32. Tangan yang sama.

86 17 0
                                    

****

Illona merasakan wajahnya memanas. Dia menoleh, menatap bingung pria yang terus saja melihat kearahnya. "Apa kau sedang memperhatikanku?"

Luis mengangguk. Dia menyenderkan punggungnya, masih menatap sang istri.

Illona mengalihkan pandangan pada kain yang terbuka separuh. Angin membelai wajahnya begitu lembut dan menenangkan. Tetapi manik hitam yang selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya, membuat Illona tak nyaman. "Jangan terus menatapku!"

Luis menaikan satu alisnya. "Kenapa?"

"Kau bisa melihat yang lain."

"Melihat apa?"

Illona menatap kesal Luis. "Apa saja! Yang terpenting jangan terus melihatku,"

Luis terkekeh, matanya menyipit laksana bulan. "Apa seseorang pernah berkata seperti ini padamu?"

Illona mengerutkan alis, menunggu perkataan selanjutnya yang akan keluar dari mulut Raja Samer.

"Jika ada sesuatu yang indah telah diciptakan Dewa, wajib bukan bagi kita bersyukur?"

Illona mengangguk.

"Lalu jika ada pemandangan indah di hadapanmu apa yang akan kau lakukan?" Luis mengulum senyum.

Illona mengerutkan alis, tampak berpikir. "Memuji," jawabnya, ragu."

Luis bersedekap dada. "Pasti kau akan terus memandangi pemandangan itu, kan?" tanyanya, memastikan.

Illona mengangguk kembali.

Luis tersenyum lebar. Angin yang menyeruak dari samping, menggerakan rambutnya yang dikuncir. Manik tajam itu terus menghujani wajah Illona yang sedikit memerah. "Aku sedang mengagumi ciptaan terindah dari Dewa dalam hidupku," ucapnya, setelah lama terdiam.

Illona buru-buru memalingkan wajah. Entah mengapa perkataan itu menggelitik perutnya. Dia ingin menangis.

"Jadi apa aku salah terus memandangimu?"

Illona tak menjawab. Kepalanya terasa kaku sekedar menggeleng, ataupun mengangguk. Sebenarnya apa yang telah terjadi pada kepala Raja Samer? Apa sebelum pernikahan mereka kepala Luis terbentur? Atau jangan-jangan... pria itu jatuh di dalam kerajaannya, sampai membuat kepribadian pria itu berubah?

Luis menegakan tubuh. Tangannya bergerak menggeser kain yang terbuka. "Boleh aku tidur?"

Illona menoleh. Tak ada lagi hamparan hijau, atau coklatnya pegunungan yang sedikit menghibur. Gambar burung finix yang disulam, menjadi hal yang paling indah sekarang.

"Apa kau mengizinkanku tidur?" tanya Luis kembali. Dia rasa matanya sudah benar-benar butuh istirahat.

"Tidurlah!"

Luis menatap Illona dengan tatapan yang sulit diartikan. "Apa boleh aku tidur di pahamu?"

Illona menelan salifanya. Apa yang baru dikatakan Luis? Tidur di pahanya? Rasanya Illona ingin tertawa sekarang. Raja Samer itu jelas sedang meminta izin. Ya, izin tidur di atas pahanya, bukan... ah! Raja Samer itu! Semakin hari, semakin lucu.

"Bagaimana?"

Illona membenarkan duduknya. Dia menepuk-mepuk pahanya, mempersilahkan sang suami.

Luis menegakan tubuh. Dia menatap Illona dalam, sebelum berbaring. "Kalau kau merasa berat atau pegal, jangan takut bangunkan aku."

Illona menunduk, menatap wajah sang suami. "Tidak perlu khawatir."

Luis mengangguk dan mulai memejamkan mata.

Hening!

Illona menatap kosong kedepan. Tangannya bergerak, membelai rambut sang Raja yang halus. Apa yang sedang dilakukannya? Apa ini benar terjadi?

Tangan kanan Illona yang bebas, mencubit pipi. Dia meringis saat merasakan sakit. Illona melotot, menunduk, memperhatikan wajah yang terlelap damai.

Tangannya yang berada di pipi, beralih menyentuh hidung Luis. Ini terlalu nyata untuk dapat disentuh.

Luis membuka mata, membuat Illona tersenyum kikuk.

"Ada apa?"

Illona menggeleng. "Maaf. Tidurlah kembali!"

Luis menggenggam tangan Illona. Dia mendaratkan kecupan di punggung tangan sang istri dan membawa tangan itu keatas dadanya "aku akan lebih tenang jika tanganmu berada di dalam genggamanku."

Illona bungkam. Tangan yang menyentuhnya, adalah tangan yang sama yang membunuh kakaknya. Illona tersenyum miris. Apa Dewa sedang mempermainkannya?

Putri Illona (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang