Kuputuskan untuk singgah. Bukan di hati seorang pemuda. Tetapi, di teras milik kedua orang tua Ragil. Sore itu, setelah dijemput oleh Mama di kampus, aku meminta agar beliau memberhentikan kendaraan pada dua rumah sebelum tempat tinggal kami berada. Mama tidak heran. Beliau tahu betul bahwa aku dan Ragil bagai tom dan jerry. Berkejar-kejaran karena suatu hal. Tapi, kembali bersama setelah sadar akan kesalahan masing-masing. Tentu saja, Mama menganggap bahwa jaga jarak yang kuciptakan hanya karena kami sedang bertengkar. Takkan terbesit dalam benak beliau akan perasaan cinta yang mulai mengoyak hati antara sang putri dengan putra dari tetangga sebelah.
"Kalau begitu, mulai besok kau berangkat lagi saja bersama Ragil, Del," Mama berseru. Sesaat usai melihatku melangkah turun dari dalam kendaraan. Sayangnya tidak bisa. Ragil benar-benar sedang berpraktik di luar area kampus selama dua minggu ke depan. Akan merepotkan kalau dia harus mengantar dan menjemputku ke kampus, bukan?
Suara mesin mobil yang memelan bersamaan dengan nada lantang yang kukeluarkan. Motor berjenis sport itu sudah terparkir di teras. Ragil sudah tiba lebih dahulu dari pada aku.
"Ragil? Ragil?" Aku memanggil. Hampir membuat berisik telinga tetangga lain.
Daun pintu utama rumah terbuka. Pemuda yang terlihat baru bangun tidur itu khas sekali dengan muka bantal. Alih-alih membukakan pintu pagar, dia menguap dengan lebar. Kemudian, menjejalkan pantat pada kursi yang disediakan di sisi muka hunian.
Dengan langkah perlahan aku memasuki rumah Ragil. Terkikik kecil sebelum berkata, "Sepertinya, aku tidak bisa jauh darimu."
"Sudah jelas hal itu akan terjadi. Kau itu bagaikan perangko yang tidak akan berguna tanpa adanya selembar kertas. Jadi, lain kali tidak perlu mendeklarasikan hal-hal semacam itu lagi. Apa kau mengerti?"
Anehnya, tidak ada ungkapan disertai dengan nada bercanda. Pemuda yang sedang bersandar sambil menyilangkan sebelah tungkai terdengar berucap dengan nada serius. Didukung pula dengan wajah datar dan sedingin yang kerap kulihat pada paras milik Benjamin. Dia bagaikan pria yang tersambar petir sehingga tak mampu tersenyum. Bibirnya seperti menelan pil pahit hingga terpaksa menahan rasa getir.
***
Seperti pada hari biasa. Aku dan Ragil berencana untuk pergi keluar setelah berbaikan. Papa dan Mama lebih suka menyebut kepergian kami dengan kata 'keluyuran'. Tapi, label itu tidak menjadi penghalang bagi kami berdua. Meski dilarang, kami akan tetap meninggalkan rumah masing-masing. Maka dari itu, selepas menyantap menu makan malam buatan Mama, Ragil mengajak untuk pergi menonton film action di bioskop. Tentu saja, aku tidak bisa menolak. Bukan karena gratis. Tetapi, genre film kesukaan kami memang sama. Tidak ada alasan untuk mengeyahkan tawaran dari dia.
"Boleh ya, Om? Tenang saja. Delina akan kembali pulang tanpa ada lecet sedikit pun."
Ragil membujuk Papa. Bukan berisi kalimat gombalan. Ragil tidak akan berujar demikian pada seorang ayah yang killer seperti Pak Bram. Dia sudah paham kalau berkata jujur dan tanpa basa-basi kepada Papa justru menjadi jalan pintas terbaik untuk membawaku pergi. Dan, benar. Setelah memastikan tiket yang dipesan secara online oleh Ragil pada detik itu juga, Papa memberi izin. Semudah itu aku keluar bersama Ragil. Tidak seperti ketika aku diantar pulang oleh Benjamin pada beberapa hari lalu. Papa yang sudah menunggu di teras seperti hendak mengarahkan gagang sapu pada Ben. Beruntung, Mama yang tak sengaja melintas keluar sambil membawa nampan berisi satu buah cangkir kopi segera berseru. Benjamin selamat dari nasib buruk kala itu.
Aku menyimpulkan hubungan kami dengan sebutan kembali ke awal. Namun, tidak ada tanda-tanda membosankan seperti harus membaca buku pelajaran yang sengaja diulang. Perjalanan kami, kebersamaan ini benar-benar mengasyikkan. Semua yang kulalui ketika sedang berjalan berdua bersama Ragil mampu memudarkan rasa kehilangan. Aku tidak lagi peduli akan kepergian pemuda itu pada dua tahun ke depan. Walau jangka waktu telah ditentukan, kita tidak pernah tahu mengenai takdir pada hari-H tiba nanti. Yang kutahu pasti, persahabatan kami tidak boleh memudar seperti kain yang dibubuhi dengan bahan pemutih. Selebihnya, biar semesta menjadi saksi dan memberi bocoran atas kisah demi kisah yang akan kami lalui di kemudian hari.
***
Selagi berada di ruang kedap suara, aku dan Ragil terus memfokuskan pandangan. Adegan action yang sedang disuguhkan seolah menjadi ide ketika kami berada dalam pertengkaran. Sayangnya, aku tidak berbakat untuk menjadi aktris yang pandai dalam ilmu bela diri. Sudah pasti, aku akan kalah jauh dari Ragil setelah pertandingan berakhir. Namun, dia tidak pernah menganggap rendah semua kekurangan itu. Aku merasa kalau Ragil lebih senang ketika aku tak terlalu mandiri dalam segala hal. Terutama perkara cinta dan mengatasi pemuda-pemuda mengesalkan. Ragil takkan hadir kalau aku sanggup menonjok pemuda-pemuda sialan itu, bukan?
Selama ini, dia ada seperti pahlawan super yang menumpas kejahatan. Tak merasa keberatan meski menggunakan tinju secara berulang. Tentu saja, itu semua hanya kiasan. Pada dasarnya Ragil tidak pernah menggunakan kekerasan. Memperingatkan, mengingatkan dan menyadarkan. Dia berteguh dengan cara itu bukan untuk mencari aman. Tapi, agar tidak terjadi pertengkaran antar pemuda pada umumnya. Dia panutan dan idola. Aku lebih mengidolakan dia dibanding Arfad—ketua basket atau pun Benjamin—wakil ketua BEM. Mereka berdua tidak sebanding dengan Ragil yang selama ini tak henti menemani. Jadi, akan kuteguhkan hati untuk kembali ke awal. Ke masa-masa sebelum mengenal rasa cinta kepada dirinya. Keutuhan persahabatan kami lebih penting dari rasa cinta yang bisa memudar kapan saja, bukan?
"Del? Mau makan dulu, tidak?"
"Issh! Tidak perlu. Kita sudah makan bersama di rumah. Mengapa harus mengisi perut ketika sudah kenyang seperti ini?" Aku menunjuk perut yang sedikit membuncit.
Dia terbahak dengan raut penuh bahagia setelah mendengar pengakuan dariku baru saja. Berkata, "Akhirnya, aku mendengarmu mengaku buncit, Del. Maka dari itu, banyak olahraga agar tidak tumbuh ke samping, hah."
Sahutan itu disertai dengan gerak langkah lebih lebar. Dia berjalan lebih dulu dariku. Meninggalkan posisi semula agar aku berlari untuk mengejarnya.
"Olahraga, Del. Lari, buruan!" Dia berseru seolah kami sedang berada di lintasan lari. Tidak peduli pada pasang mata yang memandang, dia terus memintaku untuk mengejar dari arah belakang.
"Tapi, tak begini juga caranya. Orang-orang akan mengira kalau kita anak sekolah dasar yang sedang berkejar-kejaran, Ragil," Aku berujar dengan tidak kalah meninggikan nada. Tapi, masih dalam zona aman. Aku tidak akan bersuara lantang jika tak sedang melintasi area yang cukup sepi dari pengunjung mall. Delina ini bukan Ragil yang mampu bertindak 'gila' pada sewaktu-waktu.
Adegan kejar-kejaran itu memutar memori semasa Ragil mengerjaiku dahulu. Tepat setelah lima tahun kami berseteru dan tidak akur, aku menjadi tahu kalau lelucon serta kejahilan Ragil ditujukan demi kebaikan hubungan kami. Aku tidak pernah menyangka kalau keisengan dia merupakan awal dari ikatan persahabatan, yang akan terjalin kokoh dalam jangka waktu panjang. Terima kasih, Ragil. Terima kasih karena sudah mengingatkan aku untuk kembali ke awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati Patah Lagi [ COMPLETED ]
Teen FictionRagil selalu berkata, "Sampai kapan kau akan sadar, Delina? Dia tidak baik untukmu." Kalimat itu selalu diulang ketika aku mulai melakukan pendekatan dengan seorang pemuda yang aku incar. Aku adalah Delina yang sudah berulang kali jatuh hati dan pat...