Peringatan: Mohon siapkan hati sebelum mulai membaca bab ini
* * *
"Awakmu ra usah ikut campur urusanku, Nggar!" Ranu memperingatkan Enggar. Meski hanya melalui panggilan telepon, Ranu memastikan anak itu tahu bahwa dirinya marah karena dia telah membocorkan terlalu banyak hal pada orang asing.
"Aku mung arep mbantu, Mbak," Enggar membela diri. "Tapi aku ra iso opo-opo. Trus Pak Erlang bilang bisa bantu, ya apa salahnya aku cerita?"
"Aku ra perlu bantuan Pak Erlang."
"Ojo ngeyel tho Mbak. Nasib kita ndak akan berubah kalau kita sendiri ndak berusaha mengubah. Lha sekarang Pak Erlang wis bersedia bantu, minjemin uang. Wis tho diterima ae."
"Ya itu namanya tutup lubang gali lubang, Nggar. Bukan ngubah nasib."
"Ya tapi setidaknya kalau sama Pak Erlang, kita bisa nyicil pelan-pelan tanpa Mbak harus dipukulin. Abis lulus SMA, aku juga bisa kerja dan cari uang buat bayar hutang."
"Awakmu lulus SMA yo kuliah sing bener!" gerutu Ayu.
"Yang penting Mbak bebas dulu dari Om Bayu."
"Trus Mama piye?"
"Sampai sekarang Mama belum bersedia nerima donor ginjal dari Mbak. Kalaupun Mama akhirnya bersedia, kita bisa pinjem Pak Erlang dulu."
"Bukan. Maksudnya, kalau aku minta cerai, apa Mama nggak syok kalau tahu cerita sebenarnya selama 2 tahun ini?"
"Mbak...."
"Awakmu pikir aku goblok, Nggar? Aku yo ngerti aku harus lapor polisi. Tapi menurutmu gampang? Tiap hari Rudi nganter aku kemana-mana. Kalau aku mau ke dokter buat minta visum, atau aku ke kantor polisi, Rudi pasti langsung lapor Om Bayu. Telpon polisi aja tanpa bukti, laporanku nggak akan dipercaya. Malah mbalik, aku bisa dihabisi sama Om Bayu dan mati sia-sia. Sementara Mama? Kalau tahu yang sebenarnya selama 2 tahun ini, opo yo Mama ora depresi? Wis lemah jantung, gagal ginjal, depresi. Awakmu arep Mama mati, hah?
Aku yo ora goblok-goblok nemen, Nggar. Aku yo mikir. Tapi aku kudu piye? Iki dudu urusan duit thok! Minjem karo Pak Erlang, ora bakal nyelesaikan semua masalah. Duit 2 milyar kui ora sithik, Nggar. Menurutmu Pak Erlang mau minjemin uang segitu banyak tanpa agenda apa-apa?"
"Agenda opo Mbak? Koyo'e Pak Erlang baik."
"Halah! Om Bayu dulu juga baik. Sekarang?"
"Jadi Pak Erlang juga ada maunya? Dia naksir sama Mbak? Ya mending sama Pak Erlang lah Mbak kalau gitu."
"Dia nggak naksir aku. Dia cuma mikir aku mirip mantannya dia!" kesal Ranu.
"Ya minimal dia nggak mukulin Mbak."
Badanku nggak dipukulin. Cuma hatiku yang bakal dihancurin tiap hari.
"Pokok'e iki urusanku. Ben aku sing mikir. Awakmu sinau ae sing bener! Ra usah kuatir. Asalkan masih ada Mama dan kamu, aku ndak mungkin mati. Aku kuat," putus Ranu galak.
"Mbak...." keluh Enggar. "Aku tahu Mbak sayang Mama dan aku. Tapi sesayang-sayangnya sama orang lain, Mbak harus lebih sayang sama diri Mbak sendiri. Coba dipikirin lagi tawaran Pak Erlang ya Mbak."
Justru karena aku lebih sayang sama diriku sendiri, makanya aku nolak tawaran Pak Erlang, Nggar. Aku nggak mau nyakitin hatiku sendiri seumur hidup. Sakit badan, aku masih bisa tahan. Itu jenis rasa sakit yang masih bisa diatasi oleh morfin. Tapi sakit hati terus-terusan seumur hidup, karena bersama orang yang aku sayang tapi dia cuma anggap aku pelampiasan/ pelarian? Aku bisa berubah jadi zombie yang hidup tanpa jiwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
EUGENIA: Healing Flos
RomantikCAMPUS SERIES #3 Eugenia caryophyllata flos (bunga cengkeh) dipetik sebelum mekar, kemudian segera dikeringkan. Tidak ada lagi keindahan yang tersisa darinya. Seperti itulah hidup gadis itu. Siapa sangka, saat kemudian bunga kering itu diproses pa...