Membayangkan senyuman yang Ragil tampakkan dianggap spesial oleh Rara, perasaan ini menjadi cemas. Was-was seperti akan kehilangan seorang kekasih. Padahal, Ragil dan aku hanya sebatas teman dari kecil; berstatus sahabat hingga sekarang.
"Del? Mengapa kau diam saja? Wajahmu juga pucat. Kau tidak—"
"Aku tidak sedang sakit."
"Bukan itu maksudku. Aku tahu kalau kau akan sehat-sehat saja. Maksudku, kau tidak sedang menahan diri untuk pergi ke toilet, bukan?" Ragil menyahut. Dia menggoda seperti hari biasa. Tawa di bibir berhasil mengembangkan seluruh garis pada wajah. Seperti adonan kue yang sudah ditambahkan dengan pengembang. Ragil tertawa sumringah. Senyum tersebut diperhatikan pula oleh Rara.
Sapaan dari pemuda itu benar-benar biasa. Leluconnya juga terdengar umum. Tak ada yang janggal. Tapi, hati ini seperti dijejali oleh batu besar. Mengganjal. Izin pamit untuk kembali pergi setelah datang hanya untuk menyapa, seperti hendak digantikan dengan petaka. Mengapa seorang Delina tiba-tiba merasa tidak ikhlas dengan pengakuan dari Rara baru saja? Tak rela membiarkan Rara menatap senyum dari Ragil dengan seksama.
"Ragil?"
"Iya?" Dia menoleh.
Ingin rasanya kukatakan bahwa jangan pergi seorang diri. Aku ingin ikut bersama dia. Tidak peduli pada SKS pagi yang sebentar lagi akan dimulai. Tapi, dari tatapan mata Ragil, aku bisa tahu kalau dia juga memikirkan daftar kehadiranku di kelas. Tak mungkin kalau kami terus membolos. Bukan hanya nilai yang menjadi taruhan. Bisa saja, pengulangan satu semester juga menjadi ancaman.
Gagal untuk menyanggah. Setelah benar-benar berpisah dengan pemuda di lain jurusan, dapat kutebak bahwa teman perempuan yang masih berdiri tepat di samping kananku ini akan kembali meminta izin. Menyukai Ragil bukan untuk dipendam. Tapi, Rara hendak menyampaikan perasaan seperti kemarin malam ia telah memberanikan diri untuk meminta diantar pulang.
Waktu itu, aku dan Rara telah membalikkan badan. Kami berjalan memasuki bangunan fakultas. Lalu, menuju sisi lift berada. Banyak pengguna berusia sebaya. Mereka sama-sama akan masuk ke kelas seperti kami berdua.
"Kau sepertinya terkejut dengan pengakuan dariku tadi, Del?"
"Ti-tidak," Aku terbata. Mengubah jawaban, "Maksudku, iya. Aku cukup terkejut. Tidak menyangka kalau kau memiliki perasaan pada sahabatku yang cukup tengil itu."
Suara lift menjeda obrolan kami. Ingin rasanya berada jauh dari Rara untuk sementara. Aku tak keberatan meski harus menggunakan lift selanjutnya. Atau bahkan, sebaiknya aku menaiki anak tangga saja. Tapi, tak ada alasan. Aku masih seorang Delina yang berstatus sahabat dan bukan pacar. Tak ada hak untuk melarang gadis lain memiliki perasaan pada Ragil. Tak bisa pula untuk mengeluarkan ekspresi cemburu hingga menghindari sosok Rara. Dia bebas mengungkapkan perasaan pada pemuda mana saja.
***
Satu per satu mata ajar kuliah telah kami selesaikan. Tiba di saat jam makan siang datang. Tidak ada kunjungan dari pemuda yang pada tadi pagi sudah datang menghampiri. Tak masalah, kami bisa kembali berjumpa ketika tuntas berkuliah nanti.
Baru saja, Rara berpamitan. Seperti hari biasa, di beberapa menit setelah jam makan siang tiba dia akan pergi menjumpai teman dalam satu komunitas belajar. Para kutu buku akan berkumpul hanya untuk membahas daftar bacaan yang dapat digunakan sebagai buku acuan.
Sementara itu, kuputuskan untuk pergi ke kantin. Cukup jauh dari fakultas kami berada. Siang hari, kantin di dekat lapangan basket selalu menjadi tempat favorit para mahasiswi. Banyak anggota basket yang memilih menggunakan waktu luang untuk memainkan bola berwarna terang itu. Termasuk, Arfad. Dia adalah salah satu anggota basket yang cukup mahir dalam bermain. Mahir pula dalam mempermainkan hati perempuan.
"Kau sedang makan siang di sini, Del?"
Bukan Arfad yang menyapa. Tentu saja, pemuda itu harus jera setelah mempermaikan aku pada satu tahun lalu. Tetapi, Ben. Seorang Benjamin-lah yang datang sambil membawa dua botol minuman soda. Ia memberikan salah satunya kepada Delina. Kembali berkata, "Aku tidak pernah melihat Ragil bermain basket sejak semester pertama. Tidak mungkin kalau dia tak mampu bertanding dengan mereka, bukan?" Bahasan itu ditujukan. Aneh memang. Ben yang sekarang, tampak menjadi lebih ingin tahu; ikut campur pada urusan orang lain dibanding sosok Ben yang sebelumnya. Cuek. Dingin. Terus mempertahankan idealis untuk tidak dekat dengan seorang perempuan.
"Ya. Seperti yang kau lihat. Dia tak ada di dalam lapangan basket. Pasti, dia sedang berada di studio musik sekarang. Atau, pergi keluar bersama teman-teman satu jurusan."
"Bicara soal Ragil, sepertinya dia teramat perhatian kepadamu."
Lagi-lagi, kalimat dari Ben membuat aku menjadi terperangah. Aku menjawab dengan sebenarnya. Berkata bahwa "Tentu saja. Dia salah seorang penyelamat di hidupku. Tak mungkin kalau Ragil tidak perhatian pada Delina ini."
Secara kebetulan, Ben membahas mengenai Ragil. Kugunakan kesempatan untuk bertanya mengenai sosok yang merekomendasikan aku kepada dia. Lalu, pertanyaan tambahan berupa sosok yang mampu membawa para sponsorship untuk kegiatan tahunan kami.
Pada mulanya, Ben hanya ingin berbasa-basi sebelum kembali membahas mengenai sejauh mana aku menjalankan tugas sebagai kepala divisi publikasi. Belum sempat muncul pertanyaan mengenai sejauh mana penjualan tiket berhasil kulakukan, Ben justru mendengar pertanyaan-pertanyaan dariku tadi. Kalimat tanya yang memaksa agar dia membeberkan sesuatu yang tidak kuketahui.
"Entahlah. Aku tidak yakin dapat memberitahumu. Dia tak ingin identitasnya terungkap," Pemuda yang baru saja meneguk minuman bersoda itu memberi jawaban. Mengangguk kepala sebanyak dua kali. Sesekali mengubah ukiran senyum di bibir. Menyengir. Menambahkan, "Sepertinya, itu karena dia ingin membantu untuk meringankan bebanmu dalam misi penjualan tiket yang kuberikan."
Tidak salah. Jawaban dari Ben memang sebuah kalimat yang ingin kudengar. Tanpa ada penggambaran figur yang disebutkan secara gamblang. Aku bisa menebak kalau sosok itu benar-benar Ragil. Tidak ada yang mengetahui seberapa mahir seorang Delina dalam mempromosikan sebuah acara. Tidak ada yang paham mengenai dedikasi tinggi dari seorang Delina untuk membantu kesuksesan acara. Tidak ada yang memungkiri fakta kalau Delina takkan mundur hanya karena dibebankan hal besar. Semua itu hanya diketahui oleh Ragil. Namun, ada yang kurang tepat akan asumsi Ben baru saja. Ragil tidak serta merta ingin meringankan beban dalam misi penjualan tiket. Namun, dia juga merekomendasikan Delina pada seorang Ben untuk membantu pendekatan yang sempat digagalkan olehnya. Ragil cukup merasa bersalah.
"Ben?"
"Iya, Del?"
"Apakah kau pernah merasakan salah jatuh cinta?"
Lawan bicaraku itu melebarkan bola mata. Daun telinga miliknya tak bisa memungkiri bahwa tidak salah dalam mendengar. Dia terbata, "Mengapa tiba-tiba kau bertanya persoalan cinta?"
"Tenang. Aku bertanya bukan untuk mengakui perasaan kepadamu. Aku bertanya hanya ingin menegaskan kalau sepertinya Delina yang kau ajak bicara ini mulai sadar."
"Sadar?"
"Ya. Aku mulai sadar kalau aku telah salah jatuh cinta."
Penuturan itu kusertai dengan gerak beranjak. Tempat duduk yang semula menjadi titik singgah baru saja kutinggalkan dengan begitu saja. Bahkan, satu buah botol soda yang disodorkan oleh Ben tak sempat terjamah. Hanya ada gerak melangkah menjauh sambil merogoh sisi dalam tas selempang. Jemari tangan segera mencari ponsel yang tergeletak di bagian paling dasar. Telepon genggam yang sudah ditemukan akan menjadi saksi bahwa detik itu juga Delina akan menghubungi seseorang. Berkata kepada dia kalau pelabuhan kali ini memang tak pantas untuk menjadi tempatku berlari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati Patah Lagi [ COMPLETED ]
Fiksi RemajaRagil selalu berkata, "Sampai kapan kau akan sadar, Delina? Dia tidak baik untukmu." Kalimat itu selalu diulang ketika aku mulai melakukan pendekatan dengan seorang pemuda yang aku incar. Aku adalah Delina yang sudah berulang kali jatuh hati dan pat...