PERGI SAJA

2 0 0
                                    

Hanya butuh dua hari bagi Benjamin untuk merekomendasikan Ragil kepada pihak kemahasiswaan dan jurusan. Selama itu pula aku dan Ragil tidak bicara. Lagi-lagi, Mama menjadi saksi bisu akan diam seribu bahasa yang kami lakukan. Tidak ada kunjungan ke rumah atau aktivitas antar jemput yang biasa dilakukan. Aku beralasan kalau Ragil masih berpraktik di luar area kampus. Mama tidak keberatan untuk menggantikan kegiatan antar jemput tersebut. Beliau juga tak banyak bertanya karena suatu alasan yang sepertinya sedang disembunyikan. Entah mengenai perkara apa, aku tidak tahu. Ini hanya firasat yang dimiliki oleh seorang putri pada gerak-gerik sang ibunda tercinta.

"Delina? Nanti pulang jam berapa, Nak?"

"Jam empat sore, Ma. Tapi, ada rapat bersama anggota acara tahunan untuk membahas hasil pagelaran kemarin. Jadi—"

Drrt drrt!

Suara getaran ponsel menjeda sahutan yang kuberi. Mama yang masih berkendara memberi izin agar aku mengecek pesan lebih dahulu. Saat itu, Ragil berkata akan menjemputku ke kampus. Dia bersedia menunggu selagi aku masih sibuk berkegiatan dengan anggota acara.

"Baru saja Ragil menyampaikan akan menjemput Delina ke kampus, Ma. Jadi, Mama tak perlu datang untuk menjemput."

"Begitukah?" Beliau mengkonfirmasi sambil melirik layar ponsel milikku yang masih menyala.

***

Area kampus sudah menjadi tempat berpijak. Lokasi pemberhentian antar jemput mobil berada cukup jauh dari fakultas tempatku berada. Oleh karena itu, aku terpaksa berjalan kaki sambil menahan diri ketika diperhatikan oleh beberapa mahasiswa dan mahasiswi. Kabar mengenai Arfad yang tidak sengaja menonjok Mahasiswi Jurusan Sumber Daya Manusia telah menyebar di seantero kampus. Selama dua hari itu pula, perban yang membalut bagian hidung menjadi pusat perhatian.

"Del?"

Sapaan bernada berat yang berasal dari arah belakang itu teramat mengejutkan. Aku tersentak setelah berhenti melangkah secara spontan. Menyahut, "Kau seperti hantu. Mengapa tidak menyapa setelah membersamai langkahku saja?"

"Maafkan aku, Del. Aku tidak menyangka kalau kau akan terkejut."

Pagi itu, Benjamin menyampaikan hasil dari keputusan pihak kemahasiswaan dan jurusan. Mereka setuju atas pengajuan sosok Ragil untuk menempuh kegiatan pertukaran pelajar. Aku berseru senang. Terlalu girang hingga berekspresi berlebihan. Beruntung, Benjamin pandai bersikap dingin. Dia segera menjaga jarak aman hingga tak jadi terkena pukulan ringan penuh semangat ini.

"Kalau begitu, aku akan segera mengabari Ragil," sahutku. Kebetulan sekali kalau kami hendak berjumpa setelah SKS dan rapat acara dituntaskan.

Tapi, Benjamin justru menyampaikan pernyataan yang membuatku menjadi terperangah. Dia berkata, "Aku sudah lebih dahulu memberitahu Ragil. Aku tidak tahu kalau kau ingin mengabarkannya secara langsung sebagai kejutan."

"Ah," Seketika aku ber-ah dengan nada mulai melemas. Tidak penuh antusias seperti sebelumnya. Namun, hal kecil itu tidak menghalangi keinginan untuk mendengar jawaban dari Ragil atas kabar baik yang diberi oleh Benjamin. Aku bertanya, "Ragil berucap apa setelah kau beritahu, Ben?"

Tapi, seperti seorang dosen yang hendak memberi soal ujian, Ben tidak bersuara dan memilih untuk bungkam ketika ditanya perihal kisi-kisi. Dia menyelimur pergi tanpa menjawab pertanyaan penting dariku baru saja.

"Ben? Benjamin?" Aku menyerukan namanya. Tidak berlari untuk mengikuti karena fakultas kami yang juga berbeda. Dia melangkah cepat menuju sisi timur kampus sedangkan aku terhalang jam pertama yang akan dimulai pada dua menit lagi. Area barat universitas harus menjadi tempatku berpijak jika tak ingin tiba dengan terlambat.

***

Masih sama dengan kondisi terakhir antara aku dan Rara. Kami saling berjauhan sejak peristiwa yang memudarkan pertemanan. Jalinan palsu yang dibuat oleh mahasiswi introvert tersebut cukup untuk memberiku pembelajaran agar tak termakan dengan tampang seseorang. Di balik wajah polos dan sikap pendiam itu terselip makna tersembunyi. Aku paling enggan berteman dengan orang yang pandai memanfaatkan. Meski tidak terlalu pandai di jurusan yang kuambil sekarang. Setidaknya aku bukan Delina yang mudah menyerah. Tidak ada catatan lengkap yang biasa diberikan oleh Rara, aku tak mengapa. Berusaha dengan kemampuan sendiri lebih membanggakan dibanding mengandalkan orang sekitar. Aku hanya perlu lebih giat dalam belajar dan terus fokus pada pembelajaran yang diberikan.

Hanya saja, berbicara tidak semudah bertindak. Di sela mata ajar sedang berjalan, aku kembali memikirkan jawaban dari Ragil akan kabar yang diberi oleh Ben. Sial sekali karena berhasil dibuat penasaran oleh Benjamin dengan sebesar ini. Tak heran kalau beberapa penjelasan dari dosen telah mengabur dari ingatan. Aku terkekeh pada diri sendiri yang berlaga menjadi mahasiswi teladan.

***

Seluruh SKS sudah berakhir. Tepat pada pukul empat sesuai dengan yang aku utarakan pada Mama, agenda perkuliahan telah dituntaskan. Aku bergerak cepat menuju ruang BEM untuk bertemu dengan anggota lain. Sudah kuduga kalau beberapa dari mereka akan tiba terlambat. Tidak aneh kalau ada yang datang tak tepat pada waktu. Kami semua berasal dari jurusan berbeda-beda. Jam mata ajar tidak mungkin selesai di waktu yang sama persis.

Hampir satu jam kami berada dalam pembahasan. Semua dikupas tuntas oleh para ketua divisi termasuk aku di bagian publikasi. Kritik dan saran tidak terelakkan. Tidak ada yang sempurna sekalipun kita sudah berusaha sekuat tenaga. Bukan mengenai komentar atas kekurangan dari kinerja tim kami yang membuatku pusing. Aku tidak masalah. Komentar buruk wajar diberi ketika terjadi kesalahan. Tapi, ini perkara rasa penasaran yang masih berkutat dengan objek tetap. Ragil menjadi kunang-kunang yang terus beterbangan di atas kepala.

"Tidak perlu cemas, Del. Ragil sudah menunggumu di depan," Ben berbisik. Dia menyadari kegelisahan yang sedang aku rasakan. Jemari telunjuk miliknya menjadi bidik pandangan. Aku melihat Ragil sedang bercengkrama dengan beberapa teman di luar ruang pertemuan.

"Ah, syukurlah. Aku akan bertanya langsung kepada dia. Kau terlalu tidak asyik karena sengaja membuatku penasaran seperti pagi tadi, Ben," Alih-alih berterima kasih karena sudah diberitahu. Aku justru mencibirnya. Pemuda itu memilih untuk tak bergeming seperti biasa.

***

Akhir kata dari ketua acara menjadi momen yang paling aku tunggu. Setelah dibubarkan dalam agenda rapat, aku bergegas menghampiri Ragil. Senyum merekah yang sedari tadi terbit tiba-tiba lenyap seperti ditelan oleh awan gelap. Ragil memandangku dengan seribu makna yang masih tersimpan di dalam kepala. Untuk berada dalam obrolan serius kali ini, dia mengajakku pergi ke kafe atap yang disediakan oleh salah satu food service di kampus kami. Kebetulan suasana di sana tidak seramai pada hari biasa. Keadaan itu membuat kami berdua menjadi cukup canggung. Belum lagi ketika aku dan dia tak sengaja bersuara bersamaan.

"Baiklah, kau dulu saja," Aku mempersilahkan dia. Memilih untuk menjadi pendengar lebih dulu.

"Benjamin sudah mengabariku. Aku terpilih menjadi salah satu mahasiswa yang akan diberangkatkan untuk pertukaran pelajar."

"Itu bagus sekali," Seruan dariku terdengar begitu riang.

Namun, sorot mata dan garis di wajah lawan bicara sedang tak menampakkan ekspresi yang sama. Ragil kembali bersuara sambil menyentuh kedua tanganku secara tak terduga. Berkata, "Kami akan berangkat pada minggu depan, Delina. Minggu depan! Apakah kau benar-benar serius dalam memintaku berangkat ke luar negeri secepat ini? Bukankah terlalu mendadak bagi kita berdua untuk berpisah? Apakah kau sudah siap kehilanganku hanya dalam waktu sepekan?"

Aku bungkam. Untuk beberapa saat kenyataan itu memang mengejutkan. Aku lupa kalau tanggal keberangkatan berada pada akhir semester ini. Dan waktu pasti akan kepergian mereka adalah minggu depan. Kami hanya mempunyai waktu kurang dari tujuh hari untuk membiasakan diri. Tidak sebanding dengan kebersamaan kami yang telah berlangsung selama berhari-hari, bulan dan dalam hitungan tahunan. Aku juga takkan sanggup kalau harus berpisah dengan pemuda itu secepat ini. Tapi, semua sudah terlanjur.

"Del? Apa sebaiknya aku mengundurkan diri saja?" Ragil bertanya. Menatap penuh makna tersirat pada kedua manik mata.

"Tidak, Ragil. Alangkah lebih baik kalau kau tetap pergi saja," Sahutan itulah yang kuberi pada dia.

Jatuh Hati Patah Lagi [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang