28. Fakta pembunuh.

89 17 0
                                    

Kabar Airin yang sakit, sudah terdengar ketelinga Lorens.

Pagi ini dia memilih memakan sarapannya di dalam pafiliun. Permaisuri sedang sakit, ayahnya sudah pasti akan menemani Airin. Lorens mengunyah rotinya tak berselera. Pikiran wanita itu terlalu banyak hari ini.

"Yang mulia Raja Damian datang berkunjung!" teriak kasim.

Lorens mendengus, tampak enggan berdiri. "Selamat pagi Ayah!" sapanya saat damian melangkah masuk, mengikis jarak di antara keduanya.

"Lanjutkan sarapanmu!"

Lorens mengangguk dan kembali duduk. "Ada apa ayah datang sepagi ini?"

Helaan nafas Raja Damian terdengar berat. "Aku akan pergi sebentar keperbatasan. Apa kau bisa menemani ibumu?" Damian menatap sang putri sulung, berharap.

Lorens meraih cangkir dan menenggak isinya hingga tandas. Dia terdiam, tampak sedang berpikir. Menemani Airin? Lama terdiam, akhirnya kepala itu mengangguk.

Damian tersenyum. "Aku akan berangkat sekarang. Jangan terlalu lama menemuinya."

Lorens mengangguk kembali. Dia menunduk, menatap kosong sisi meja. Sampai keberadaan Damian tak terlihat, Lorens masih sibuk berkutat dengan pikirannya.

Permaisuri sedang sakit. Wanita itu pasti terlalu mencemaskan Illona sampai tak memakan baik makanannya. Lorens mengetatkan rahang. "Nina!"

Pelayan yang berdiri di belakang sang tuan, melangkah maju. "Saya Putri."

"Bereskan ini! Aku akan berkunjung kepafiliun permaisuri."

Nina mengangguk patuh.

****

"Apa yang ibu rasakan?" tanya Lorens, menatap prihatin Airin yang terbaring di peraduan.

Airin mengelus kepala anak pertamanya sayang. Dia kira Lorens tak akan sudi menemuinya, dia kira Lorens sudah tak menganggapnya, dan dia kira Lorens benar-benar membencinya. "Aku hanya merasa tidak enak badan."

Lorens mengangguk. Rasanya melihat keadaan Airin sekarang membuat hatinya tak tega. Wanita yang selalu menebarkan aura positif, terbaring lemah. Wajah yang selalu menyorot hangat, tampak pucat. Manik coklat itu menatap Lorens teduh. "Apa ibu menginginkan sesuatu?"

Airin menggeleng. "Aku hanya ingin kau tetap di sini."

"Aku akan menemani ibu sampai ayah pulang."

Airin meneteskan air mata. Lorens mengingatkannya pada Illona.

Lorens meraih tangan kanan sang ibu di kepalanya. "Kenapa menangis?" tanyanya bingung. Tangan kanan Lorens mengelap air yang membasahi pipi airin.

"Aku merindukanmu."

Perkataan yang keluar dengan lirih itu menampar keras Lorens. Dia tersenyum, menutupi hatinya yang perih. Lorens meletakan kedua tangan Airin dan menyelimuti wanita itu. "Istirahatlah!"

"Bagaimana kabar adik-adikmu?"

Pertanyaan yang keluar secara tiba-tiba, membuat Lorens tersedak.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Airin khawatir. Dia ingin bangkit duduk tetapi Lorens menahannya.

"Jangan banyak bergerak." Lorens berdeham, menetralkan tenggorokannya yang gatal. "Mereka baik-baik saja. Jangan terus mengkhawatirkannya," tegurnya memperingati.

Airin mendesah. "Bagaimana aku bisa tidak mengkhawatirkan mereka? Mereka anak-anakku, sama sepertimu. Mereka sedang bersama orang yang pernah membunuh anggota keluarganya. Orang yang pernah menguasai kerajaan kita cukup lama." Airin terisak. "Beritahu aku bagaimana caranya agar tidak memikirkan mereka?"

Lorens terdiam. Apa perkataannya barusan salah? Dia berkata seperti itu untuk menenangkan hati sang ibu. Tetapi sepertinya Airin salah menangkap maksudnya.

"Ibu jangan menangis! Aku tidak bisa berkata manis seperti anakmu yang lain." Lorens tersenyum kecut. "Tunggu sebentar! Aku akan membawakan obat untuk ibu."

Airin menatap kepergian sang putri sulung dengan tatapan terluka. Bagaimana bisa dia tak mengkhawatirkan Illona? Bagaimana bisa dia mengabaikan fakta, salah satu putrinya harus menikah dengan pembunuh? Airin menyentuh dadanya yang berdenyut sakit. Pikiran buruk mengenai Illona selalu berhasil membuat kepalanya sakit.

Putri Illona (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang