☀️ Bertahan (?)

68 11 10
                                    

"Saya harus bilang berapa kali lagi kalo itu bukan anak saya?" Suasana di ruang keluarga itu terasa mencekam. Hari itu mami Bina dan papi Hanan beserta keluarga besar dari pihak mami Bina berkumpul. Saat itu udah bukan rahasia lagi tentang kejadian yang dialami Rachel.

"Udah kan Na? Jendra udah bilang berkali-kali kalo bayi itu bukan anak dia? Terus kamu mau gimana lagi? Masih mau maksa Jendra buat tanggung jawab?" Dari kursi kebanggannya Santika menjawab.

Bina tersenyum tipis mendengar kalimat yang keluar dari belah bibir ibunya. "Siapa yang bilang aku maksa Jendra buat tanggung jawab buk?"

Santika seketika memasang ekspresi marahnya pada anak bungsunya. "Dengan kamu terus nuduh Jendra kayak gitu, jelas dong kamu nuntut Jendra! Oh atau jangan-jangan ini akal-akalan kamu? Rachel aslinya hamil sama pacarnya terus pacarnya nggak mau nggak tanggung jawab. Gitu kan Sabina? Makanya punya anak perempuan itu dijaga, jangan dibiarin salah pergaulan mau diajak kesana kemari sama pacarnya! Giliran udah fatal gitu lempar batu sembunyi tangan!"

Di sisi lain Hanan dengan setia mengusap pelan punggung tangan istrinya yang sedari tadi nahan emosinya. "Ibuk udah cukup hina anak saya? Ibuk nggak usah ajarin saya cara ngedidik anak kalo ibuk sendiri juga nggak becus ngurus anak!"

Bina berdiri saking nggak tahannya dia denger gimana ibunya merendahkan anak kandungnya.

"Bin—

"Apa mas? Mas selama ini emang nggak tau kan kalo ibuk benci banget sama anakku? Yang jelas-jelas salah anak kamu kok yang di roasting anak aku? Keliatan banget kan pilih kasihnya?" Bina dengan cepat memotong kalimat kakak sulungnya yang hendak menegurnya.

"Ibuk nggak tau kan cerita awalnya gimana? Dia buk yang maksa anak saya! Padahal udah jelas anak saya nggak mau sama dia! Kamu nggak tau kan Jen dampak besar yang akan datang?" Bina menunjuk ibunya dan Jendra secara bergantian. Bodoamat dikatain anak durhaka, toh disini dia mati-matian belain anaknya.

Di seberang Bina, Jeje cuma bisa nunduk frustasi. Dengan satu kabar yang dia terima kemarin, hidupnya dalam sekejap berantakan. Belum lagi kalo kabar itu tersebar luas di luar sana. Udah lah tamat semua karir Jeje.

"Nggak usah takut Jen. Saya nggak minta kamu tanggung jawab kok. Saya mampu ngurus anak saya sendiri, dan saya juga nggak akan telantarin anak saya seperti yang dilakukan ibu saya dulu."

"Sabina kamu—

"Apa buk? Aku bener kan? Ibuk pikir aku nggak tau? Ibuk sengaja kan ngirim aku ke luar negeri berkedok nguliahin aku disana padahal niat asli ibuk pengen aku jauh sama ayah?" Definisi membuka luka lama adalah Sabina Eliana. Sejak kemarin mami direktur yang super cantik jelita jadi kacau. Faktor utama jelas Rachel, selanjutnya ya ini nih, ibunya yang super duper ngeselin.

"Bina cukup ya Bin, yang dulu nggak usah dibahas, kita bahas kelanjutan anak kamu aja." Papanya Jendra alias Dimas menengahi awal mula perdebatan ibu dan anak yang dari jaman dahulu kala nggak pernah selesai.

Bina tersenyum miring membalas tatapan sang kakak tertua. "Bahas apa lagi mas? Bukannya udah jelas yang aku bilang tadi? Aku nggak pernah minta anak kamu tanggung jawab!"

"Tapi Bin—

"Tapi apa? Aku nggak rela anak aku hidup sama psiko macem dia!" Lagi-lagi hobi baru Sabina Eliana motong kalimat orang kembali muncul.

Dimas akhirnya menyerah. Sabina bukan lagi adik kecilnya yang penurut memang. "Terus Rachel gimana?"

"Rachel anak aku, kamu nggak usah mikirin dia. Aku bisa ngurus anak aku sendiri." Ucap Bina sebelum akhirnya memilih beranjak diikuti oleh sang suami dari rumah mewah megah seantero komplek perumahan Yellow's tone city.

[ii] A S M A R A L O K ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang