TAKKAN TERGANTI

5 0 0
                                    

Berkat cidera yang tidak terlalu serius, seorang dokter menyarankan agar aku di rawat inap selama satu malam saja. Selama itu pula, Ragil selalu menemani melebihi Papa dan Mama. Bahkan, dia enggan disuruh pulang oleh kedua orang tuaku. Padahal, tidak ada luka yang cukup serius.

"Tidak serius katamu?" Dia memekikkan suara. Sesaat sebelum mengarahkan kamera depan yang menyala. Meminta agar aku menatap diri di cermin. Setengah bagian bawah hidung mengalami retak. Itulah yang membuat Ragil tidak terima ketika mendengarku berucap seperti tadi.

"Baiklah, baiklah," Pada akhirnya, aku hanya bisa menyahut pasrah. Tidak ingin mendengar ocehan dari Ragil yang bisa berlangsung selama berjam-jam. Kondisi serius akibat ulah Arfad ketika acara tahunan hendak ditutup membuat Papa dan Mama berurusan dengan orang tua Arfad. Tentu saja, mereka harus mengetahui, bertanggung jawab dan yang terpenting adalah mengajukan permintaan maaf kepada kami. Permasalahan itu akan diurus oleh Pak Bram yang sudah pasti takkan tinggal diam. Maka dari itu, aku mengizinkan agar mereka pulang untuk beristirahat.

Sementara itu, sahabat lelakiku enggan untuk meninggalkan ruang meski dia lapar. Aku hampir memintanya untuk menghabiskan jatah makan untuk pasien rawat inap. Lalu meminta ganti dengan makanan pesan antar yang lebih lezat.

"Lagi pula, aku bukan pasien dengan riwayat penyakit dalam, Ragil. Jadi, aku bebas makan apa saja, bukan?" Kuputuskan untuk meraih ponsel miliknya. Menekan layar menuju aplikasi perpesanan. Dia tidak heran. Memberi izin kepadaku untuk memilih menu yang diinginkan.

Pada saat bersamaan, sebuah notifikasi masuk ke dalam telepon genggam. Layar yang masih menyala menampakkan bagian depan pesan dari seseorang. Noah yang mengirimkannya kepada Ragil. Pesan itu berisi pertanyaan mengenai ketidakhadiran Ragil pada acara semalam. Sontak saja aku mengurungkan niat semula. Meletakkan ponsel miliknya dan meminta agar Ragil mengambil telepon genggam milikku, yang masih berada di dalam sebuah tas selempang.

"Terima kasih," Aku berujar pelan dengan nada lirih. Dia bertanya mengenai pesanan yang sudah kurampungkan. Namun, aku menggeleng. Tanpa berkata-kata, pemuda yang telah mengambil alih ponsel miliknya menyampaikan bahwa akan memesan menu sesuai keinginannya saja. Aku tidak menyanggah. Bukan karena sedang berpasrah. Tetapi, ada hal yang lebih penting untuk kubahas bersama Noah.

Pesan balasan dari Noah telah kubaca. Aku tidak bisa menahan protesan kepada Ragil. Kulontarkan ucapan tanpa berpikir panjang. Berkata, "Kau bilang, acara musik yang kau isi telah dibatalkan. Tetapi, Noah baru saja memberi tahu kalau kau yang sengaja pergi ketika sesi pertunjukanmu hendak dimulai. Mengapa kau melakukannya, Ragil? Bukankah, keberadaanmu di atas panggung lebih penting dibanding menghampiriku ke mari, huh?" Tidak ada niat untuk mengubah intonasi bicara. Namun, nyatanya tidak hanya Ragil yang sempat emosional ketika mendapati keadaanku yang kurang beruntung. Aku juga. Aku tidak terima ketika mendengar bahwa Ragil gagal mengisi acara besar dengan bayaran serta prospek menjanjikan di masa depan. "Apa yang sudah kau pikirkan, Ragil?" Sekali lagi aku mengulang kalimat tidak terima kepadanya.

Pemuda itu tidak segera memberi jawaban. Diam selama beberapa detik menjadi solusi terbaik untuk tidak gegabah dalam menyahut. Dia memang kerap melakukan hal seperti demikian ketika sedang dalam situasi terpojok. Aku memang sedikit keterlaluan. Seperti tidak menghargai pengorbanan yang Ragil beri. Hanya saja, aku juga memikirkan dia. Bagaimana pun, Ragil merupakan salah satu dari sekian banyak pemuda yang memiliki masa depan cerah. Aku tidak ingin menghambat pendidikan maupun karir yang sedang ditempuh olehnya.

Tiba-tiba, "Masa depanku itu adalah kamu, Del."

"APA?" Aku memekikkan suara.

"Kubilang, masa depanku itu tidak jauh dari kau. Apakah kau lupa ketika kau meminta agar kita berjauhan? Aku sampai menggambarkan posisi kita berdua dalam pertandingan tarik tambang. Aku tidak ingin menjadi lawan yang memandangmu dari depan. Tapi, aku tidak bisa berada di belakangmu sebagai satu tim karena sebuah alasan. Dan, asal kau tahu. Menjadi lawan tarik tambang untukmu itu berat. Di waktu-waktu yang tersisa, aku harus menentukan pilihan. Terus menarik tambang dan memenangkan pertandingan namun dengan resiko kau akan terseret, cidera serta mengalami kekalahan. Ataukah aku harus mengalah dengan cara melepas tambang itu? Tentu saja aku harus memikirkan bagaimana kondisimu yang bisa terjatuh secara tiba-tiba. Dua-duanya menyakitimu. Sesulit itu aku memikirkan bagaimana hubungan kita, Del. Selain aku tidak bisa jauh dan enggan menjaga jarak darimu. Aku juga tidak bisa membiarkanmu terluka meski sedikit saja. Jadi, apakah aku tetap salah jika lebih memilih untuk mendatangimu seperti ini? Aku bisa merelakan acara panggung mana saja asalkan tidak ada hal buruk yang terjadi kepadamu. Maka dari itu, jangan protes. Pahami dan mengertilah saja kalau aku tidak akan membiarkanmu merasa sendirian apalagi terluka. Kau lihat kan, hidungmu patah! Aku tidak bisa menyentil ujung hidungmu itu lagi."

Masih sama. Penuturan panjang lebar itu tidak akan lengkap kecuali diberi imbuhan kalimat canda sebagai penutup obrolan. Ragil benar-benar berbeda. Dia takkan terganti meski jarak memisahkan kami berdua pada suatu saat nanti.

***

Noah datang menjenguk. Padahal, beberapa jam lagi aku akan dinyatakan keluar rumah sakit. Kedatangan Noah juga mengejutkan sosok Ragil. Seperti seseorang yang sedang menyembunyikan rahasia besar, Ragil mengusir pembesuk berusia sebaya dengan kami. Aku menyergah dengan berkata bahwa Noah boleh masuk.

"Tapi, Del? Kau masih butuh istirahat."

"Kubilang, aku bukan seorang pasien dengan penyakit parah. Mengapa kau berlebihan sekali? Lebih baik kau menuju nurse station untuk mendengar pengarahan berisi jadwal kontrol ulang," Aku menyarankan. Dengan terpaksa dia berjalan keluar dari ruang bertuliskan VIP. Noah menggantikan keberadaan Ragil di sini.

"Hai, Del?"

"Ya. Kau datang sendirian?"

"Tentu saja, tidak. Aku datang bersama Benjamin dan kawan-kawan."

Di dalam hati aku mengerti akan sikap over protektif dari sahabat lelakiku itu. Ternyata, dia tidak memperbolehkan Noah untuk masuk karena ada Benjamin pula di sana. Dan benar. Sosok pemuda yang sedang menggurat bersalah itu segera menghampiri posisi ranjang. Dia menatap dengan dalam. Sebuah bidikan yang tidak pernah ditujukan semula. Berkata, "Maafkan aku, Del. Aku terlalu lambat dalam membaca gerak dari Arfad."

"Tidak perlu meminta maaf. Kejadian itu juga merupakan kesalahan yang kuperbuat," Aku memberi isyarat bahwa tidak ada yang perlu terintimidasi atas peristiwa tak terduga tersebut. "Lagi pula, hidungku tidak benar-benar patah. Mungkin, hanya retak," Sekali lagi aku berujar demikian. Kesimpulan yang selalu membuat Ragil merasa kesal karena aku tampak menganggap remeh kondisi ini sekarang. Namun, apa yang sudah terjadi tidak bisa diputar kembali. Jadi, menerima dengan lapang dada atas segala peristiwa merupakan jalan terbaik untuk terus memandang ke depan.

"Tapi, Del. Bicara soal Ragil—" Noah kembali bersuara. Dia menyampaikan bahwa Ragil telah kehilangan kesempatan untuk pergi luar negeri karena membatalkan pagelaran musik pada semalam.

"Maksudmu?" Aku mengerutkan dahi. Menyipit tajam dan mempersiapkan gendang telinga untuk mendengar.

"Ragil tidak lagi disponsori oleh manajemen musik yang sempat merekrutnya pada beberapa bulan lalu. Tindakan Ragil ketika meninggalkan acara pada semalam telah membuat mereka membatalkan perjanjian kerja sama," Secara tidak langsung, Noah meralat ucapan dari seorang teman bermain band Ragil, yang sempat kutemui di kafe. Ternyata, pemuda yang pandai bermain drum tersebut memberi informasi yang kurang tepat. Ragil tidak pergi keluar negeri untuk pindah bersama kedua orang tua. Sahabat lelakiku itu pergi ke benua lain atas rencana yang dibuat bersama sebuah label musik ternama.

Jatuh Hati Patah Lagi [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang