Mengembuskan napas dalam-dalam, Seruni mengekori Banyu. Wajahnya lebih terlihat kesal daripada khawatir. Justru wajah Wulan yang tampak cemas. Terlebih Mery ikut sinis terhadapnya.
"Aku pikir temanmu itu udah kelewatan! Udah mulai cari-cari perhatian," sinisnya kemudian melangkah menjauh.
Wulan hanya bisa menggerutu.
"Semoga lo baik-baik aja, Run!" gumamnya kembali duduk meneruskan pekerjaan.
**
"Silakan duduk!" titah Banyu setelah terlebih dahulu mendaratkan tubuh ke kursi empuk di belakang meja kerjanya.
Tak menyahut, Seruni mengikuti instruksi dari atasannya dengan wajah ditekuk.
"Kenapa terlambat? Kamu tahu kan jam berapa karyawan harus berada di kantor?" cecarnya dengan menyembunyikan senyum.
"Maaf, Pak. Saya semalam mengerjakan apa yang Bapak minta."
Banyu menaikkan satu alisnya. Masih mengulum senyum dia bertanya, "Mengerjakan apa?"
"Lukisan bunga untuk Oma. Bukannya Bapak meminta saya untuk segera ...."
"Oh iya, tapi itu bukan alasan untuk terlambat, kan?"
Seruni terdiam. Dia sepenuhnya sadar bahwa memang dirinya salah, tetapi hanya terlambat lima menit menurutnya pria itu seharusnya bisa mentolerir.
Banyu tahu perempuan di depannya itu tengah merasa bersalah, tetapi masih merasa benar karena alasan lukisan.
"Coba saya lihat seperti apa hasil lukisannya!"
Tanpa menatap Banyu, Seruni menyerahkan hasil karyanya. Pria yang mengenakan jas hitam itu menarik bibirnya lebar.
"Kamu berbakat, Seruni! Lukisan ini sangat bagus!" pujinya seolah melupakan soal keterlambatan Seruni.
"Makasih, Pak," balasnya dengan mengembuskan napas lega. "Lalu apa saya tetap akan menerima sangsi?" tanyanya kali ini memberanikan diri menatap Banyu.
Pria itu tampak masih mengamati detail lukisan bunga seruni di hadapannya.
"Kamu suka melukis sejak kapan?" tanya Banyu mengabaikan pertanyaan Seruni.
Meski sedikit kesal karena sang bos tidak menjawab pertanyaannya, dia tetap menjawab, "Sejak kecil, Pak."
Banyu mengangguk paham.
"Pernah ikut pameran atau semacamnya gitu?"
Seruni menggeleng cepat.
"Kenapa? Saya lihat kamu berbakat!"
"Saya tidak suka berkompetisi, Pak," jawabnya asal.
Sementara dari jendela kaca terlihat matahari mulai meninggi. Seperti ketika bersama bos yang terdahulu, dia selalu suka menatap jendela kaca di ruangan itu. Dari ketinggian, dia bisa mengamati birunya langit dan megahnya gedung-gedung pencakar langit dari dekat.
"Seruni!"
"Eh, iya, Pak?"
"Kamu sedang memperhatikan apa?"
"Eng ... nggak. Eum, apa saya boleh bekerja atau dihukum?" tanyanya resah.
Banyu tersenyum tipis.
"Kamu boleh kerja, tapi sebagai hukumannya, nanti sore saya mau kamu temani saya!"
Seruni mendesah lelah.
"Nanti sore? Ke mana, Pak?"
"Nggak usah banyak tanya. Karena ini hukuman buatmu, jadi ikuti saja!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadline untuk Seruni (Tamat -segera terbit)
Fiksi UmumBercerita tentang seorang perempuan yang memutuskan untuk berhenti menjalin hubungan dengan lawan jenis karena luka masa lalu. Namun, keluarganya justru tak henti mendesak agar dia segera menemukan jodoh dan menikah sebelum usia tiga puluh. Saat dia...