangkat gini?"
"Pengen aja."
"Ciee Riki huhuyy!"
"Apa sih kak?" Ucap Riki sinis lalu memasukan Bungeoppang ke dalam kotak bekal.