BAB TIGA PULUH TUJUH

11.6K 688 8
                                    

Faktanya, memang benar, jika seseorang itu akan terasa sangat berharga ketika sudah pergi. Oleh sebab itu, selagi ada kita diminta untuk menghargai. Karena setiap kenangan yang pernah dilalui, belum tentu akan bisa kembali terulang lagi.

Terlebih ketika rindu menguasai, terkadang otak selalu berdelusi, menciptakan fatamorgana, memutar memori-memori yang pernah terjadi.

Jayden masih ingat, bagaimana meronanya pipi Dera saat ia menuduh wanita itu agresif lantaran menyuruhnya untuk membuka baju. Bagaimana kesalnya Dera saat Jayden mengerjai wanita itu untuk mengambilkan handuk padahal ia sudah membawa masuk bathrobe ke kamar mandi.

Namun sekarang, semua itu hanya tersisa sebagai kenangan.

"Maafkan saya, Dera ...," lirih Jayden, meringkukkan lututnya dengan tubuh yang terduduk di lantai dan punggung yang menyandar di kaki ranjang.

Pria itu benar-benar lebih dari kata kacau. Nyatanya menghabiskan waktu dengan mendekam di ruang kerja bersama segudang pekerjaan tak bisa membuat Jayden sepenuhnya terlupa dengan masalah ini. Setiap malam ia terus saja merintih, menggumamkan kata maaf, bahkan tak jarang ia juga menangis.

Kamar yang biasanya selalu tampak bersih dan rapi itu kini terlihat tak terawat seperti sang pemilik, Jayden menjadi temperamental dan sensitif, melarang maid untuk membersihkan apalagi sampai masuk ke dalam kamarnya.

Putung-putung rokok berserakan dimana-mana, serta beberapa botol alkohol. Jayden juga nampak lebih kurus dari sebelumnya, akibat pola makan dan tidur yang tak teratur, beban pikiran yang berat serta nikotin dan alkohol yang ia konsumsi.

"Jay!" Seruan yang memanggil namanya terdengar bersama dengan pintu kamar yang berusaha dibuka dari luar.

Berkali-kali seruan itu terdengar, namun Jayden sama sekali tak menyahut. Pria itu seolah berada di ambang kesadaran. Matanya terbuka tidak lebar- hampir tertutup, bibirnya bergetar, dengan lutut yang tertekuk dan tangan yang meremas perut.

"Jay!" Hingga panggilan yang kesekian kali terdengar jelas saat pintu berhasil dibuka paksa dari luar, pelakunya adalah seorang pria berpotongan rambut quiff.

Pria itu menyapukan pandangan pada kamar Jayden yang nampak gelap, hingga akhirnya ia melangkah masuk dan menemukan Jayden tengah meringkuk seperti orang yang tengah menahan sakit.

"Jay!" seru pria yang tak lain adalah Mario itu, menggoyangkan lengan Jayden.

"Daddy kenapa, Uncle?" tanya Raiden terlihat khawatir saat memgetahui kondisi ayahnya yang terlihat mengenaskan.

Jangan tanyakan kenapa Mario bisa ada di sini, tentu saja siapa lagi yang memanggilnya jika bukan ketiga bersaudara itu? Mereka khawatir, karena selama beberapa minggu ini ayahnya selalu berangkat pagi pulang larut, jarang ikut sarapan dan hampir tak pernah makan malam, karena setelah pulang, Jayden pasti akan langsung menuju kamar dan mengunci pintunya.

Mereka sendiri tidak menyangka jika ayahnya akan menjadi sekacau ini tanpa sang ibu. Terlebih setelah Iriana berpamitan untuk kembali ke Chicago, karena tak bisa berlama-lama di Indonesia. Jayden benar-benar menjadi seperti mayat hidup.

"Dokter Nichole, panggil Dokter Nichole kemari," intruksi Mario menatap ketiga bersaudara itu bergantian.

Jansen mengangguk. "Hm, biar aku yang panggil," jawab pemuda itu segera keluar untuk mengambil ponselnya, menghubungi dokter Nichole.

Disela-sela itu, Mario membantu Jayden untuk tidur di ranjangnya, pria itu juga menyuruh maid untuk membersihkan kamar Jayden yang tak karuan bentuknya.

"Aku tidak menyangka jika kau akan sekacau ini, Jay," monolog Mario, memperhatikan Jayden dengan perasaan tidak tega.

Tak lama setelah dihubungi, Nichole sampai ke tempat dengan membawa tas yang berisi alat medisnya. Karena kondisi kesehatannya yang cukup serius, Jayden sampai harus diinfus dan menerima perawatan intensif, namun Mario mengatakan agar pria itu dirawat di rumah saja, masalah siapa yang merawat, keluarga Rodriguez sudah punya solusinya.

AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang