MWD-part 8

109K 6.5K 72
                                    

SELAMAT MEMBACA!

jangan lupa Vote-nya Kak.
Sorry kalau banyak typo.


Setelah memastikan Aksa tertidur, aku mengancingkan baju lalu mengambil bantal dan guling untuk disimpan di samping kanan-kiri Aksa agar bayi itu tidak terjatuh ke bawah.

Setelah selesai, aku akan turun kebawah bergabung bersama yang lainnya. Mama menatapku dari bawah, sepertinya ada yang akan ditanyakan oleh Mama kepadaku. Sedangkan Mas Dewa masih mengobrol dengan Papa yang kuyakini membahas tentang pekerjaan.

“Rumi, sini duduk. Mau nanya.” Aku menurut, lalu duduk di samping Mas Dewa.

“Rumi, kamu udah nikah dua bulan.” Mama mengawali pembicaraan, aku menantikan kelanjutannya. Penasaran apa yang akan di katakan Mama padaku sampai matanya menatap serius kepadaku.

“Kamu udah hamil belum, Rumi?”

•••

POV'S Author

Selepas pulang dari rumah orang tuanya, Arumi masih melamun dalam mobil. Tidak memperdulikan Dewa yang sudah memanggilnya berulang kali-kali.

Sampai rumah, Arumi masih belum sepenuhnya sadar dari lamunannya. Tentu saja Dewa tau apa penyebab istrinya melamun. Pertanyaan Mama mertuanya sangat berpengaruh pada Arumi, termasuk dirinya. Ia takut membuat istrinya tidak nyaman dengan perkataan Mama mertuanya.

Arumi pasti menyangka dirinya 'tak becus menjadi seorang istri, karena belum memberikan haknya pada Dewa, dan sebelum itu terjadi, Dewa akan membicarakan tentang ini kepada Arumi.

Saat akan naik ke tangga penghubung antara lantai satu ke atas lantai atas, Dewa menghentikan langkahnya saat phonsel disakunya bergetar tanda ada panggilan masuk.

Ia mengurungkan niat untuk ke kamar, ia memilih duduk di kursi dekat tangga untuk menjawab telepon dari seketarisnya, Andre.

“Hallo?”

“Maaf mengganggu, Pak. Ini dirumah Saya ada berkas yang harus di tandatangi.”

“Ya, Saya akan ke rumah kamu, segera.” Dewa berjalan menuju garasi.

“Tidak Saya saja yang kesana, Pak?” Dewa menggeleng, meskipun Andre tidak melihatnya.

“Tidak perlu, biar Saya saja yang ke rumah kamu. Kami tunggu saja disana, jangan kemana-kemana!” Dewa hanya berjaga-jaga, jika ia kerumah Andre, adik perempuan Andre selalu menempelinya. Seketarisnya pernah berkata bahwa adiknya sangat menyukai dirinya. Tentu saja Dewa mengelak tidak percaya, adik perempuan Andre masih berumur enam belas tahun. Bagaimana bisa menyukai dirinya yang berumur dua puluh sembilan tahun? Perbedaan umur yang sangat jauh.

Dewa segera naik ke dalam mobil dan langsung menyalakan mobilnya. Satpam yang berjaga segera membuka pintu gerbang. Dewa membelokkan setir ks arah kiri, arah rumah Andre hanya berjarak lima kilo meter lebih dari rumahnya.

Diperjalanan ia melihat banyak para pedagang kaki berjualan, termasuk para remaja, dan para orang tua yang menemani anaknya bermain di dekat taman. Memang rumah yang sekarang di tempati dekat dengan kota, apalagi taman.

Saat melihat pertigaan, Dewa membelokkan mobilnya ke arah kiri, hanya beberapa puluh meter lagi ia akan sampai di rumah seketarisnya. Ketika matanya melihat pedagang bakso, Dewa berinisiatif untuk membelikan bakso untuk Andre dan keluarganya. Dewa memarkirkan mobilnya di sisi lapang sebelah pedagang bakso.

Laki-laki beranak satu itu duduk di kursi yang disediakan sembari menunggu gilirannya. Hanya ada beberapa orang di depannya yang sedang mengantre membeli bakso. Hanya butuh dua puluh menit Dewa mengantre, sekarang gilirannya membeli bakso.

Setelah memesan bakso dengan mie yang sengaja di pisah agar tidak membekah karena terlalu lama dalam kuah bakso yang panas. Membayar, lalu setelahnya ia mampir ke pedagang Es Kelapa yang berada tepat di samping pedagang bakso.

“Pak?” panggilnya pada laki-laki paruh baya yang menjadi pedagang Es Kelapa itu. Laki-laki paruh baya itu menghampiri gerobaknya, lalu bertanya akan memesan apa. Disana ada dua es, satu Es Kelapa dan satunya lagi Es Cendol.

“Saya beli Es Kelapa lima kantong, sama Es Cendol satu.” Pedagang itu segera membuatkan pesanan Dewa. Setelah membayar, Dewa segera melajukan mobilnya ke rumah Andre. Tiga puluh menit ia habiskan untuk membeli buah tangan ke rumah Andre.

Akhirnya mobil Dewa masuk ke dalam perkarangan rumah Andre yang bertingkat dua, dengan halaman yang cukup luas tapi bersemen. Ia mematikan mobil lalu keluar dengan membawa jajanan yang tadi ia bawa.

Di teras ia di sambut Andre yang menunggunya bersama adik perempuannnya yang suka menempel seperti ulat bulu. Perempuan muda itu tersenyum lebar ke arah Dewa yang hanya di balas senyum tipis oleh laki-laki itu.

“Assamualaikum.” Sebelum masuk, Dewa terlebih dahulu mengucap salam yang di balas oleh keluarga Andre. Mereka menyambut ramah kedatangan Dewa.

Setelah dipersilahkan duduk, Dewa langsung menurutinya. Ia juga menyodorkan jajanan itu kepada Mama Andre yang di balas dengan ucapan terima kasih.

“Tuh, 'kan, Ma. Kak Dewa pasti datang buat apelin aku.” Perempuan muda berucap dengan penuh percaya diri.

“Rina!” tegur Pak Andra, ayah Andre. Pria paruh baya itu menatap tidak enak kepada Dewa. Sedangkan sang empu hanya tersenyum tipis. Keluarga Andre belum mengetahui tentang pernikahannya kecuali Andre sendiri.

“Ada apa Nak Dewa datang berkunjung kesini?” tanya Pak Andra ramah, ia juga tahu jika atasan anaknya berkunjung hanya karena ada urusan penting.

“Kata Andre, ada berkas yang harus Saya tandatangi, jadi Saya kesini datang untuk mengambil, sekalian berkujung,” jawab laki-laki itu ramah yang menjadi ciri khasnya.

“Padahal, Tante kira kamu datang mau lamar Rina jadi istri kamu,” ucap wanita paruh baya itu tanpa beban yang diangguki oleh anaknya, Rina.

“Ho'oh, padahal Rina udah dandan buat nyambung Kak Dewa, Rina kira Kak Dewa mau lamar Rina, eh, padahal mau ambil berkas.” Perempuan muda itu berjalan dengan membawa mangkok yang berisi bakso yang tadi dibeli Dewa. Rina langsung duduk di samping Dewa tanpa mendengar teguran Ayahnya. Pak Andra menatap 'tak enak kepada Dewa, sedangkan laki-laki itu hanya tersenyum canggung.

Dalam hati ia merutuki Andre yang mengambil berkas di kamarnya, tapi sepuluh menit masih belum menunjukkan batang hidungnya.

“Kak Dewa, kapan sih, mau lamar Rina? Padahal nggak apa-apa kalau Rina nikah masih kelas satu SMA juga, asalkan nggak dipublikasikan.” Perempuan itu mengoceh tanpa menghiraukan sang empu yang merasa risih dengan kelakuannya.

“Maaf, Pak, Saya lama lama.” Andre segera menyerahkan berkas yang di maksud jeoada Dewa.

“Yaudah, Saya pamit dulu Ndre, Om, Tante, Rina.” Dewa segera berdiri untuk pulang, ia sudah tidak tahan mendengar ocehan adik seketarisnya.

“Loh-loh, nggak makan bakso bareng aja, Wa?” tawar Rani, Mama Andre. Dewa menggelengkan kepala tanda menolak.

“Yasudah, hati-hati di jalan, Nak Dewa.” Dewa mengangguk lalu menyalimi orang tua seketarisnya, setelahnya berjalan keluar diikuti mereka yang akan mengantar Dewa sampai depan.

Ketika akan menaiki mobil, Andre menahan tangan Dewa, ia akan berbicara sesuatu kepada atasannya yang lumayan penting.

[ B E R S A M B U N G]

Cianjur, Rabu 09 Maret 2022






Married With Duda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang