MASIH SAHABATKU

4 0 0
                                    

"Del? Bukankah, ada yang sedang ingin kau tanyakan kepadaku?"

"Bertanya? Tentang apa?"

"Apa saja."

Aku mendecap bibir setelah mendengar pertanyaan dari Ragil. Dia memang sudah terbiasa menanyakan hal seperti itu. Tidak ada yang berbeda dari kalimat yang diucapkan. Hanya ada sepasang sorot mata yang mulai berubah. Aku tidak ingin melewatkan kedua netra yang menjadi jendela jiwa bagi siapa saja. Ada emosi yang tersimpan dari bola mata milik pemuda di hadapanku. Dia sengaja tidak membalas pandang seperti sedang menyembunyikan suatu hal. Aku tidak akan menduga kalau Ragil hendak menyatakan perasaan. Mendengar pengakuan cinta sama seperti menunggu kepergiannya pada dua tahun ke depan. Aku sama-sama belum siap.

"Tidak. Aku tidak sedang ingin bertanya apa pun kepadamu."

"Benarkah?"

"Ya," Aku menyahut percaya diri. Menunjukkannya dengan suara tegas sambil meraih kentang goreng yang hendak dimasukkan oleh Ragil ke dalam mulut. "Jika ada yang ingin kutanyakan, aku akan bertanya mengapa kau tidak gemuk meski sudah memakan banyak makanan?" Kusertai kalimat tambahan itu dengan gelengan kepala. Menyindir tapi juga untuk mengalihkan fokus pembicaraan yang sesungguhnya.

Pembahasan itu menyudahi agenda kami di sebuah pusat perbelanjaan. Kentang dan minuman soda yang sudah tertelan serta diteguk habis membuatku menguap. Ragil mengacak puncak kepala selagi kami berjalan menuju area parkir kendaraan roda dua. Tapi, hujan turun. Rintik demi rintikan itu mulai tampak pada jendela berlapis kaca tembus pandang. Momen itu bukan menjadi kesempatan untuk mengukir romantisme di antara kami. Sudah ada seorang kepala keamanan yang menunggu di rumah. Perkara itu jauh lebih genting dibanding memikirkan adegan melodrama di kala hujan sedang membasahi bumi.

"Bokap sudah tidur kan, Del?"

"Ya. Tidur di teras."

"Mampus!"

Udara malam ditambah nuansa dingin akibat hujan tidak bisa terelakkan. Setelah memutar memori akan sifat galak dari Papa, Ragil memilih jalan aman. Tidak membawaku pulang dengan menggunakan kendaraan roda dua, dia memilih untuk memesan kendaraan online. Motor berjenis sport dibiarkan terkena hujan dan basah semalaman dibanding harus berdiri di teras rumah sambil diawasi oleh Pak Bram. Ragil masih sehat. Tidak ada masalah walau harus berdiri berjam-jam di tengah cuaca dingin seperti ini. Tapi, manik mata yang menyorot tajam ketika Ragil goyah sewaktu berdiri itulah penyebab dari rasa enggan Ragil untuk dihukum oleh Papa.

Kala itu, dia pernah diberi hukuman yang sama. Papa tidak kreatif memang. Sialnya, hukuman yang seharusnya mudah menjadi sukar hanya karena suara dan gigitan nyamuk. Ragil terhuyung dari posisi tungkai yang diangkat sebelah. Papa tak hanya memekikkan suara. Beliau mengulang hukuman dari waktu awal yang sudah terlewat.

"Itu adalah resiko karena kau selalu membawa Delina pergi keluar, Ragil. Om sudah berbaik hati untuk mengizinkan. Tetapi, mengapa kalian harus pulang di luar kesepakatan awal?" Papa bersunggut ketika mengucapkannya. Aku tidak heran. Maka dari itu, Ragil enggan mengulang kesalahan yang sama. Membawaku pulang di luar tenggat yang sudah dijanjikan bersama Papa merupakan petaka. Petir yang menggelegar saja kalah menyeramkan di banding kelantangan suara dari Papa.

Beruntung sekali karena jalanan pada malam ini cukup lenggang. Hujan yang mengguyur deras tidak menjadi penghalang untuk tiba tepat waktu berkat kendaraan roda empat. Andai saja kami memaksa pulang menggunakan motor, tidak hanya akan membasahi tubuh tetapi juga menyebabkan flu. Papa enggan melihatku jatuh sakit meski hanya batuk dan pilek. Ketakutan kedua Ragil telah terpatahkan setelah merelakan motor yang terpaksa ditinggalkan.

"Papamu seharusnya menjadi dosen saja. Dia terlalu killer untuk menjadi seorang ayah, Del."

"Dosen? Apa kau berkenan kalau beliau menjadi dosenmu saja, huh?" Aku menimpali sambil mengejek. Sudah jelas akan lebih tamat riwayat Ragil kalau Pak Bram yang menjadi salah satu dosen mata ajar.

Lagi pula, Papa galak karena terlalu cinta pada dua wanita miliknya. Tidak ada yang dinomorduakan oleh Papa antara aku dan Mama. Beliau merupakan seorang pria sejati bagi kami berdua. Maka dari itu, Ragil selalu tak bisa menyanggah ucapan dan tindakan Papa kecuali saat mereka sedang bermain catur bersama. Ragil bisa menyengir tanpa dosa setelah Papa kalah telak dalam permainan yang berlangsung dalam kurun cukup singkat.

Perjalanan yang ditempuh hampir berakhir. Perumahan yang tampak dari beberapa kilometer menjadi arah pandang. Sopir terus melajukan kendaraan hingga tiba di sebuah bangunan tanpa lantai dua. Rumah minimalis yang berukuran cukup besar dibanding rumah lain menjadi titik tujuan. Namun, hunian milik Ragil sempat menjadi fokus netra ini. Tidak ada lampu yang menyala baik dari sisi dalam mau pun teras rumah menandakan kalau pada pukul sebelas tempat tinggal mereka masih sepi.

"Papa dan Mamamu sedang ada pekerjaan di luar kota lagi?"

"Sepertinya begitu," Ragil mengedikkan bahu.

Setelah benar-benar tiba di dua rumah setelah hunian tersebut, Ragil turun lebih dahulu. Hujan yang sudah mereda hanya menyisakan gemericik air. Di dalam sana, tepatnya di beberapa langkah setelah pintu gerbang berada, Papa sudah menunggu. Beliau tidak bersindekap setelah mengetahui kalau Ragil tidak nekad membawa putrinya pulang dengan menggunakan motor.

"Om? Kami sudah pulang," Tanpa ditegur lebih dahulu, pemuda yang berjalan mendampingiku itu segera menyapa. Itu adalah satu dari beberapa siasat agar Papa menjadi lengah dan membatalkan niat untuk marah. Namun, anehnya Papa tidak bergeming. Beliau hanya memberi anggukan kepala sambil meraih pundakku dengan sebelah tangan. "Kalau begitu, Ragil pulang dulu ya, Om?" Dia berpamitan.

Saat itu, barulah Papa mengeluarkan suara. Berkata, "Kalau kau sedang merasa kesepian di rumah, mari kita bermain catur saja."

Senyum di bibir Ragil terbit seperti matahari pagi yang menggantikan suasana malam ini. Hanya saja, Ragil menyahut 'tidak masalah'. Dia sudah terbiasa berada di rumah seorang diri. Mendengar jawaban itu, Papa mengingatkan agar esok pagi Ragil kembali menyantap sarapan di rumah kami.

"Siap, Om. Laksanakan!" Ragil menyahut lantang dengan sikap sigap.

Papa menggeleng tidak heran. Beliau mengizinkan Ragil untuk pergi sebelum mengunci pintu pagar dengan sebuah gembok. Lalu, Papa menambahkan pertanyaan, "Kelak kalau kau dan Ragil tidak bisa bersama-sama lagi, apa yang akan kau lakukan tanpa dia, Del?"

Aku mengerutkan dahi. Pria matang satu itu telah berhasil mengubah semua mood baik yang dibangun oleh Ragil selagi kami pergi tadi. Tetapi, ada yang janggal dari kalimat tanya itu. Alih-alih memberi jawaban, aku justru melempar pertanyaan ulang. Menanyakan alasan khusus di balik pertanyaan beliau.

"Papa hanya berandai-andai saja, Del."

Sedikit menyebalkan memang. Namun, aku sudah terbiasa dengan sifat Papa yang penuh misteri. Setahu dan sepengertianku, Papa tidak akan bertanya tanpa alasan khusus. Beliau enggan berbicara omong kosong selain ketika kami sedang bercanda.

"Entahlah," Kemauan dan gerak bibir tak bisa sinkron. Padahal, aku enggan menyahut dengan serius. Tapi, kalimat ini justru terlontar, "Delina tidak akan pernah tahu jawaban yang pas untuk pertanyaan dari Papa baru saja. Hal itu akan menjadi pengalaman pertama bagi Delina. Yang jelas, meski kami berjauhan atau dalam kata lain; tak bisa untuk bersama-sama lagi, Delina akan tetap menganggap Ragil sebagai seorang sahabat. Papa tahu tidak akan salah satu syarat agar sebuah persahabatan terus terjalin utuh?"

Beliau menggeleng.

Aku meneruskan kalimat, "Syarat mutlak itu adalah bertahan. Dalam ikatan persahabatan yang panjang, rasa bosan, jemu dan campur aduk lainnya hanya bisa dikukuhkan kembali kalau para pelaku saling bertahan dalam menjaga hubungan antar satu sama lain. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan kalau kami berpisah. Delina pandai dalam hal menjaga diri serta rasa."

Jatuh Hati Patah Lagi [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang