GAGAL BERSEMBUNYI

11 0 0
                                    

Bukan Delina kalau segera menurut pada perintah. Hanya saja, semenjak Ragil memberi peringatan teruntuk kesekian, aku tak memiliki daya dalam menunjukkan sanggahan. Pada akhirnya, kata 'iya' terlontar. Itulah yang membuat kami berbaikan. Meski syarat yang Ragil sebutkan tak benar-benar kulakukan.

Pagi ini. Di gazebo kampus, aku diam-diam menghampiri Ben. Dia sedang bercengkrama dengan anggota BEM lain. Tentu, kami saling mengenal satu sama lain. Tidak heran kalau sapaan yang kutujukan tak dianggap aneh oleh teman satu anggota lain. Melihat kelonggaran dalam berbicara, aku dapat dengan mudah menyodorkan piranti dengar berinisial BJ itu.

"Ah, jadi aku meninggalkannya di ruang BEM?"

"Kau benar. Aku sengaja menyimpannya setelah tak sengaja menemukan benda kecil itu."

Sesuai dugaan, Ben hanya akan memberi anggukan sambil berucap terima kasih; sebagaimana seseorang mengungkapkan rasa senang maupun syukur atas pertolongan dari orang lain. Tidak ada yang spesial bagi seorang Benjamin. Tak ada pemikiran khusus mengenai benda yang telah kembali. Ataupun, mengenai siapa sosok yang menyimpan dan memberikan benda itu kepada dia. Ben bersikap biasa saja.

Jika aku menurut pada ucapan Ragil; menjalankan perintah dari dia agar mengembalikan benda itu ke tempat semula, lalu berpura-pura tidak tahu. Mungkin, aku tidak akan melihat wajah kaku dari Ben. Meski begitu, aku merasa tidak keberatan. Toh, inilah yang disebut berjuang. Maklum, pemuda incaranku sekarang memang terkenal dingin karena sifat idealisnya yang enggan berada dalam sebuah hubungan. Fokus Ben adalah pendidikan dan karir yang dapat menunjang kehidupan di masa depan. Berbeda sekali dengan dewasa muda seperti kebanyakan. Kami masih memikirkan indahnya masa muda bahkan ada juga yang masih terjebak dalam romansa abu-abu semasa duduk di bangku SMA. Jadi, perkara aku yang mengembalikan barang pribadinya? Tentu saja, tak ada yang perlu dianggap spesial.

"Eh, Del?" Salah seorang di antara mereka menyebut namaku. Sebut saja dia Noah. Sebelum Ragil mengundurkan diri dari jabatan wakil ketua BEM, Noah terbilang cukup akrab dengan sahabat lelakiku itu.

"Ada apa? Kalau kau ingin bertanya, lekas tanyakan saja. Jika tidak, aku hendak pergi. Urusanku dengan Ben sudah selesai."

"Ck! Kau ini ketus sekali. Aku hanya ingin menanyakan kabar Ragil setelah tak lagi menjadi wakil ketua BEM. Apakah dia benar-benar sudah sibuk sekarang?" Pertanyaan itu disertai dengan penuturan Noah atas pengetahuan di balik kepergian Ragil dari keanggotaan kami.

Saat itu, aku tidak menyangka bahwa ucapan Ragil tidak sama dengan yang Noah katakan kepadaku. Satu-satunya alasan yang Ragil lontarkan saat mengabarkan mengenai keputusan tersebut yakni karena ia enggan menjadi seksi sibuk di BEM. Tidak heran. Ragil memiliki kompeten besar. Tapi, dia juga petualang yang enggan sibuk dengan hal-hal monoton. Bagi Ragil berkutat dengan keanggotaan BEM itu cukup membosankan. Tetapi, ternyata bukan itu satu-satunya alasan.

"Dia mengundurkan diri karena berniat untuk mengikuti ajang bernyanyi solo. Kesibukannya di dunia musik selalu menjadi nomor satu. Apa lagi setelah dia ingin memberikan hadiah ulang tahun untukmu. Ragil mati-matian mengisi acara di kafe dengan bayaran yang tak besar."

Terenyuh. Seketika, muncul detak berbeda di dalam jantung. Tidak pernah kurasakan hal seperti ini ketika mendengar Ragil melakukan sesuatu yang dikhususkan untukku.

***

Berbeda jurusan dengan sahabatku satu itu, tidak membuat kami menjadi jarang bertemu. Di waktu luang SKS, Ragil selalu menghampiri meski hanya untuk menyapa atau membicarakan hal tak penting. Terkadang dia juga menyeretku keluar dari jadwal SKS hanya untuk menemaninya makan. Alasan perihal perut memang tidak bisa di nomor duakan.

"Jadi ikut atau tidak, Del?" Pemuda berjaket itu telah menyalakan mesin kendaraan. Motor sport ala pria-pria muda di setiap zaman menjadi pemanis tambahan dari wajah Ragil yang cukup tampan.

"Kalau Mama dan Papa sampai tahu, bisa habis kita."

"Kalau begitu, jangan sampai ketahuan sama mereka."

Haish! Aku berdesis. Dia memang suka sekali berucap tanpa beban ketika mengajakku untuk membolos jam kuliah. Memang benar, jurusan kuliah yang diambil oleh Ragil tak membutuhkan banyak teori. Mengenai praktik, dia juga cukup pandai. Tak masalah bagi Ragil untuk meninggalkan kelas. Tak demikian dengan jurusan Manajemen Sumber Daya Manusia yang kupilih. Beberapa SKS memaksa agar para mahasiswa dan mahasiswi dapat menghafal teori dengan baik. Sebelum menghafal, tentu saja aku harus mengikuti kelas agar tak melewatkan penjelasan dari para dosen.

"Del? Mikir apa sih? Lama banget. Kalau ikut, angguk kepala. Kalau tidak, tinggal balik badan. Jangan biarkan cacing di perutku semakin keroncongan."

"Duh, iya-iya! Aku ikut," Langkah kaki yang berjalan mendekat segera disambut dengan sodoran pengaman kepala. Tapi, Ragil seraya enggan melihatku menggapai helm. Ia justru menarik lengan milikku dan menempatkan benda itu ke kepala.

"Begini saja, lama! Sudah, ayo."

Ajakan itu segera dibalas dengan suara deru kendaraan. Kami berboncengan seperti hendak melakukan perjalanan di akhir pekan.

***

Detik demi detik yang kulalui bersama Ragil selalu tidak terasa. Tak seperti cinta bertepuk sebelah tangan; kebersamaanku dengan dia lebih pantas disimpulkan dengan dua tangan yang saling menggenggam. Ragil selalu ada. Dia terlampau peka pada setiap yang aku butuhkan atau kuinginkan. Menarik lengan ketika aku hendak terjatuh karena ceroboh dalam melangkah. Mengusap kepala di setiap aku menatapnya dengan tawa sumringah. Mendekap dari samping sambil menepuk pelan bahu ini ketika hatiku kembali patah. Asam manis dan pahit kehidupanku lebih tepat disebut dengan separuh bagian dari dirinya. Ragil tidak pernah absen meski satu kali saja.

Waktu itu, tempat duduk di bagian rooftop kafe telah menjadi lokasi singgah. Bukan pilihan salah satu dari kami. Tapi, memang di sanalah tempat favorit kita berdua. Tidak perlu dikatakan, Ragil sudah pasti akan berkendara menuju kafe ini. Sedangkan aku yang dibonceng tidak akan protes karena tahu Ragil tak mungkin buta arah. Lalu, pilihan untuk menempati ruang terbuka pada sisi atas bangunan selalu menjadi lokasi ternyaman bagi kita berdua.

Sebelum itu, "Hei!" Aku berdecak. Sesaat setelah mendapati menu pesanan yang Ragil minta. Tanpa persetujuan dari dia, segera kuganti pesanan itu dengan menu yang tak mengandung unsur pedas.

Melihat ketikan yang kutujukan pada sebuah layar pemesanan makanan, Ragil berbisik, "Apa yang sedang kau lakukan? Aku bukan bocah SD yang tak bisa makan sambal."

"Mulai hari ini, kau memang tak bisa. Ah, maksudku tak boleh makan pedas!"

Melihat dan mendengar tanggapan dariku, garis di dahi pemuda itu berkerut heran. Tanda tanya berkeliling di kepala. Setelah kami menuntaskan pesanan dan pembayaran, dia akan segera mencerca dengan pertanyaan-pertanyaan akan tindakan aneh yang terkesan melarang-larang. Tidak ada yang bisa membuatku berkata jujur kecuali satu orang; Ragil. Tanpa mendengar pertanyaan itu dilontarkan hingga tuntas, mulut ini segera membalas dengan kalimat berisi khawatir. Setengah rasa bangga menjadi penyerta dari nada bicara. Selebihnya, sikap protektif yang hanya kutunjukkan kepada dia akan muncul tanpa diminta.

"Kau hendak mengikuti ajang bernyanyi solo. Selain itu, di sela waktu senggang dalam berkuliah, kau juga mengisi bagian penyanyi di beberapa kafe untuk mendapat bayaran. Makanan pedas tidak cocok untuk seseorang bersuara emas. Maka dari itu, jangan menyantap makanan-makanan bercabe itu lagi selagi kita sedang makan bersama."

Alih-alih menyahut, Ragil tampak memikirkan sesuatu. Dari tatapan mata dan garis alis yang berubah, dapat ditebak kalau jawaban tak terduga sedang disiapkan olehnya.

"Kau pasti diberitahu oleh Noah, kan? Itu berarti, kau bertemu dia ketika sedang menjumpai Ben. Benar begitu tebakanku ini, Del?"

Jleb! Pertanyaan itu menjadi boomerang. Noah memang kerap menempel pada Ben. Kebiasaan itu sempat terlupakan. Aku gagal menyembunyikan momen ketika melancarkan aksi kebohongan. Padahal, kami berbaikan karena aku berjanji untuk tidak mengembalikan benda milik Ben dengan tangan kanan sendiri. Tetapi, di depan Ragil aku bagaikan jarum yang dapat ditemukan pada tumpukan jerami dengan gampang. Semudah itu Ragil mengetahui bahwa aku tak lagi menurut pada peringatan darinya.

"Tidak perlu kau jawab, Del. Dari perubahan pupil mata yang melebar, jawaban 'iya' dapat kutarik pada detik ini juga," Gelengan kepala menjadi tambahan ekspresi dari tanggapan Ragil. Setelah itu, tidak ada kata-kata yang keluar. Dia membisu dalam diam. Menahan rasa kesal.

Jatuh Hati Patah Lagi [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang