Dua kalimat terpaksa dikeluarkan oleh Ragil karena aku enggan percaya akan jawaban darinya baru saja. Tetapi, bukan Ragil kalau tidak pandai dalam berkilah. Alih-alih menyebutkan niat sebenarnya dalam merekomendasikanku kepada Ben, dia justru menimpali dengan bahan bercandaan.
"Mengapa kau tidak pernah serius ketika aku memasang muka ingin tahu seperti ini?"
"Tentu saja karena hal itu hanya dikerjakan oleh mahasiswa-mahasiswa pintar. Aku tidak pandai berada dalam obrolan serius, Del. Ragil ini terlalu menyayangkan garis di wajah. Aku terlalu tampan untuk tidak merekahkan tawa."
"Baiklah. Terserah padamu saja."
Bukan waktu yang pas untuk membahas mengenai diriku. Namun, tidak dengan bahasan seputar Ragil dan beberapa perempuan. Aku menyempatkan diri untuk bertanya mengenai kedekatan Ragil dengan salah satu adik tingkat. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Noah. Dia dan mahasiswi semester satu itu tak memiliki hubungan apa-apa.
"Aku hanya diminta untuk melihat potensi dirinya dalam bermusik. Kukatakan saja kalau dia lebih cocok untuk menjadi model," Ragil terkikik. Tampak jelas bahwa dia sedang mengingat sosok adik tingkat kami yang berparas cantik. "Asal kau tahu, Del. Suaranya tidak seindah suaramu ketika berteriak. Jadi, bagaimana bisa kuterima dia menjadi salah satu anggota? Mengisi bagian penyanyi? Lebih baik aku mengisi bagian itu sendiri, bukan?"
Mendengarnya bercerita, aku menjadi paham akan alasan Ragil tertawa sumringah ketika kami masih berada di kampus. Hal itu dikarenakan dia sedang meledek mahasiswi tersebut secara tidak langsung. Meski pun, dia juga secara terang-terangan meledekku baru saja. Mengatakan bahwa suaraku terlampau indah ketika sedang meneriakkan namanya. Ucapan tersebut bukanlah sebuah pujian. Itu hanya kalimat kiasan demi tak mendapat bogem keras dariku.
"Dasar, kau!" Aku mendumel. Benar-benar menyasarkan kepalan menuju salah satu sisi bahu miliknya.
Bila kusimpulkan mengenai persahabatan kami, ada rasa yang sama-sama saling tak bisa diungkapkan. Bukan serta merta mengenai persoalan cinta. Lebih tepat disebut sebagai rasa tak bisa saling menjauh dari satu sama lain. Kejadian itu sudah pernah kami alami ketika aku berpacaran dengan salah satu siswa di satu sekolah. Ragil sedang menjalani hubungan pula dengan siswi tercantik di SMA kami. Sejak memiliki kekasih, interaksi di antara aku dan dia mulai renggang. Bukan karena ingin. Tetapi, dua orang lain di dalam hidup kami mulai mengatur agar tak terjadi komunikasi intens seperti sebelumnya. Dan, satu kesamaan itu membuat kami berlari dari tempat masing-masing. Saling kabur dari mereka hanya untuk kembali bertemu. Itulah yang paling kuingat ketika ada sosok lain yang hadir di antara aku dan Ragil.
Jadi, pertanyaan dariku serta pemberian jawaban dari dirinya baru saja menandakan bahwa kami masih tak bisa untuk saling menjauh hingga sekarang. Sering bertengkar karena cukup susah untuk diberitahu bukan menjadi alasan untuk tak bertemu. Buktinya, kami tetap menjadi satu kesatuan. Utuh.
"Hia! Tidak dengan kue keju satu ini. Kau sudah menghabiskan semua kue rasa cokelat. Mengapa tidak mau mengalah?" Aku mengeraskan suara. Saat itu, cemilan sore buatan Mama telah habis dilahap. Dia memanfaatkan kesempatan ketika aku sibuk menanyakan banyak hal. Ketidakseriusan dalam menjawab rupanya juga disebabkan oleh makanan manis yang membuat dia menjadi kalap.
"Sorry, Del. Nanti malam, akan kuganti dengan burger. Kau suka sekali pada makanan itu, kan?" Ragil menyahut. Suara yang terdengar dengan tak jelas membuatku keheranan. Bagaimana bisa dia pergi sambil membawa toples kue disertai mulut penuh dengan hasil adonan kering yang telah terkunyah. Tidak ada pamit. Dia pergi keluar dari sisi dalam rumah dengan begitu saja. Meninggalkan motor berjenis sport itu untuk terus terparkir di carport tempat tinggalku bersama Papa dan Mama.
***
Malam telah tiba. Satu-satunya pria di rumah kami tak kunjung memarkirkan mobil karena melihat kendaraan yang khas. Beliau turun sambil berseru tanpa henti. Meminta agar aku menelepon Ragil dan menyuruh pemuda tersebut untuk segera datang.
"Setidaknya, kalau kau hendak meninggalkan motor di sini, kau tinggalkan pula kunci motornya. Dengan begitu, Papa tidak akan mengoceh karena harus menunggumu," Tidak terima mendapat seruan dari Papa, aku mengganti dengan beragam ocehan kepada Ragil. Saat itu, dia sudah tiba. Masih dengan pakaian ala rumahan. Menyengir tanpa dosa. Bergerak cepat untuk memindahkan kendaraan berukuran dan bobot cukup berat menuju tepi carport.
Sementara itu, Papa hanya menggeleng sebanyak dua kali. Beliau kembali masuk ke dalam mobil untuk memindahkan kendaraan itu ke tempat semestinya. Setelah mobil milik Papa terparkir, Ragil mendapat pertanyaan berupa sosok Rara yang kemarin sempat datang ke rumah.
"Jadi, Delina benar-benar tak sedang berpacaran dengan siapa-siapa? Tapi, kau yang sedang memiliki kekasih, Ragil?"
Gelak tawa terdengar renyah. Ragil menyahut 'tidak' sambil melirik ke arahku. Meminta bantuan agar Papa tak lagi bersuara dan memojokkan dia. Bagaimana pun kalau Ragil ketahuan sibuk berpacaran oleh kedua orang tuanya, bisa habis jadwal keluar yang selama ini kerap dilakukan. Orang tua Ragil memang sibuk bekerja. Tapi, seperti ketika kami masih kecil dahulu. Mereka menitipkan putra semata wayangnya kepada Papa dan Mama. Mereka tahu kalau kedua orang tuaku itu melebihi pengawas ujian yang killer. Pada intinya, baik kami sedang menjalin hubungan dengan seseorang atau tidak, aku dan Ragil harus pandai menyembunyikan fakta dari para orang tua. Pendidikan selalu menjadi nomor satu bagi mereka.
Setelah kepergian Papa dari sisi teras, aku meminta agar Ragil kembali ke rumah dan berganti pakaian. Tentu saja, aku harus menagih janji mengenai pemberian burger sebagai ganti dari toples kue yang sudah kosong. Namun, tidak ada gerak cepat dari seorang Ragil yang juga sedang lapar. Dia hanya bersedekap sambil menggerakkan salah satu tungkai. Seolah sedang menunggu orang lain memberhentikan kendaraan di muka hunian.
Tak lama kemudian, sebuah motor terlihat ditumpangi oleh pemuda yang kukenal. Benjamin turun dari kendaraan sambil melepas helm. Ragil menyambut kedatangan Ben seperti sudah merencanakan hal tersebut.
Dahi ini berkerut. Tak menyangka kalau Ben akan menghampiri Delina ke rumah. Pemberitahuan akan salah jatuh cinta yang sempat kusebutkan kepada dia pada beberapa waktu lalu, seperti mengubah seluruh pertahanan diri. Jantung ini kembali berdetak sebagaimana rasa yang terjadi pada setiap insan bernyawa. Jatuh hati. Lagi-lagi, aku memiliki satu rasa ini.
"Apa yang kau lakukan?" Aku berbisik pada Ragil.
"Tidak ada. Aku hanya membalas pesan dari Ben pada beberapa menit sebelum kau meneleponku. Dia bertanya alamat rumahmu. Dia berkata akan mengajakmu pergi keluar. Begitu saja. Jadi, lekas pergi sebelum Papa melihatmu berkendara tak bersamaku," Ia menyahut sambil menegakkan motor miliknya. Pemuda berpakaian rumahan itu mengisyaratkan agar aku dan Ben bergegas meninggalkan rumah, bersamaan dengan mesin motornya yang mulai menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati Patah Lagi [ COMPLETED ]
ספרות נוערRagil selalu berkata, "Sampai kapan kau akan sadar, Delina? Dia tidak baik untukmu." Kalimat itu selalu diulang ketika aku mulai melakukan pendekatan dengan seorang pemuda yang aku incar. Aku adalah Delina yang sudah berulang kali jatuh hati dan pat...