Part 3

265 44 1
                                    

Yoona memandang kosong dengan kedua tangan memeluk lutut. Sudah dua hari Yoona mengurung diri di kamar. Menolak makan, juga menolak bicara. Raganya ada, namun jiwanya tak terasa ada. Rasa sakit itu hampir melumpuhkan dirinya, hingga satu-satunya hal yang mampu Yoona lakukan dengan benar hanyalah bernapas.

Bahkan, hal sesederhana bernapas saja kerap menyakitkan baginya. Hampir tak tertahankan.

Ketukan di pintunya semakin terdengar keras. Seperti dua hari terakhir. Disusul dengan permohonan maaf yang begitu menyayat. Namun Yoona tetap membeku. Sepenuhnya berada dalam dunianya yang kelam.

Beranjak senja, seseorang kembali mengetuk pintunya. Suara lembut yang menyusul membuat pertahanan Yoona hancur. Dengan tubuh kaku, Yoona bergerak membuka pintu kamarnya dan mendapati sahabatnya berdiri dengan tangan memegang nampan berisi makanan.

"Yoona?" tanya Sunny dengan ekspresi syok. Matanya melebar, sementara suaranya tercekat.

Kondisi Yoona di hadapannya sungguh di luar perkiraan. Wajah Yoona begitu pucat, matanya bengkak, dan tubuhnya bergetar hebat. Sunny segera masuk ke kamar Yoona dan meletakkan nampan yang dibawanya. Tanpa kata Sunny menarik Yoona duduk di tempat tidur, lalu memeluk Yoona.

"Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja, Yoona?" tanya Sunny cemas.

Yoona tidak menjawab. Matanya masih menatap kosong.

Sunny pun tak kuasa mendesak. Ia hanya mengurus Yoona dengan sabar. Menyuapinya makan, lalu menyelimutinya ketika tidur. Kegiatan itu terus berulang hingga dua minggu kemudian. Orangtua Yoona yang baru saja pulang, tidak mengerti keadaan putrinya dan sangat khawatir, namun Yoona selalu mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja, meski dengan nada datar dan tatapan tanpa binar.

Diamnya Yoona berubah menjadi histeria di minggu ke tiga. Sunny yang selalu menemani Yoona tanpa kenal lelah, mulai memahami gejala yang dialami Yoona. Meski enggan, Sunny tahu ia harus membuktikannya. Yoona stres karena suatu hal dan kini memasuki tahap depresi karena hal lainnya. Maka siang itu, ketika seluruh keluarga Yoona pergi, Sunny datang dengan bungkus plastik dari apotik.

"Yoona, maukah kau mencobanya?" tanya Sunny hati-hati.

Yoona meraih bungkusan plastik itu, lalu menangis ketika melihat isinya. Sebuah alat tes kehamilan. Tanpa kata, Yoona melangkah menuju kamar mandinya. Kondisi tubuhnya yang tidak menentu menghantui Yoona. Ia bukan gadis bodoh, begitu pula sahabatnya. Dengan seluruh Kimhan Yoona, juga rutinitas barunya mengunjungi toilet setiap pagi, siapa pun bisa menebaknya.

Ketika Yoona tak juga keluar dari kamar mandi, Sunny mengetuk pintunya. Hanya terdengar isak tangis. Jantung Sunny berdebar keras, sementara tangannya meraih kenop pintu yang untungnya tidak terkunci. Sunny membuka pintu dan melihat Yoona menangis bersimpuh di lantai. Alat tes kehamilan tergeletak dengan dua garis merah yang jelas di hadapannya.

Sunny menutup mulutnya. Air matanya mulai mengalir seiring tubuhnya yang jatuh berlutut. Sunny memeluk Yoona erat, membiarkan isakan mereka memenuhi kamar mandi itu. Tanpa diduga, seseorang pun ikut melihat semua yang terjadi. Ketika Yoona membuka mata dan menatap orang di pintu kamar mandinya, ia segera bangkit berdiri. Dengan amarah nyata Yoona menghampiri orang itu, melayangkan tangannya dan melancarkan pukulan apa pun yang bisa diberikannya.

"Kau bajingan! Aku membencimu!" teriak Yoona histeris.

Siwon hanya berdiri di sana. Menerima semua pukulan juga makian dalam diam. Tuhan tahu betapa menyesal dirinya. Ribuan kali Siwon meminta maaf, namun Yoona tak bisa memaafkannya. Kini, semua semakin tak terselamatkan. Siwon sudah memasrahkan segalanya. Ia tahu penjara saja tidak cukup buruk untuknya. Ia pantas mendapat hukuman terberat. Maka ketika Yoona membisikkan kalimat selanjutnya, Siwon tahu ia harus melakukannya.

"Kau menyakitiku, Siwon. Aku membencimu. Aku harap kau pergi dari hidupku. Aku tak ingin melihatmu lagi seumur hidupku." bisik Yoona penuh luka.

Siwon menatap Yoona dengan air mata yang tak mampu lagi disembunyikannya. Perlahan, Siwon berbalik dan melangkah keluar dari kamar Yoona. Meninggalkan Yoona yang menangis histeris di belakangnya.

***

Yoona membiarkan angin meluruhkan kelopak-kelopak bunga di tangannya. Matanya tetap memandang kosong, sementara orang-orang di sekitarnya mengurai tangis yang menyayat.
Makam bertaburan bunga di hadapannya ternamai dengan nama Choi Siwon.

Yoona tidak bisa menangis. Tak ada lagi air matanya yang tersisa. Setelah pertengkaran terkutuk itu, Yoona menemukan Siwon terbujur kaku tak bernyawa. Ada begitu banyak obat tidur yang ditelannya, hingga tanpa perlu memeriksanya ke rumah sakit, Yoona tahu Siwon telah pergi.

Yoona menyentuh perutnya perlahan. Kehidupan di dalam tubuhnya adalah pengingat sejati atas segala sakit ini. Yoona tidak bisa melakukannya. Yoona tidak akan membiarkannya.

"Sunny, aku butuh bantuanmu." bisik Yoona. Ia meninggalkan pemakaman, tak peduli pada tatapan cemas bercampur kesedihan dari orangtuanya. Yoona segera pulang ke rumahnya, lalu mengemas barang-barangnya.

"Yoona, apa yang kau lakukan?" tanya Sunny.

"Aku ingin kau berbohong pada orangtuaku. Kau tahu apa yang harus kau katakan. Aku akan pergi untuk sementara waktu. Setelah semua selesai, aku akan menyusulmu ke Seoul. Rencana kita tidak akan berubah." jawab Yoona datar.

"Ke mana kau akan pergi?" tanya Sunny cemas.

Yoona menarik kopernya, lalu menjawab, "Sampai jumpa, Sunny."

***

Song for Unbroken Soul - Taehyung Yoona VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang