BAB DUA BELAS

12.5K 976 4
                                        

Memandangi cetakan foto beberapa hari lalu yang berisi empat orang, dimana terdiri oleh dirinya sendiri, kedua adik kembarnya serta satu wanita yang tidak lain adalah ibu sambung mereka itu, Jansen tersenyum kecil. Tampak yang paling lebar adalah senyuman Raiden, lalu Dera yang tersenyum manis sembari merangkul mereka bertiga dengan Jean yang tersenyum malu-malu, dan Jansen yang berwajah kikuk, menghindari tatapannya dari kamera.

Jansen masih ingat, bagaimana Raiden bersikeras tidak mau pulang karena masih ingin menikmati waktu kebersamaan mereka, hingga akhirnya ia luluh ketika Jean membujuk akan membelikannya permen kapas nanti. Jarang sekali mereka bisa melakukan hal seperti ini, bahkan dengan ayahnya sendiri. Terakhir foto bersama saja, sudah lama sekali, sekitar lima sampai tujuh tahun yang lalu, saat mereka bertiga masih duduk di bangku sekolah dasar.

Lama memandangi cetakan foto ukuran 6×4 itu, pandangan Jansen beralih kala mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya. Melesakkan foto itu di bawah bantal, Jansen membuka bibirnya, menyerukan kata, "Masuk!"

Saat pintu terbuka, sang empu pemilik kamar sedikit terkejut lantaran mendapati siapa yang telah mengetuk pintu kamarnya beberapa detik yang lalu. Bangkit dari posisinya, Jansen berusaha untuk tampak biasa saja, menyembunyikan perasaan yang entah kenapa tiba-tiba menjadi gugup.

"Mommy masuk, ya?" izin Dera, dibalas anggukan tipis oleh Jansen.

Tersenyum, Dera menutup kembali pintu kamar, lantas masuk dan mendekat pada Jansen, wanita itu berusaha untuk berhati-hati. Jansen memang yang paling dewasa dari ketiga bersaudara itu, namun Jansen juga yang paling sensitif di antara mereka. Dera harus pandai-pandai memilih kalimat ketika berbicara agar tak menimbulkan kesalahpahaman maupun perdebatan.

"Kamu nggak lagi sibuk 'kan?" tanya Dera.

"Kelihatannya?" Jansen bertanya balik.

Tersenyum kecil, Dera mengangguk. "Mommy mau ngomong sesuatu sama kamu," ujar Dera, menarik napas normal seraya menatap pada eksistensi Jansen.

Menatap wanita yang duduk di pinggir ranjang itu, Jansen mengernyitkan dahi tak kentara, meskipun begitu ia hanya diam tanpa mengeluarkan kata-kata, memilih untuk mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh ibu sambungnya.

"Mommy perhatiin, akhir-akhir ini kamu lebih sering diam, kamu nggak apa-apa?" tanya Dera, membuat Jansen tersentak pelan, pemuda itu menoleh pada Dera yang tengah menatapnya dengan tatapan teduh, cukup untuk memperlihatkan jika wanita itu memang peduli padanya.

"Gapapa," sahut Jansen cepat, menghindari tatapan mata Dera.

"Beneran?" tanya Dera, memastikan. "Kalau ada apa-apa, bilang sama Mommy ya, atau cerita ke saudara kamu yang lain, jangan di pendem sendiri, nggak baik ...," ujar Dera, lembut.

Sampai rasanya Jansen sudah tidak tahan lagi, bohong jika hatinya tidak tersentuh akan semua perhatian yang diberikan Dera selama ini.

Tujuan awalnya untuk membuat Dera menyerah dan tidak tahan lagi dengan sikap mereka, atas niat wanita itu untuk memperbaiki semuanya, justru menjadi bumerang bagi Jansen, karena dia sendirilah yang tidak tahan akibat gejolak emosi serta perasaan dalam dirinya. Ia tak bisa mengendalikan perasaan ingin yang begitu besar, ia juga tak bisa egois karena Jean dan Raiden mulai bisa menerima kehadiran Dera di hidup mereka.

Namun masih pada permasalahan yang sama, rasa takut Jansen juga tak kalah besar.

Menunduk, Jansen bercicit pelan. "Kenapa?"  tanyanya, terdengar seperti gumaman, namun Dera masih dapat mendengar jelas.

"Kenapa lo peduli sama kita?" tanya Jansen, menolehkan kepalanya, menatap kedua iris Dera. "Kasih gue alasan masuk akal selain karena lo istrinya Daddy dan ibu tiri kita. Apa lo beneran nyesel sama yang pernah lo lakuin dulu, sedang lo aja nggak bisa inget yang sebenernya terjadi dulu itu gimana?"

AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang