PROLOG

132 4 1
                                    

Angin berembus kencang, membuat pepohonan menari hingga menimbulkan bunyi, bisikan alam yang menenangkan hati. Di sisi lain, suara kicauan burung bersahutan bak orchestra, tak nampak wujudnya, tidak bisa dinikmati mata namun memanjakan telinga.

Sejauh yang bisa dipandang, warna hijau begitu mendominasi. Pepohonan, herba, semak belukar, hingga lumut. Beberapa bunga mekar mungkin akan membuat atensi beralih karena warnanya cukup mencolok, kebanyakan merah muda dan kuning. Kawanan Lepidoptera yang beterbangan juga tak kalah indah untuk dipandang.

Dari kejauhan, seorang gadis kecil berlarian, mengikuti arah terbang kupu-kupu yang cantik. Sesekali ia melompat riang kala serangga itu menempel di tangan mungilnya. Ia tertawa riang, memperlihatkan deretan gigi yang nyaris ompong. Usianya 5 tahun, wajar saja gigi susunya mulai tanggal. Walau begitu, ia tetap terlihat sangat manis.

"Nenek lihat! Ada kupu-kupu menempel di tangan aku!"

Langkah kaki itu berlari menuju seorang wanita tua yang tengah berdiri di tepian danau. Tangan keriputnya meraih sesuatu yang dibawa oleh gadis kecil tadi, seekor kupu-kupu. Ia mengulum senyuman tipis, kemudian berjongkok dan mensejajarkan dirinya dengan anak kecil yang kini tertawa di depannya.

"Apa Sea sangat menyukai ini?" Wanita itu bertanya seraya tersenyum, tangannya terangkat untuk membelai surai Sea -cucunya.

Sea mengangguk dengan cepat. Pipi gembulnya dicubit pelan oleh sang nenek karena merasa sangat gemas. Kupu-kupu yang ada di tangan kiri gadis kecil itu terbang lagi, membuatnya memperlihatkan ekspresi sedih.

"Kita ga boleh nyakitin makhluk hidup lain. Biarin kupu-kupu itu pergi dan hidup bebas. Kita harus pulang sekarang. Ayo." Sang nenek memegang tangan Sea, menuntunnya untuk berlalu dari sana.

"Tapi Nek, tempat ini bagus banget, ga bisa kita lebih lama disini?" Sea memohon dengan wajah tak berdosanya.

Sang nenek tampak tidak luluh dengan tingkah Sea. Wanita tua itu tersenyum lagi, memperlihatkan beberapa keriputan di wajah lelahnya yang sudah senja. Pada akhirnya mereka tetap pergi dari sana dengan Sea yang memasang wajah cemberutnya.

Maaf Sea, tapi kita tidak seharusnya ada disini.

Sementara itu, dari kejauhan, seseorang tengah memperhatikan gerak gerik dua insan tadi. Dibalik pepohonan rindang, mata tajamnya tak teralih sekalipun hingga Sea dan neneknya hilang ditelan rimbunnya pepohonan.

[ON GOING] ButterflyWhere stories live. Discover now