Mata Seruni membulat ketika dia merasakan tangannya semakin digenggam erat oleh Banyu.
"Ayo, Seruni!" bisiknya seraya kembali melangkah mendekat.
Pindaian mata semua orang di tempat itu semakin menajam. Seperti tak mengindahkan keresahan Seruni, Banyu mengajaknya mendekat ke seorang perempuan sepuh yang tetap stylish.
Perempuan itu mengenakan baju panjang berwarna hitam dengan kalung mutiara tersemat menghias lehernya. Dari tampilannya, siapa pun paham seperti apa strata sosial yang dimilikinya.
"Oma, kenalin dia Seruni. Seruni, ini Oma Rima. Perempuan paling cantik ... setelah kamu dan Mama," tuturnya lirih saat mengucapkan kalimat terakhir.
Mendengar ucapan Banyu, mata Seruni membulat. Dia merasakan wajahnya memanas sementara Banyu tersenyum lebar menikmati rona merah yang semburat di pipi perempuan di sebelahnya itu.
"Namanya Seruni?" Oma Rima membuka percakapan setelah Seruni menyalami dan mencium punggung tangan perempuan yang mewarnai rambutnya dengan warna mocca itu.
"Iya, Oma."
"Nama bunga kesukaan Oma itu!" balasnya menatap Banyu, "Dia siapamu, Banyu?" tanyanya dengan mata menyelidik
"Dia asisten Banyu, Oma. Oh iya, Seruni, itu Mama juga papaku," tuturnya mengenalkan kedua orang tuanya yang duduk di sebelah Rima.
Tersenyum dan membungkuk sopan, Seruni juga menyalami keduanya. Lisa terlihat sangat terkesan dengan penampilan Seruni, terlebih saat perempuan itu menyalami dan mencium punggung tangannya. Demikian pula dengan Fery papa Banyu.
"Nah kalau ini, Om dan Tante Hartono," tuturnya lagi.
Kembali Seruni melakukan hal yang sama menyalami mereka.
"Dan itu, Wina, putri Om Hartono." Banyu menunjuk seorang perempuan yang berjalan ke arah mereka.
Mendengar nama Wina, Seruni sedikit terkejut, tetapi cepat dia menarik bibirnya lebar dan menjabat tangan perempuan bergaun merah di hadapannya.
"Seruni," ucapnya mengenalkan diri.
"Wina. Oh jadi kamu yang bawa ponsel Banyu?" sindirnya dengan senyum mengejek.
"Banyu, silakan duduk!" titahnya menatap Banyu.
"Thank you, Win," sahutnya. "Seruni." Banyu menyeret kursi dan mempersilakannya duduk.
"Saya pulang aja ya, Pak! Nggak enak berada di sini," ungkap Seruni saat Banyu duduk di sebelahnya.
"Kok pulang? Nanti aku antar kamu. Kalau kamu pulang sekarang, aku juga pulang."
Mendengkus, Seruni mengatupkan bibirnya rapat menahan kesal.
"Sepertinya yang ditunggu sejak tadi sudah datang, jadi kita bisa mulai makan malamnya?" tanya Bu Hartono ramah menatap tamunya.
"Tentu. Kita bisa mulai sekarang," sahut Rima tersenyum.
Hidangan makan malam istimewa dengan aneka ragam makanan tersaji. Seruni bahkan tidak tahu apa saja nama makanan di depannya. Selain karena suasana hati yang semakin memburuk, dia bukan penikmat hidangan yang tersaji di meja itu.
"Kamu mau yang mana, Banyu? Biar aku ambilkan." Wina menatap lembut pria di sampingnya.
"Eum ... pasta aja!"
"Pasta? Aku udah pesan lobster dengan resep terbaik punya restoran Mayapada itu loh. Kamu nggak mau coba?"
Banyu tersenyum tipis kemudian menggeleng.
"Oke. Aku ambilkan!"
Seruni membisu. Dia benar-benar mati gaya dengan kondisi saat ini. Sementara yang lainnya tampak asyik menikmati hidangan dan saling bercengkerama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadline untuk Seruni (Tamat -segera terbit)
Ficção GeralBercerita tentang seorang perempuan yang memutuskan untuk berhenti menjalin hubungan dengan lawan jenis karena luka masa lalu. Namun, keluarganya justru tak henti mendesak agar dia segera menemukan jodoh dan menikah sebelum usia tiga puluh. Saat dia...