CINTA DALAM HATI

2 0 0
                                    


Hari bergulir seperti biasa. Tidak ada perjalanan yang berbeda. Berangkat ke kampus bersama. Berpisah arah ketika telah tiba di area parkir kendaraan roda dua. Saling mengucap janji bertemu di saat jam kosong mata ajar kuliah. Serta, pemberian informasi akan perkiraan waktu pulang yang selalu tak sama di antara kami berdua. Semua menjadi rutinitas khas untuk aku dan dia.

Berbeda jurusan memang tak bisa terelakkan. Aku dan Ragil memiliki perbedaan mendasar. Dia pandai dalam hal praktik sedangkan aku lebih cenderung ke arah teori. Tapi, semua itu sedikit berubah semenjak kami saling mengenal. Bagai dua insan yang dipertemukan untuk melengkapi kekurangan dan kelebihan masing-masing, begitulah situasi pertemanan kami hingga sekarang. Ikatan persahabatan ini menjadi berwarna karena adanya perbedaan yang cukup signifikan. Aku dan Ragil seperti amplop yang diberi lem dan perangko. Menempel karena saling membutuhkan satu sama lain.

"Del?" Suara Rara terdengar. Dia menyapa sesaat sebelum aku menaiki beberapa anak tangga menuju lobi dasar bangunan fakultas.

"Ada apa, Ra?"

"Hari ini, Ragil masuk kuliah, kan?"

"Tentu saja."

Teman satu jurusanku itu benar-benar menampakkan sikap berbeda semenjak berani mengutarakan perasaan yang dimiliki pada Ragil melaluiku. Dia menjadi lebih terang-terangan untuk menanyakan jadwal, kegiatan, kesukaan dan hal terkait sahabat lelakiku yang tengil satu itu.

"Aku mengirim pesan kepada dia. Tetapi, lihatlah," Rara mengarahkan layar telepon genggam. Dari ponsel yang menyala aku dapat menyaksikan bahwa tidak ada satu pun pesan yang dibalas oleh Ragil. Seketika, aku menyengir di dalam hati. Tapi, tak kuasa untuk menampakkannya di depan Rara. Dia kembali bersuara, "Bisakah kau tanyakan kepada dia, Del," Kali itu, mahasiswi yang sedang membawa dua buah buku pada lengan sebelah kiri meminta agar aku menyampaikan ajakan pergi setuntas berkuliah.

"Baiklah. Aku akan mencoba untuk memberi tahu dia. Ingat ya, Ra. Aku hanya akan memberi tahu Ragil atas permintaanmu. Bukan berarti aku berkenan untuk membujuknya agar menerima ajakanmu. Ragil tidak akan suka ketika kuperintah seperti itu."

Peringatan yang kulontarkan terdengar seperti pernyataan ketus dari seorang perempuan berstatus pacar diam-diam. Padahal, aku dan Ragil masih bersahabat hingga sekarang.

Di ketenangan kisah kami selalu ada ombak yang menerjang. Badai seperti tak mau diam. Entah dimulai dari kisahku bersama seseorang. Atau, diawali dengan cerita cinta Ragil dengan mahasiswi yang cukup dikenal. Seantero kampus tahu kalau Ragil pernah putus dari seorang mahasiswi berparas cantik. Aku menjadi orang pertama yang dihubungi pada waktu itu. Dia tidak menyalahkan mahasiswi yang meninggalkannya tanpa alasan. Tapi, mahasiswa yang mengejar-ngejar perempuan itu merasa bahwa Ragil harus diberi pembalasan. Bukan Ragil yang salah. Aku paham betul kalau dia takkan mempermainkan perasaan seorang wanita. Sekarang ini, bagaimana dengan Rara? Mampukah dia kembali merajut kasih setelah namanya sempat tercoreng tanpa ada pihak yang mengklarifikasi? Tentu saja, sebagai sahabat Ragil aku takkan membiarkan hal seperti itu terulang kembali.

***

Pesan yang kukirim hanya dibalas dengan emoticon terkekeh. Dari seberang, aku bisa mengetahui kalau Ragil enggan untuk menerima ajakan. Tetapi, aku takkan melontarkan jawaban satu arah itu kepada Rara. Mulut ini tidak berhak sedikit pun. Maka dari itu, kuputuskan untuk mengajak teman satu jurusanku tersebut menuju area gazebo. Sisi barat fakultas menjadi tempat kami berpijak ketika matahari sedang menyingsing di atas kepala. Yang kutahu pasti, Ragil sedang duduk bersama teman-teman pria di sana.

"Hai, Del?" Beberapa dari mereka menyapa. Aku menyahut dengan akrab. Kami memang saling mengenal karena Ragil juga sering kelepasan membicarakanku di depan mereka. "Kau ke mari tak sendiri. Bersama siapa?"

"Ah, dia—" Aku memperkenalkan Rara kepada mereka. Terlihat jelas kalau mahasiswi introvert ini menjadi kikuk. Itulah yang kuherankan. Dia seorang penyendiri yang lebih nyaman berada dalam lingkup kecil dan berteman bersama sosok itu-itu saja. Tetapi, Rara seakan ingin berjalan dari batas ketika memiliki perasaan pada Ragil. Sungguh luar biasa. Keberanian yang dia punya patut untuk kuacungi dengan jempol.

Sementara itu, sosok yang sedang kami targetkan tampak tak bersahabat. Ragil beranjak dari tempat duduk dan membawaku menuju sebuah arah. Berjalan menjauh dari lokasi semula. Dia bertanya, "Apa yang sedang kau lakukan, Del?"

"Seperti yang kau lihat. Rara tidak menyerah untuk bertemu denganmu. Jadi, lebih baik kau katakan kepada dia untuk berhenti. Atau, lanjutkan saja kalau kau memang berkenan untuk mempertimbangkan kedekatan di antara kalian."

Mendapat nasihat yang terbilang cukup jarang dari seorang Delina, Ragil tidak menyanggah. Saran itu memang memiliki dampak positif. Memberi kejelasan akan sebuah hubungan yang harus segera dipastikan. Kini, kulihat Ragil berjalan menjauh. Dia menghampiri Rara dan mengajak teman satu jurusanku itu untuk berpindah lokasi. Seperti biasa, Ragil akan mengisi perut sambil berbicara. Makanan bisa menjadi penetralisir ketika dia harus menyembunyikan ekspresi asli di wajah.

"Del?"

"Ada apa?"

"Selagi kau sedang berada di sini. Bagaimana kalau duduk-duduk dan mengobrol dahulu bersama kami?"

Ajakan itu tidak terdengar seperti para pemuda yang berniat buruk. Teman satu jurusan Ragil akan berpikir dua kali ketika hendak melakukan yang tidak-tidak kepadaku. Mereka teramat mengenal pemuda bersuara emas yang takkan membiarkan siapa saja menyakiti sahabat wanita bernama Delina ini.

"Baiklah."

Kalimat persetujuan menjadi awal dari obrolan kami. Sekitar tiga orang mahasiswa tak henti menanyakan kisahku bersama Arfad–kapten basket yang sampai sekarang masih dikagumi oleh para mahasiswi sosialita. Jawaban seperlunya kusertakan. Tak perlu bersusah payah untuk memberi sahutan. Aku menjamin bahwa mereka sedikit banyak telah mengetahui cerita itu dari Ragil. Bagaimana pun, mereka juga menjadi saksi ketika Arfad sengaja mendekatiku hanya untuk taruhan.

"Asal kau tahu, Del. Ragil menjadi orang pertama yang tak tinggal diam. Bahkan, setelah melihatmu memupuskan harapan pada Arfad dan meninggalkan pemuda itu, Ragil menghampirinya untuk memberi pelajaran. Dia memperingatkan bahwa jangan ada mahasiswi lain lagi yang menjadi korban atas taruhan. Wah! Sahabat lelakimu itu gentle sekali."

"Setelah mendengar ini. Apakah kau rela jika melihat Ragil berkencan dengan teman perempuanmu tadi, Del?" Salah seorang dari mereka menimpali. Beberapa di antaranya mengisyaratkan agar satu pemuda itu tidak melontarkan pertanyaan seperti demikian.

Adu mulut terjadi secara tak terduga. Dari bahasan yang mereka ucapkan, aku dapat menyimpulkan satu kalimat. Rangkaian kata itu memberi makna bahwa alasan utama Ragil menghormati wanita dengan sebaik mungkin yaitu karena Delina. Aku adalah sebab dari kepribadian baik yang dibentuk untuk bersih kukuh dalam menambatkan hati pada seorang insan bernyawa saja.

"Dia itu menyukaimu, Del. Apa kau tidak sadar?"

Suka? Satu kata itu terucap sama persis dengan yang pernah Rara simpulkan. Ragil tidak melindungiku semata-mata karena kami bersahabat. Dia menuntun diri ini untuk menuju hari-hari bahagia. Penuh warna. Meski, dia sendiri bergelut dengan lara. Cinta dalam hati itu dapat kupastikan teramat menyiksa.

Jatuh Hati Patah Lagi [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang