Sepanjang perjalanan pulang, Seruni lebih suka mengunci mulutnya. Meski sudah diyakinkan oleh Banyu perihal cintanya, tetap saja tindak tanduk Oma Rima mengusik ketenangan hatinya. Menarik napas dalam-dalam, Seruni merapikan rambut.
"Melamun lagi?" Banyu melirik sembari menyungging senyum.
Tak menjawab, Seruni hanya menarik bibir singkat.
"Kamu mau mampir ke mana lagi?" tanyanya.
"Nggak. Aku mau pulang. Besok harus kerja!" jawabnya tanpa menoleh.
"Oke, eum ... nggak pengin belikan sesuatu untuk Mama, papamu?" Banyu menoleh sejenak.
"Nggak. Udah malam, mereka nggak terlalu suka makan sesuatu kalau udah malam."
Banyu mengangguk. Meski dia fokus mengemudi, tetapi sudut matanya tak pernah lepas dari paras Seruni. Pria itu tahu apa yang ada di kepala perempuan di sampingnya itu.
Bukan hal yang aneh jika Seruni terganggu pada respons omanya, dan dia tahu bagaimana Oma jika punya kemauan. Tidak mudah melemahkan pendapat Rima bahkan tidak juga Fery papanya.
"Kamu masih terganggu sama ucapan Oma?"
Tak menyahut, Seruni hanya menoleh sebentar kemudian menatap ke luar. Cinta memang seaneh itu. Tak dipungkiri jika pesona Banyu jadi salah satu alasan kenapa dia jatuh cinta pada pria itu, tetapi tentu saja dia tidak pernah menyangka jika harus bertemu dengan perempuan sepuh yang begitu alot untuk diajak negoisasi.
'Ternyata punya saingan perempuan sepuh itu lebih berat dibanding dengan perempuan muda,' keluhnya dalam hati.
"Aku tahu kamu masih kepikiran soal Oma, tapi kamu harus percaya bahwa nggak ada di dunia ini yang nggak bisa kita selesaikan, asal kita mau berusaha." Kembali Banyu berujar.
"Kamu percaya, kan?"
"Iya." Seruni menarik kedua sudut bibirnya seraya mengangguk.
"Besok aku harus keluar kota. Ada kerjaan selama tiga atau empat hari, kamu jangan pernah lupa nge-charge handphone ya," ujar Banyu saat hampir saja mereka tiba di depan rumah Seruni.
Mendengar ucapan Banyu kening Seruni berkerut.
"Kenapa?"
"Kenapa? Apanya yang kenapa?" Banyu balik bertanya.
"Iya, kenapa kamu ngingetin soal handphone?"
Pria berkulit bersih itu terkekeh. Sambil menggeleng dia mengulurkan tangannya mengacak rambut Seruni.
"Ih! Rambut aku berantakan nih!" keluhnya.
"Nggak apa-apa, meskipun berantakan, aku tetap cinta, kok!" selorohnya dengan mata mengerling nakal.
Seperti biasa, Seruni paling tidak bisa menyembunyikan rona merah saat mata Banyu menatapnya.
"Soal handphone, aku tahu kamu kamu orangnya teledor," ungkapnya.
"Teledor?"
"Iya. Kalau nggak teledor, nggak mungkin telepon kita bisa tertukar, kamu waktu itu benar-benar nggak sengaja menukar ponsel kita, kan?" Kali ini Banyu tersenyum miring.
Mendengar Banyu yang seolah menuduh, tentu saja membuat Seruni keki setengah mati. Mana mungkin dia sengaja menukar ponselnya dengan ponsel Banyu. Terlebih waktu itu dia benar-benar kesal dengan Mery.
Mengingat Mery, bibir Seruni melebar. Perempuan asisten bosnya itu berulangkali terlihat ingin mendapatkan perhatian dari Banyu, setidaknya itu yang ditangkap oleh dirinya dan Wulan. Sayangnya mereka berdua merasa jual Banyu sama sekali tidak pernah peka dan abai dengan segala perhatian yang diberikan Mery padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadline untuk Seruni (Tamat -segera terbit)
Fiksi UmumBercerita tentang seorang perempuan yang memutuskan untuk berhenti menjalin hubungan dengan lawan jenis karena luka masa lalu. Namun, keluarganya justru tak henti mendesak agar dia segera menemukan jodoh dan menikah sebelum usia tiga puluh. Saat dia...