SEPERTI YANG KUMINTA

2 0 0
                                    

Seperti yang kuminta. Ragil menurut dan tidak menyanggah . Lagi pula, aku sudah mengancam akan mengakhiri persahabatan kami kalau dia enggan menerima tawaran untuk terbang ke luar negeri lagi. Semua ini kulakukan demi keutuhan persahabatan antara aku dan dia. Namun, ada rasa berbeda ketika hal-hal yang kuminta itu bagai berjalan sambil menebar paku payung di pinggir jalan. Sesekali aku merasa takut akan terinjak paku-paku yang sudah kulempar dengan tangan kanan sendiri. Melihat kepergian Ragil yang sudah di depan mata, aku tidak bisa tidur, makan dan beraktivitas dengan nyaman. Semua yang kulakukan dalam satu sepekan benar-benar dipenuhi oleh bayang-bayang kehilangan. Selama itu, Ragil tidak pernah menyapa apalagi menegurku. Aku tidak berpikiran macam-macam. Aku hafal betul bahwa dia bukan seorang pendendam.

"Maafkan aku, Del. Beberapa hari ini aku sibuk sekali," Dia menjelaskan. Saat itu, kami sedang berada di teras rumah seperti malam-malam yang biasa kami lewati berdua.

"Tidak apa, Ragil. Aku juga tahu. Selain itu, kau juga sengaja tak menegur atau menghampiriku demi kebaikan bersama. Kau melakukannya agar kita mulai terbiasa tanpa kehadiran satu sama lain, bukan?" Aku menebak. Dan, kalimat tersebut mendapat pembenaran. Lawan bicara yang sedari tadi tak membalas tatapan mata hanya memberi anggukan.

Kemudian, deru kendaraan terdengar. Jarang sekali mobil milik kedua orang tua Ragil menepi di sisi depan halaman. Aku dan pemuda itu beranjak dari posisi duduk untuk membuka pintu pagar. Kedua orang tua Ragil memberi salam serta menyampaikan niat kalau mereka ingin bertemu dengan Papa dan Mama. Mendengar penuturan itu, tidak hanya aku yang merasa terkejut. Ragil yang tidak menduga kalau kedua orang tuanya akan mampir ke rumah keluarga kami juga terperanjat. Bahkan, ia tak bisa mengeluarkan sepatah kata.

Setelah mendapati wajah yang sedang dicari, keempat orang tua itu memberi isyarat agar kami berpindah dari lokasi semula. Jika pada hari biasa, Papa kerap mengoceh karena aku dan Ragil selalu pergi keluyuran. Malam itu, tidak. Beliau justru menyelipkan dua lembar uang kertas ketika aku bersalaman dengan dirinya. Berbisik, "Tapi, kalian tetap tak boleh pulang terlalu malam ya, Del."

Bisikan berisi peringatan itu hanya kubalas dengan senyum kecil. Rasa penasaran berhasil menempati presentase lebih besar dibanding rasa takut akan ultimatum dari Papa. Sambil mengiyakan, aku menarik salah satu sudut bibir. Terasa tidak nyaman dengan pertemuan serius antar para orang tua tersebut. Hal itu tak pernah terjadi. Terlebih lagi hingga memaksa agar kami berpindah tempat. Tapi, Ragil tidak menanggapi dengan sama. Dia justru terlihat girang dan ingin segera meninggalkan lokasi semula.

"Tunggu apa lagi, Del?"

"Iya-iya!" Aku berseru sambil menyambar sebuah helm berwarna putih. Memasang ke kepala dan bergegas naik ke jok bagian belakang kendaraan.

Masih berada pada area perumahan, aku bertanya akan bahasan para orang tua. Dengan mudah Ragil berkata, "Bukankah, ini semua seperti yang kau minta, Del?"

"A-apa yang sedang kau maksud, Ragil?" Sahutan itu kulontarkan dengan terbata. Sungguh, aku tidak paham pada arah pembicaraannya.

Pemuda itu bungkam. Dia tidak mau memberi penjelasan sama sekali. Menutup mulut dengan rapat. Memilih untuk menancap gas dengan dalam. Kami terbawa dalam hembusan angin malam. Aku terpaksa diam. Mengizinkan Ragil untuk berfokus pada jalanan.

Sungguh, jika diharuskan untuk menghitung mundur mulai dari sekarang, aku akan memilih untuk tidak melakukannya. Berat. Aku paling takut akan perpisahan. Tapi, semua demi masa depan. Berdiam bersamaku. Menetap di Jakarta tanpa mencapai cita-cita sejauh pergi ke negeri sebelah, tak boleh terjadi. Baik aku dan Ragil harus berhasil. Toh, kami hanya berpisah selama dua semester saja. Satu tahun merupakan waktu yang sebentar jika kami terus bersibuk pada banyak kegiatan. Setidaknya, itulah yang bisa aku tekankan di benak kepala. Jujur saja, aku takut kalau Ragil tidak dapat mengerti niat dan tujuan dariku ini. Di sisi lain, aku juga tahu kalau dia sedang bimbang akan sesuatu. Perihal apa? Dia memang belum mengungkap apa pun kepadaku. Mengenai perasaan cintanya kepada seorang Delina? Aku tidak akan memaksa agar salah satu dari kami memulai prahara. Persahabatan tidak mudah diganti dengan ikatan bertema cinta. Sesulit itu kami terjebak dalam keadaan. Tapi, benarkah kalau perkara itulah yang sedang membuatnya bimbang seperti sekarang?

"Del?"

"Ya?" Aku berteriak kencang. Angin malam membuat suara kami terdengar sedikit samar. "Ada apa?" tanyaku kepada dia.

Ragil belum memelankan laju kendaraan. Tapi, dia sudah berujar, "Setelah aku pergi nanti, berjanjilah kalau kau tidak akan mudah jatuh hati lagi."

"Baiklah. Aku akan berjanji kepadamu untuk tidak melakukannya. Selama satu tahun ke depan, kau tidak ada di sampingku untuk menenangkan ketika aku patah hati. Jadi, sudah jelas kalau aku tidak boleh jatuh hati pada sembarang pemuda lagi."

"Tapi, bukan itu maksudku, Del."

"APA?" Aku berteriak untuk kedua kali. "Aku tidak bisa mendengarmu."

"Ti-tidak, Del. Aku tidak berkata apa-apa," Sialnya, Ragil enggan melanjutkan ucapannya yang terdengar tak jelas di telinga ini.

***

Setengah sepuluh malam. Aku baru kembali dari aktivitas pergi. Deru kendaraan milik Ragil baru saja meninggalkan sisi muka hunian kami. Papa tidak marah karena waktu kepulangan tak selarut ketika kami pergi menonton film pada waktu itu. Tapi, Mama terlihat aneh. Beliau menghampiri ketika aku melintas ambang pintu rumah. Menatap penuh makna.

"Delina? Apa benar kalau Ragil akan berangkat untuk pertukaran pelajar pada esok hari?" Aku memberi anggukan. Membenarkan. Beliau bertanya, "Mengapa tidak cerita pada Mama? Itulah alasanmu susah tidur pada satu minggu ini, huh?" Usapan lembut pada sisi depan rambut diberikan. Aku tersenyum simpul. Memilih untuk mendengarkan suara teduh milik Mama yang sedang berucap menenangkan. Beliau tahu betul kalau aku sedang merasa kehilangan. Maka dari itu, sebuah pelukan diberi tanpa ada permintaan dariku. Kami sengaja tak berpindah dari posisi semula. Mama mengizinkan aku untuk meminjam bahu miliknya.

"Semua seperti yang Delina minta, Ma. Ragil pergi karena Delina yang meminta seorang wakil ketua BEM untuk merekomendasikannya. Mama tidak perlu cemas. Delina dan Ragil sudah bersepakat untuk bertahan meski jarak memisahkan. Hanya saja—" Aku menoleh ke arah Papa. Menyudahi gerak kepala yang sempat terbenam di bagian depan tubuh milik Mama. Meminta agar Papa mengajarkan cara berkendara agar tak lagi merepotkan orang lain. "Ragil akan pergi. Dan, Mama akan repot sekali kalau harus mengantar dan menjemput Delina setiap hari, Pa."

Pria yang sedang duduk bersandar pada sofa terlihat memanggut saja. Beliau berpikir dua kali. Sudah jelas, kepergian Ragil juga mengejutkan Papa.

"Pa?" Sekali lagi aku bersuara.

"Baiklah. Papa akan mempertimbangkannya, Del."

Mendengar jawaban ragu yang masih ditangguhkan itu, aku cemberut. Mama mengusap kepala sambil tersenyum. Memberi isyarat bahwa beliau akan mencoba untuk merayu Papa.

Perkara perpisahanku bersama Ragil bukan sekedar ada atau tidak yang menemaniku ke kampus. Itu hanya intermeso yang bisa kulakukan di kala ingin menyembunyikan perasaan. Seperti banjir bandang; rasa sedih sedang meluap, menggenangi, dan mengalir deras hingga menghanyutkan rasa percaya diri. Aku bukan seorang mahasiswi berprestasi yang dapat menemani Ragil untuk pergi melaksanakan pertukaran pelajar. Seperti yang kuminta, mulai esok Ragil akan keluar dari dalam sangkar untuk mengepakkan sayap tanpa adanya aku; seorang Delina yang memiliki kekurangan dengan jumlah lebih dari seribu.

Jatuh Hati Patah Lagi [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang