MELAWAN HATI

4 0 0
                                    


Beginilah pertemanan. Tidak ada yang perlu dihebohkan ketika salah seorang dari kita mulai menjaga jarak. Aku dan Rara sedang berada dalam ikatan beserta posisi itu. Kami memang dekat. Tapi, tidak terlalu jika dibanding dengan status persahabatan yang terjadi antara aku dan Ragil. Terkadang, seseorang yang mengaku menjadi teman justru datang dengan membawa alasan. Bukan untuk bersungguh-sungguh dalam menemani suka dan duka. Terbukti ketika aku mengetahui fakta kalau Rara mendekatiku hanya untuk mengorek informasi mengenai sosok Ragil selama ini. Aku memang terlambat menyadari. Namun, setidaknya aku telah tergugah dan segera menepikan diri. Berjalan bersama Rara, bisa jadi akan menimbulkan bahaya tak terduga. Terlebih lagi ketika satu kata bertema 'cinta' mulai merasuki ikatan pertemanan di antara kami berdua.

Hari itu, tidak ada sepatah kata yang keluar dari bibir kami. Aku dan Rara memilih duduk pada bangku yang berjauhan. Tidak seperti hari biasa. Mahasiswi introvert itu menempel seperti perangko. Menemaniku ke mana saja seperti seorang pengawal wanita.

Tuntas dengan mata ajar terakhir, aku memutuskan untuk segera menjumpai Ragil di tempat biasa. Area parkir kendaraan roda dua menjadi tujuan kaki dalam langkah. Tetapi, ada yang salah ketika aku berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Arfad—pemuda yang waktu itu sempat mempermainkan perasaan Delina tampak memperhatikan dari sebuah arah. Aku bisa merasakan dengan jelas karena bidik pandang Arfad disertai oleh suara-suara dari beberapa mahasiswa. Mendengar cibiran yang mereka layangkan secara samar, aku terus berjalan. Bahkan, memilih untuk mempercepat langkah.

Tiba-tiba, Noah menyapa. Berujar, "Tenanglah. Arfad tidak akan melakukan apa pun padamu, Del."

"Mengapa?" Aku menyahut pelan. Masih dengan gerak langkah yang terburu-buru. Jika diperumpamakan dengan olahraga atletik, aku seperti seorang atlet yang sedang berlatih untuk menempuh lima hingga sepuluh kilometer dalam perlombaan. Taktik dan strategi harus kubuat hingga berhasil memenangkan pertandingan.

"Ada Ragil yang tidak akan tinggal diam. Dia seperti jin di dalam botol yang bisa segera muncul ketika sedang kau butuhkan. Buktinya—" Noah menghentikan kalimat. Membuat langkahku terhenti sambil mengarahkan pandang menuju sosok Ragil. "Dia seperti seseorang pengawas yang sedang melatih atletnya ini. Ck! Delina, Delina."

Tawa dari Noah memelan seiring dengan sosok Ragil yang datang menghampiri. Pemuda bertubuh tinggi itu segera menghalangi arah pandang Arfad pada sosokku. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ragil berjalan mengiringi langkah kaki yang lebih pendek ini.

***

Tahukah kalian akan resiko jatuh cinta pada sahabat? Tahukah kalian akan akibat dari tak lagi bisa mengontrol perasaan? Menjaga jarak, berjalan menjauh, pergi untuk sementara waktu adalah satu hal dari tiga kesatuan yang harus dilakukan. Sialnya, aku paling tidak mampu melawan hati sekeras itu sendirian.

"Kau yang bernama Delina, ya?" Salah seorang anggota band bertanya. Setelah berhasil menghilang dari pandangan Arfad di kampus, Ragil memindahkanku pada sebuah kafe. Itulah lokasi yang sudah dia sampaikan pada sebelumnya. Tidak ada hujan atau petir sebagai pertanda awal, Ragil membuatku terpaksa hadir ketika dia sedang mengisi acara di sana.

Pemuda yang berperan sebagai drummer itu kembali mengeluarkan suara. Berkata, "Kebetulan, kafe ini mendapatkan job untuk merayakan hari jadi sepasang kekasih. Kami diminta mengisi. Ragil menjadi orang pertama yang setuju meski bayaran yang diberi tak sebesar acara lain."

Mendengar penuturan itu, aku merasa heran. Benak di dalam kepala tak henti dipenuhi oleh beragam tanya. Kado apa yang hendak diberikan oleh Ragil ketika ulang tahunku tiba? Haruskah, dia sekeras ini dalam mengisi pundi-pundi uang?

Aku bukan seorang perempuan muda yang tak memiliki tujuan pasti. Pesimis bukan gaya hidup seorang Delina. Tipe koleris sepertiku ini akan menjadi sangat agresif. Seperti keinginan untuk mendapatkan Ben yang berkepribadian cukup berbeda dengan pemuda lain. Aku harus memperoleh apa pun yang kuinginkan. Termasuk untuk mengetahui alasan Ragil dalam berjuang untuk menghasilkan uang. Membeli kado ulang tahun? Kurasa maksud di balik tujuannya tak sesimpel yang disebutkan oleh kebanyakan orang.

Saat ini, tepat pada lima menit sebelum acara panggung diakhiri. Aku beranjak dari posisi semula. Berjalan mendekati area bernyanyi yang semula menjadi tempat berpijak Ragil bersama alat musik bernama gitar. Musik yang semakin mendekati instrumen akhir sudah terdengar ke dalam gendang telinga. Aktivitas perubahan rongga serta ruang di dalam saluran suara untuk menghasilkan bunyi bahasa tak lagi menjadi fokus Ragil dalam mempertahankan suara emas. Dia meletakkan gitar. Menyapa, "Kau sengaja mendekat untuk memujiku dari sini, huh?"

Dia cukup peka, mudah paham dan pandai menilai. Tapi sahutan berisi pertanyaan itu tak sepenuhnya seratus persen benar. Aku sengaja menghampiri untuk menguatkan tekad dalam melawan hati. Berujar lirih, "Sebaiknya, kita tak boleh terus menerus memiliki hubungan sedekat ini."

Ragil mengalihkan pandang yang semula berfokus menatapku. Dia mengedarkan netra hingga mendapati para anggota band yang lain. Seketika, sebuah senyum terbit dari bibir pemuda berkaus abu-abu. Ragil berbisik, "Kau berkata seperti itu karena di antara mereka ada yang baru saja berhasil memikat hatimu ya, kan?"

Tak kusangka kalau pertanyaan itu keluar dari bibir yang menghias wajah tanpa dosa. Aku memang seorang perempuan muda yang gampang sekali jatuh hati. Tapi, tak semudah itu aku meletakkan perasaan pada seorang pemuda setelah melihat mereka untuk kali pertama. Butuh waktu lebih dari dua bulan untuk mengamati setiap jejak mereka sebelum menyimpulkan rasa.

"Melihatmu diam, itu pertanda kalau tebakanku salah. Lantas, ada apa? Mengapa kau seperti petir di siang bolong pada sore ini, Del? Apa yang membuatmu mendadak bicara seperti tadi? Ah, apakah ini semua karena Rara?"

Tebakan demi tebakan terus ditujukan selagi kami berjalan berdua. Lalu, dia membuatku terduduk pada sebuah bangku. Memanggil pelayan kafe untuk memesan minuman kesukaanku yang cenderung dijual di sebagian besar rumah makan kekinian. Berpamitan bahwa ia harus menjumpai pihak manajemen untuk mendapat bayaran atas acara panggung yang sudah dipertontonkan. Selagi melihat Ragil berjalan menjauh, aku menitikkan bulir air mata. Tak begitu deras karena aku mampu menahannya. Hanya saja, melihat bayangan pemuda itu kian lama semakin menghilang, aku menjadi tahu akan makna kesepian yang sebenarnya. Sudah lebih dari beberapa tahun Ragil merasakan hal itu. Kali ini, aku tidak akan membiarkannya bertahan hanya untuk menemani seorang Delina. Ragil patut mendapatkan hal yang selama ini dia idam-idamkan. Urung untuk melakukan yang dia inginkan, tak boleh menjadi keputusan. Maka dari itu, kuteguhkan niat untuk menghubungi seseorang. Meminta agar dia berkenan untuk datang menjemput. Satu tujuan dari perbuatanku baru saja, yakni sebagai alasan agar aku dan Ragil tak lagi berkendara berdua. Tak sanggup menatap punggung lebar yang kemungkinan besar takkan lagi kulihat dalam beberapa waktu ke depan. Jadi, beginilah aku. Tak mampu melawan hati tanpa bantuan orang lain. Aku butuh tembok berlapis baja yang mampu digunakan sebagai media bersembunyi.

Jatuh Hati Patah Lagi [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang