Usai mendengar pernyataan dari Noah, aku sama sekali tidak bisa menelan ludah dengan lega. Berkedip dengan hitungan normal seperti susah kulakukan karena tak henti tercengang. Tawaran untuk berkuliah di luar negeri, fasilitas mewah dan keperluan terkait kegiatan bermusik baru saja ditolak oleh Ragil. Secara tidak langsung, pemuda itu sudah menyia-nyiakan kesempatan besar di depan mata. Aku tidak terima. Namun, semua akan menjadi percuma kalau menegur dia. Ragil sudah memberi penjelasan serta mewanti-wanti bahwa dia tetap melakukan hal yang sama. Yakni, tidak akan membiarkan aku seorang diri apalagi terluka. Itu pertanda bahwa aku lebih penting dibanding tawaran yang diberi oleh pihak dari sebuah label ternama. Maka dari itu, kuputuskan untuk menempuh jalan aman. Berusaha mengendalikan diri atas protesan yang kerap terlontar. Kali ini, aku harus lebih bersabar dan mencoba untuk mengerti serta menghargai Ragil dengan lebih.
"Ben?"
"Ada apa, Del?"
"Aku tidak ingin membuatmu merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi kepadaku. Tetapi, bolehkah aku meminta bantuan yang tak boleh kau tolak?" Pertanyaan itu terlontar setelah kupikirkan dengan matang. Pada mulanya, Ben mengernyit dan hendak berujar dingin seperti hari biasa. Tetapi, melihat tatapan mata penuh isyarat ini, Ben mencoba untuk menarik sikap kaku pada lawan bicara. Dia mempersilahkan agar aku mengucap kalimat berisi permohonan.
"Jadi, kau ingin aku membantu Ragil?"
"Tentu saja. Sungguh, jangan melakukan hal yang kupinta kalau kau merasa bersalah kepadaku. Aku meminta tolong seperti ini karena tidak ada orang lain yang memiliki potensi sebesar kau dan ketua BEM kita. Tapi, kau tahu sendiri kalau aku tidak cukup dekat dengan dia. Jadi, meminta bantuan darimu adalah satu-satunya cara."
"Baiklah. Aku akan mencoba melakukan hal yang kau minta. Semoga saja ada jalan terbaik untuk Ragil."
Beruntung sekali karena Benjamin segera mengiyakan permintaan dariku. Roda terus berputar memang. Tetapi, sudah tak lagi berada dalam posisi untuk mengejar Ben atas dasar jatuh hati seperti beberapa waku lalu. Aku berjalan bersama dia untuk membuat Ragil bahagia. Baru saja, aku meminta agar Benjamin merekomendasikan Ragil sebagai mahasiswa pertukaran pelajar. Kampus kami selalu rutin mengirim beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang berpotensi besar dalam hal akademik maupun non akademik. Meski tidak benar-benar pergi keluar negeri untuk melanjutkan S2. Setidaknya, aku sudah menebus kesalahan dengan cara membawa pemuda itu ke daftar para mahasiswa, yang diberangkatkan untuk mengikuti kegiatan pertukaran pelajar.
"Aku hanya bisa membantumu, Del. Selebihnya, pihak kemahasiswaan dan jurusan yang akan menentukan. Itu pun kembali lagi kepada Ragil. Dia berkenan untuk turut atau tidak setelah berhasil terpilih ke dalam daftar," Benjamin menjelaskan. Aku paham betul dengan mekanisme yang ditetapkan. Tahun lalu, aku sudah berniat untuk mengajukan diri. Namun, tak seperti Ragil yang lebih berpotensi besar. Aku mengurungkan niat setelah merasa belum pantas untuk berada dalam daftar mereka. Melangkah maju segera kuurungkan setelah merasa rendah diri pada kala itu.
***
"Akhirnya, aku bisa melihatmu di rumah," Suara itu terdengar setelah tapakan kaki berpijak pada ambang pintu hunian. Ragil baru saja datang setelah mengetahui kalau mobil milik Papa sudah terparkir di halaman rumah. Dia seperti pemuda yang penuh dengan kerinduan pada sang kekasih. Hanya mendatangi rumah kami untuk melihat wajah yang sedang dihias oleh perban pada salah satu bagian.
Tahu kalau putri semata wayangnya ini kedatangan tamu yang tidak pernah diundang, Papa turut menjejalkan pantat. Berada dalam obrolan kami seperti orang ketiga. Bertanya, "Ragil? Kau pasti tahu jelas akan duduk perkara dari peristiwa yang sempat menimpa Delina, kan?"
"Tahu dengan jelas? Tidak, Om. Ragil kan—" Sahabat lelakiku menjelaskan bahwa saat itu dia sudah meninggalkan area kampus untuk menuju lokasi acara lain. Papa teringat akan izin yang sempat Ragil berikan. Beliau menampakkan usia yang benar-benar sudah matang dan hampir memiliki uban. Pelupa. Papa mulai suka melupakan hal-hal kecil seperti ucapan pamit dariku atau Ragil.
"Om benar-benar belum terbiasa tanpamu, Ragil. Delina ini sudah seperti gadis muda yang bergantung padamu. Lihat saja dia sekarang," Papa melirik tajam ke arahku yang sedang menyandarkan kepala. Memperlihatkan batang hidung yang masih dibalut dengan perban. Kembali berujar, "Delina ditonjok oleh seorang mahasiswa untuk membela mahasiswa lain."
"Memangnya membela teman sendiri itu sebuah kesalahan, Pa?" Aku menimpali dengan segera setelah mendapat sela dalam berbicara.
"Tidak salah. Hanya saja, Papa merasa penasaran akan alasan di balik pembelaan yang kau beri? Kau tidak benar-benar berpacaran di sela sedang berkuliah kan, Nak?" Pertanyaan itu dibuat karena Papa ingat betul pada sosok Benjamin. Dia adalah pemuda yang sempat beberapa kali membawaku pergi dan pulang menggunakan kendaraan roda dua. Sudah jelas Papa menghafal rupa dan nama mahasiswa itu. Beliau merasa kalau bertanya padaku saja tidak akan membuahkan hasil. Pak Bram satu ini lebih percaya pada Ragil. Kembali mengeluarkan suara, "Delina tidak sedang berkencan dengan seseorang kan, Ragil?"
"Astaga, Papa!" Aku berdecak. Mengerucutkan bibir.
Setelah tuntas berdebat bersama Papa yang terus enggan untuk percaya, aku berhasil dipisahkan dengan beliau oleh Mama. Wanita berparas teduh itu membawa paksa sosok Papa untuk mengizinkan aku berbincang empat mata dengan Ragil.
"Ck! Papamu itu masih saja posesif, Del."
"Seperti kau, kan?"
"Itu karena kau memang tak bisa tanpaku, Del."
"Baiklah. Aku akui memang tidak bisa. Lalu, kita harus apa?"
"Harus apa?" Seketika, Ragil menyipitkan mata. Dia mengulang pertanyaan yang tak dimengerti maksud dan tujuannya.
Aku kembali melanjutkan kalimat. Berujar, "Meski kita tak bisa berjauhan serta tak bisa tanpa kehadiran satu sama lain. Tapi, tidak semestinya kau menggagalkan kerja sama dengan salah satu label musik ternama, Ragil."
Kali itu, Ragil terdiam. Dia gelagapan. Tampak menelan ludah dengan susah. Seperti baru saja ketahuan telah menyembunyikan rahasia besar di balik keberadaannya yang menemaniku di rumah sakit sejak semalam.
"Mengapa kau diam saja? Kau tidak bisa menyanggah setelah ketahuan membohongiku?" Aku bersuara dengan nada ketus. Melipat kedua lengan ke sisi depan tubuh.
"Bukan begitu, Delina."
"Lalu, apa lagi? Kau itu sudah ketahuan berbohong. Acara musik yang kemarin berlangsung itu tidak benar-benar dibatalkan seperti ucapanmu kepadaku. Noah sudah menjelaskan kalau kau segera meninggalkan lokasi setelah mendengarku cidera. Parahnya, gara-gara hal itu kau jadi kehilangan kesempatan untuk pergi ke luar negeri. Aku tidak bisa terus menghambat jalanmu untuk menuju kesuksesan. Walau memang benar kalau aku tidak bisa tanpamu. Tapi, bukan berarti aku harus egois dengan membiarkan kau kehilangan apa yang sudah menjadi impian selama ini. Kau juga harus bahagia, Ragil."
Ocehan itu aku sertai dengan penuturan atas permintaan bantuan pada Benjamin. Tidak ada niat untuk menyembunyikan rencana apa pun. Aku mempertegas ucapan kalau Ragil berhasil masuk ke daftar pertukaran pelajar, dia tak boleh lagi menyia-nyiakan kesempatan untuk terbang ke luar negeri.
"Pergilah. Ijinkan aku menebus kesalahan karena sudah membuatmu gagal bersepakat dengan pihak manajemen musik itu, huh? Kali ini, kau akan menurut padaku, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati Patah Lagi [ COMPLETED ]
Teen FictionRagil selalu berkata, "Sampai kapan kau akan sadar, Delina? Dia tidak baik untukmu." Kalimat itu selalu diulang ketika aku mulai melakukan pendekatan dengan seorang pemuda yang aku incar. Aku adalah Delina yang sudah berulang kali jatuh hati dan pat...