SELALU DENGANMU

9 0 0
                                    

Dia sahabat lelaki yang mampu membuatku tertawa. Di kala sedih, dia ada seperti penutup luka berupa perban. Meski berwarna putih bersih, dia tidak keberatan kalau harus digunakan membalut bagian yang terluka. Tujuannya hanya satu; menjaga rasa sakit dan perih serta untuk kembali melindungi sisi yang tak boleh terinfeksi. Ragil bukan ilusi. Dia benar-benar sosok pemuda baik hati yang tak pernah pergi. Sekali pun marah, dia akan datang lagi hanya untuk menyapa, "Delina? Sudah makan?" Cacing di perut melonjak kegirangan. Seperti sekarang, si tengil yang perhatian itu tiba-tiba menghampiri seperti pemuda sedang apel di akhir pekan.

"Besok kau pasti sibuk?"

"Ya. Seperti yang sudah kau hafal. Hari Minggu merupakan hari bersama keluarga. Maka dari itu, aku berniat untuk mengajakmu pergi malam minggu ini."

Tidak heran. Orang tua Ragil selalu sibuk bekerja. Mereka hanya sempat meluangkan waktu ketika kepadatan hari tidak lagi menjadi penghalang. Kebersamaan keluarga harus didahulukan. Kami saling menghargai privasi masing-masing. Tidak ada yang perlu diributkan. Itulah makna sesungguhnya dari jalinan pertemanan yang tak disertai dengan kepura-puraan.

"Baiklah. Kalau begitu, aku akan meminta ijin lebih dahulu pada Papa dan Mama."

Selagi berada di perjalanan, dia menanyakan kegiatanku pada esok hari. Sudah biasa bagi kami untuk bertukar informasi kegiatan satu sama lain.

"Libur kuliah bukan untuk bermalas-malasan di rumah, kan? Kira-kira, apa yang hendak dilakukan oleh Delina pada akhir pekan tanpaku ini?" Ragil bertanya.

Anggukan kepala menjadi balasan. Aku berujar, "Tentu saja, tidak. Esok, aku hendak pergi ke kampus. Ada rapat yang kemungkinan besar akan membuat Delinamu ini menjadi cukup repot. Tetapi, beruntunglah karena aku sudah terbiasa."

Sejak Ben memutuskan keikutsertaanku dalam agenda tahunan, kesibukan harian menjadi bertambah. Lingkup pertemanan menjadi lebih luas dari sebelumnya. Setiap detik terasa lebih berwarna. Disatukan dengan anggota lain, dipaksa berinteraksi dengan orang luar, dikenal oleh lebih banyak mahasiswa-mahasiswi dari lain jurusan tampak menyenangkan. Tidak ada kerugian yang ditimbulkan karena kesanggupan dalam mengisi satu posisi itu. Apa lagi perkara perasaan. Kini, suasana hati ketika Ben melamarku sebagai kepala divisi bagian publikasi tidak lagi seperti penolakan akan cinta diam-diam ini. Perkara tersebut lebih layak untuk diibaratkan sebagai cara Ben dalam memperlihatkan sudut pandang seorang idealis seperti dia. Punya satu tujuan, tidak ingin gagal dan mengerahkan segala upaya untuk terus berjuang. Meski realita tak kompak dengan ekspektasi, setidaknya kita sudah mencoba untuk menjadi lebih baik dalam menggapai hal yang diinginkan. Seperti niat dalam mencapai sisi hati Ben yang terdalam, aku akan pelan-pelan dalam berjuang. Tidak berlari seperti yang sempat dikatakan oleh Ragil. Ada kalanya berjalan kaki sambil menoleh kanan dan kiri dapat mengajarkan perspektif diri dalam melihat sisi luar dunia. Setelah paham, barulah aku diperkenankan untuk membuat keputusan. Haruskah cinta ini dipertahankan? Ataukah, mundur teratur karena sedari awal telah mengetahui kalau Ben bukan pemuda yang mudah untuk didapatkan?

***

Berjumpa dengan pagi yang cerah. Aku teringat pada ucapan Ragil semalam. Hari Minggu bukan alasan untuk bermalas-malasan. Justru, Delina ini menjadi satu-satunya anggota inti acara tahunan yang tiba lebih dulu dibanding anggota lain.

"Del? Semangat sekali kau hingga tiba lebih awal dibanding ketua acara kali ini," Salah seorang mahasiswa menyapa. Lain jurusan. Tapi, satu dua kali kami pernah berhubungan karena terlibat dalam acara gathering yang diadakan pada tiga bulan lalu.

"Sepertinya ini karena bawaan kepala divisi remahan. Jadi, aku tak ingin melewatkan tugas pertama dalam agenda berkumpul minggu ini," Sahutan yang kuberi baru saja disertai dengan anggukan dari lawan bicara. Bukan karena mengangguk akan jawabanku tadi. Melainkan karena kedatangan ketua beserta wakil BEM di kampus kami. Dengan segera aku juga memberi sapaan pada mereka berdua. Anehnya, Ben membalas sapaan itu seolah dia cukup akrab denganku. Padahal, selama ini aku hanya memperhatikan dia dari jauh. Ngobrol berdua saja baru kemarin; sewaktu Ben merekrut aku untuk menjadi bagian penting di acara tahunan kampus. Selain itu, hanya ada bahasan umum dengan disertai kehadiran mahasiswa yang kerap berkeliling di sampingnya.

Jatuh Hati Patah Lagi [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang