4| Harus sedih atau senang?

272 61 0
                                    


Bismillahirrahmanirrahim

Hai-hai, jumpa lagi kita. Semoga masih ada yang nungguin ceritaku ini ya :D

Happy reading


***

Hujan kembali mengguyuri bumi dengan tiap tetesan yang sudah sedari sore tadi jatuh menimpa bumi. Bukan hujan deras, namun cukup asik apabila ditemani secangkir kopi hitam pekat hangat dan sepiring pisang goreng buatan ibu.

Fachry  terduduk di sebuah kursi kayu depan rumahnya selesai melaksanakan shalat isya di masjid. Nekat menembus hujan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai muslim dan muadzin di sebuah masjid bernama Ar-Rahim, disinilah ia berada sekarang berusaha menghangatkan tubuhnya dengan jaket denim usang andalannya.

Pikirannya kembali menerawang pertemuan singkat dirinya dengan gadis yang ia sukai semasa putih abu-abu. Jika mengingat kembali masa remajanya ketika ia berusaha mati-matian mendapatkan perhatian gadis pujaannya rasanya sangat memalukan. Tingkahnya yang kekanakan bahkan terkesan bodoh membuat Fachry meringis tatkala bayangan masa lalu terlintas di pikirannya. Sebelum ini Fachry memang sudah beberapa kali melihat Lunara meski perempuan itu tak mengetahuinya. Ia juga baru tahu bahwa Lunara rajin mengikuti kajian di masjid tempatnya menjadi muadzin, dan kemarin Allah menakdirkan kembali ia bertemu dengan Lunara di sebuah warung kecil ketika ia singgah membeli minuman.

"Wajar sih dulu aku ditolak. Perempuan mana yang mau sama lelaki berandalan coba. Penampilan urakan, prestasi nggak ada ilmu agama apalagi. Memang nekat sama gila beda tipis" Fachry terkekeh mengikuti ucapannya.

Tidak banyak yang berubah dari Lunara, bahkan hampir tidak ada. Masih mungil seperti dulu dan juga, cantik. Ingin rasanya kembali bersilaturrahmi dengan Lunara walau hanya sekedar tegur sapa namun mengingat kondisinya sekarang, rasa malu dan insecure begitu besar menggerogoti jiwanya.

Dulu Fachry dengan bangga memamerkan hartanya bahkan tak jarang memberikan hadiah-hadiah mahal kepada Lunara agar mau menerima cintanya tapi sang empu tetap tidak goyah bahkan dengan tegas menolak. Apalagi sekarang, ketika dirinya jatuh dan terpuruk, mana berani ia bertegur sapa dengan Lunara. Setelah Papa meninggal dunia, usaha keluarga pun ikut hancur karena ketidakpiawaiannya dalam mengelola hingga keluarganya merasakan yang namanya gulung tikar dan kehidupannya pun berubah total.

Dari dalam rumah terlihat seorang wanita paruh baya berusia setengah abad ikut nimbrung duduk bersama dengan Fachry menikmati tiap tetesan hujan yang menyapa bumi.

"Hayo lagi mikirin apa kamu, Najma ya ?" Fachry tersenyum menatap sang Mama yang baru saja ia sadari kehadirannya.

"Bukan Ma, Mama paling suka godain aku ya"

"Ya mana tau anak Mama yang satu ini udah kebelet banget nikah kan. Jadi gimana proses pdkt kamu sama Najma, lancar kan ?"

"Ta'aruf ma, bukan pdkt. Alhamdulillah lancar, kami juga sudah saling tukeran CV dan respon dari keluarganya juga mendukung. Doakan saja yang terbaik ya Ma, semoga Fachry dan Najma berjodoh. Kalaupun nggak berjodoh semoga Allah ganti dengan yang lebih baik"

"Amin, selalu Mama doakan yang terbaik untuk anak-anak Mama. Mama juga suka sekali dengan Najma, orangnya lembut, sopan, pintar, menantu idamanlah pokoknya"

Fachry semakin tersenyum mendengar pujian yang Mamanya lontarkan untuk Najma. Sudah hampir 3 bulan Fachry memperhatikan Najma yang sering mengikuti abinya mengisi ceramah secara diam-diam dan rasa kagumnya semakin bertambah karena kemuliaan akhlak dan sifat yang dimiliki Najma.

Gema Cinta Sang MuadzinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang